Manajemen Laba dalam Initial Public Offerings (IPO)
di Bursa Efek Jakarta
This
paper examines the existence of earnings management of the IPO companies at Jakarta Stock Exchange
for the periods 1995-2002. When a firm is going to go public, information about
the firm is available in the prospectus. Investors evaluate the firm based on
information disclosed in the prospectus. One information that become their
attention is earning information. Thus,
issuers have incentives to manage
reported earning specifically at periods prior to IPO in order to
influence market response.
Tests
were conducted on 81 firms that went public at Jakarta Stock Exchange for the periods
1995-2002. The method used to examine earnings management are the method that
develop by Aharony, Lin, Loeb (1993) and Friedlan (1994).
The results show that these firms manage their
earnings to increase reported income before going public, specifically in the
periods two years and one years prior to going public. For the period after the
IPO (T+1), the test can’t find evidence that these firms manage their earnings.
It means that accrual discretions which were made in the periods prior to IPO
have not been reversed.
Keywords :
Earnings management, Initial
Public Offerings, Accruals,
Discretionary accruals.
1.
Pendahuluan
Salah satu momen (peristiwa) penting bagi suatu perusahaan adalah
saat perusahaan tersebut untuk pertama kalinya menawarkan sahamnya kepada public (IPO : Initial Public Offering). Dengan go public, perusahaan akan mendapatkan tambahan dana yang dapat
digunakan untuk pengembangan usaha. Dalam melakukan penawaran saham perdana,
pemilik lama perusahaan (issuers)
menginginkan agar proceeds yang
diperoleh dari penjualan saham tinggi. Untuk dapat mencapai hal tersebut, issuers menginginkan agar harga
penawaran saham tinggi.
Namun penetapan harga tersebut tidaklah mudah. Gumanti (2001) menyatakan
salah satu penyebab sulitnya menetapkan harga penawaran perdana adalah karena
tidak adanya informasi harga yang relevan. Hal ini terjadi karena sebelum
pelaksanaan penawaran perdana saham perusahaan belum diperdagangkan sehingga
baik calon investor maupun issuers
dan underwriter sama-sama menghadapi
kesulitan untuk menilai dan menentukan harga yang wajar. Di samping itu,
keterbatasan informasi mengenai apa dan siapa perusahaan yang akan go public membuat calon investor harus
melakukan analisa yang menyeluruh sebelum memutuskan untuk membeli (memesan)
saham.
Sumber informasi yang pasti tersedia untuk melakukan analisa
mengenai perusahaan yang akan go public
adalah prospektus. Informasi dalam prospektus yang menjadi perhatian adalah
informasi laporan keuangan khususnya informasi mengenai laba. Menyadari
ketergantungan calon investor dan underwriter
terhadap informasi yang dimuat dalam prospektus membuat issuers terdorong untuk menyajikan informasi yang dapat
memperlihatkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja (performance) yang baik. Oleh karena itu, issuers berusaha mengatur tingkat laba yang dilaporkan dengan
memilih metode-metode akuntansi tertentu sehingga dapat meningkatkan penerimaan
dari IPO. Tindakan ini dikenal dengan istilah manajemen laba (earnings management).
Beberapa penelitian sebelumnya yang bertujuan untuk mengetahui
adanya manajemen laba, berhasil menemukan bukti-bukti empiris bahwa manajemen
laba memang terjadi namun beberapa penelitian dengan topik yang sama tidak
menemukan bukti adanya manajemen laba atau terbukti tetapi lemah. Bukti-bukti tentang
adanya earnings management antara
lain ditunjukkan oleh Jones (1991), Friedlan (1994), Gumanti (2001), Lilis
Setiawati (2002), John J.O.I. Ihalauw & Ummi Arifa Afni (2002). Sementara
itu, penelitian-penelitian yang tidak menemukan bukti manajemen laba atau
terbukti tetapi lemah antara lain adalah DeAngelo (1986) dan Aharony, Lin, dan
Loeb (1993).
Dalam penelitian ini, penulis
menguji apakah terdapat manajemen laba pada perusahaan-perusahaan yang
melakukan IPO selama periode 1995-2002 di BEJ. Peristiwa manajemen laba sekitar
IPO yang akan diuji adalah periode dua tahun sebelum IPO (T-1), satu tahun
sebelum IPO (periode T), dan periode satu tahun setelah IPO (T+1). Sehingga penulis
merumuskan masalah sebagai berikut, yaitu apakah issuers melakukan manajemen laba dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals
untuk menaikkan tingkat laba pada periode dua tahun sebelum IPO dan satu tahun
sebelum IPO serta melakukan income-decreasing discretionary accruals
pada periode satu tahun setelah IPO untuk membalikkan kebijakan akrual yang
dilakukan pada periode sebelumnya.
2.
Literatur Review dan Perumusan Hipotesis
2.1. Manajemen
Laba
Manajemen laba didefinisikan oleh K. Schipper (1989) sebagai “disclosure management in the sense of a purposeful intervention in the external
financial reporting process, with the intent of obtaining some private gain”.
Dari definisi ini manajemen laba dapat dipandang sebagai upaya manajer untuk
mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi tertentu.
Menurut Scott (1997: 296-306), motivasi perusahaan, dalam hal ini
manajer melakukan manajemen laba adalah :
1.
Bonus scheme (rencana bonus)
Manajer yang bekerja di perusahaan dengan rencana bonus akan
berusaha mengatur laba yang dilaporkan agar dapat memaksimalkan bonus yang akan
diterimanya.
2.
Debt covenant (kontrak hutang jangka
panjang)
Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yaitu semakin dekat
suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung
memilih metode akuntansi yang dapat “memindahkan” laba periode mendatang ke
periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran
kontrak.
3.
Political motivation (motivasi politik)
Perusahaan-perusahaan besar dan industri strategis cenderung
menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode
kemakmuran tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan
fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi.
4.
Taxation motivation (motivasi
perpajakan)
Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan
mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka
perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada
pemerintah.
5.
Pergantian CEO
CEO yang akan habis masa penugasannya atau pensiun akan melakukan
strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian pula dengan CEO yang kinerjanya kurang baik, ia akan
cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya.
6.
Initial Public Offering (penawaran saham
perdana)
Saat perusahaan go public,
informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan sumber informasi yang
penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor
tentang nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor maka manajer
berusaha menaikkan laba yang dilaporkan.
Scott (1997:
306-307) mengemukakan bentuk-bentuk manajemen laba yang dilakukan oleh manajer antara
lain :
1.
Taking a bath, dilakukan ketika keadaan
buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan,
dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode-periode yang akan datang dan
kerugian periode berjalan.
2.
Income minimization, dilakukan saat
perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak
mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil bisa berupa
pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan sebagainya.
Cara ini mirip dengan taking a bath
namun kurang ekstrim.
3.
Income maximization, yaitu memaksimalkan
laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan perusahaan
yang mendekati suatu pelanggaran kontrak
hutang jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk
memaksimalkan laba.
4.
Income smoothing, merupakan bentuk
manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling populer. Lewat income smoothing, manajer menaikkan atau
menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga
perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.
2.2. Initial Public Offerings (IPO)
Penawaran saham perdana adalah penjualan efek (saham) suatu
perusahaan kepada masyarakat umum untuk pertama kalinya. Setelah melakukan
penawaran saham perdana status perusahaan akan berubah menjadi perusahaan
publik. Perubahan status ini membawa konsekuensi tertentu, antara lain adanya kewajiban
untuk menyampaikan laporan keuangan baik kepada masyarakat maupun kepada
Bapepam dan adanya tuntutan pemisahan antara pemilik dan manajemen. Dengan kata
lain, sebuah perusahaan publik memiliki tanggung jawab dan berkewajiban untuk
mematuhi peraturan-peraturan pasar modal.
2.3. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai manajemen laba dalam konteks penawaran saham
perdana (IPO) telah beberapa kali dilakukan. Penelitian yang menggunakan pasar
modal Amerika Serikat sebagai objek penelitian diantaranya adalah Aharony et al
(1993) dan Friedlan (1994). Aharony et al (1993) hanya menemukan bukti lemah
terjadinya manajemen laba untuk menaikkan laba yang dilaporkan pada periode
sebelum go public. Sementara Friedlan
(1994) menemukan bukti kuat bahwa issuers melakukan income-increasing discretionary accruals pada periode sebelum IPO
untuk menaikkan laba yang dilaporkan.
Penelitian manajemen laba dengan
objek penelitian pasar modal Indonesia
yaitu BEJ antara lain dilakukan oleh Gumanti (2001), Lilis Setiawati (2002),
dan John J.O.I. Ihalauw & Ummi Arifa Afni (2002). Penelitian Gumanti (2001)
terhadap 39 perusahaan yang go public
tahun 1995-1997 menemukan bahwa perusahaan tidak terbukti secara kuat melakukan
manajemen laba pada periode satu tahun sebelum IPO namun pada periode dua tahun
sebelum IPO. Hal ini disebabkan karena issuers tidak ingin upaya rekayasa laba
yang dilakukannya diketahui oleh pihak luar dan rekayasa laba sendiri tidak
dapat dilakukan terus-menerus. Hasil penelitian Lilis Setiawati (2002) terhadap
24 perusahaan yang go public tahun
1995-2001 membuktikan bahwa terjadi manajemen laba pada satu periode sebelum
dan setelah IPO. Penelitian John J.O.I. Ihalauw & Ummi Arifa Afni (2002) terhadap
16 perusahaan yang go public tahun
1998-2000 menemukan bukti bahwa pada periode satu tahun sebelum IPO, terjadi
manajemen laba.
Manajemen laba sangat mungkin terjadi pada periode seputar IPO
karena adanya keinginan issuers untuk
mempengaruhi penilaian pihak eksternal (calon investor). Issuers termotivasi untuk melakukan manajemen laba pada
periode-periode sekitar IPO, khususnya pada periode dua tahun dan satu tahun
sebelum IPO. Pada periode sebelum IPO, issuers
melakukan manajemen laba untuk menaikkan tingkat laba (income-increasing discretionary accruals). Sehingga dapat
dihipotesiskan sebagai berikut:
H1 :Issuers
melakukan manajemen laba dengan menerapkan income- increasing
discretionary accruals untuk menaikkan
tingkat laba yang dilaporkan pada periode dua tahun sebelum IPO dan satu
tahun sebelum
IPO.
Penelitian Friedlan (1994) juga menguji perilaku issuers pada periode setelah IPO. Friedlan (1994) mengatakan bahwa pada periode setelah IPO diharapkan
issuers membalikkan kebijakan akrual
yang diambil sebelumnya sehingga pada periode ini yang terjadi adalah income-decreasing discretionary accruals.
Tindakan ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terdeteksinya tindakan
manajemen laba yang telah dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, penulis
menyusun hipotesis sebagai berikut:
H2 :Issuers
melakukan manajemen laba dengan menerapkan income-
decreasing discretionary accruals pada periode satu tahun setelah IPO untuk membalikkan
kebijakan akrual yang
dilakukan pada periode
sebelumnya.
3.
Metodologi Penelitian
3.1. Pemilihan Sampel dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis mengambil perusahaan-perusahaan yang melakukan
penawaran saham perdana (Initial Public
Offering) di Bursa Efek Jakarta selama periode 1995-2002 sebagai objek
penelitian. Perusahaan yang termasuk dalam kelompok industri property, real estate, and building construction
dan kelompok industri finance tidak
diikutsertakan karena struktur keuangan dan model pelaporan keuangan khususnya
dalam pelaporan rugi laba dan komponen-komponen yang dilaporkan dalam laporan
arus kas, berbeda dengan kelompok industri lain.
Metode pengambilan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data sekunder.
Data-data perusahaan baik data keuangan maupun informasi perusahaan dalam
penelitian ini diperoleh dari Prospektus dan Laporan Keuangan Tahunan
perusahaan, yang didapatkan dari Pusat Referensi Pasar Modal BEJ dan Pusat Data
Pasar Modal STIE IBiI.
Sampel diambil dengan menggunakan
metode judgement sampling, di mana
sampel diambil berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang ditetapkan
adalah bahwa perusahaan yang dijadikan sampel adalah perusahaan-perusahaan yang
melakukan IPO di BEJ selama periode 1995-2002 dan tidak termasuk dalam kelompok
industri property, real estate, and building
construction dan kelompok industri finance
serta bahwa perusahaan tersebut memiliki data-data keuangan yang diperlukan
dalam penelitian ini (ketersediaan data).
Tabel 1
Tabel Sampel Penelitian
Keterangan
|
Jumlah
perusahaan
|
Tidak Sesuai Kriteria
|
Terpilih
|
Perusahaan
go public tahun 1995
|
22
|
10
|
12
|
Perusahaan
go public tahun 1996
|
16
|
5
|
11
|
Perusahaan
go public tahun 1997
|
30
|
18
|
12
|
Perusahaan
go public tahun 1998
|
6
|
3
|
3
|
Perusahaan
go public tahun 1999
|
9
|
6
|
3
|
Perusahaan
go public tahun 2000
|
21
|
11
|
10
|
Perusahaan
go public tahun 2001
|
31
|
11
|
20
|
Perusahaan
go public tahun 2002
|
22
|
12
|
10
|
Total perusahaan go public
1995-2002
|
157
|
76
|
81
|
3.2. Pengukuran Total Accruals
Penelitian ini menggunakan
pendekatan total accruals untuk
mendeteksi apakah terjadi manajemen laba atau tidak. Model pendekatan accruals yang digunakan penulis adalah
model yang dikembangkan oleh Aharony, Lin, dan Loeb (1993) dan Friedlan (1994).
Total
Accruals pada periode t merupakan selisih antara
laba operasi (operating income), yang
dalam hal ini sama dengan pendapatan sebelum extraordinary items pada periode t, dan aliran kas dari aktivitas
operasi (cash flow from operating
activities) pada periode t. Atau
dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :
TACt = NIt - CFOt
Aharony et al (1993) melakukan
modifikasi terhadap perhitungan accruals
yang model awalnya dikembangkan oleh DeAngelo yaitu dengan menstandarisasi total accruals dengan rata-rata total assets. Aharony et al berpendapat
bahwa perusahaan yang akan go public
merupakan perusahaan yang sedang bertumbuh sehingga perlu ada modifikasi terhadap
model DeAngelo untuk mengurangi kemungkinan bahwa pengukuran discretionary accruals dipengaruhi oleh
pertumbuhan perusahaan. Model Aharony et al (1993) dapat dirumuskan sebagai
berikut:
dimana UACt adalah unexpected standardized total accounting
accruals pada periode t, TACt
adalah total accruals pada periode t,
TACt-1 adalah total accruals pada periode t-1, dan TAt adalah total aktiva pada
periode t. Dengan menggunakan cara seperti di atas, UNIt
dan UCFt juga dihitung.
Friedlan (1994) juga melakukan
modifikasi terhadap model DeAngelo yaitu dengan menstandarisasi total accruals dengan menggunakan sales (total penjualan). Model Friedlan
(1994) dirumuskan sebagai berikut:
dimana DACpt adalah discretionary accruals pada periode tes,
TACpt adalah total accruals pada periode tes, SALESpt adalah total
penjualan pada periode tes, TACpd
adalah total accruals pada periode
dasar, dan SALESpd adalah
total penjualan pada periode dasar.
Indikasi bahwa telah terjadi
manajemen laba dengan menaikkan tingkat laba (income-incresing discretionary accruals) ditunjukkan oleh koefisien
UAC dan DAC yang bernilai positif. Sebaliknya bila koefisien UAC dan DAC bernilai negatif maka ada indikasi terjadi income-decresing discretionary accruals.
4.
Analisis dan Hasil Penelitian
Secara skematis, periode waktu dalam pengujian manajemen laba pada
saat IPO ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.
Gambar 1
Periode
Waktu dalam Analisis Manajemen Laba di IPO
(Sumber
: Friedlan, 1994: 9, dimodifikasi)
![]() |
Akhir
tahun Akhir tahun Akhir tahun Akhir tahun
T-2 T-1 T T+1
Tanggal IPO
5.1. Test Pertumbuhan
Model yang digunakan dalam penelitian ini berasumsi bahwa perusahaan
yang go public merupakan perusahaan
yang sedang bertumbuh. Karenanya penulis melakukan konfirmasi terhadap asumsi
tersebut dengan melakukan test pertumbuhan.
Tabel 2
Pengujian
Pertumbuhan Penjualan dan
Total Asset
Keterangan
|
Mean
|
Median
|
Std.
Dev.
|
Minimum
|
Maximum
|
Asset T-1 dan T-2
|
2.42555
|
1.28752*
|
5.11211
|
0.75562
|
39.48427
|
Asset T dan T-1
|
2.88679
|
1.40919*
|
6.75479
|
0.67476
|
52.94131
|
Asset T+1 dan T
|
1.65091
|
1.46470*
|
0.69903
|
0.84823
|
5.27847
|
Sales T-1 dan T-2
|
1.69407
|
1.39361*
|
1.16304
|
0.48492
|
7.46667
|
Sales T dan T-1
|
1.99159
|
1.28793*
|
2.22480
|
0.62684
|
14.84066
|
Sales T+1 dan T
|
1.65347
|
1.34171*
|
1.31927
|
0.71775
|
11.89780
|
Catatan:
*signifikan pada tingkat 0,05 dengan uji Wilcoxon
Uji non-parametrik Wilcoxon digunakan penulis karena
data berdistribusi tidak normal.
Pertumbuhan dihitung dengan rumus (variabelt /
variabelt-1), dimana variabel tersebut adalah total asset dan penjualan.
Data yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
perusahaan yang go public mengalami
pertumbuhan baik pertumbuhan total aktiva maupun pertumbuhan penjualan. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan bahwa median pertumbuhan total aktiva
dan median pertumbuhan penjualan secara signifikan lebih besar dari satu.
Selama periode T-1 dan T-2 ditemukan sebanyak 71 perusahaan yang
mengalami pertumbuhan penjualan dan 72 perusahaan mengalami pertumbuhan total
aktiva. Dan selama periode T
dan T-1, terdapat 71 perusahaan mengalami pertumbuhan penjualan dan 75
perusahaan mengalami pertumbuhan total aktiva. Demikian pula dengan periode T+1
dan T, sebanyak 73 perusahaan mengalami pertumbuhan penjualan dan 78 perusahaan
mengalami pertumbuhan total aktiva.
5.2. Pengujian dan Pembahasan Manajemen Laba
Sebagaimana disebutkan di muka, penelitian ini menggunakan dua model
yaitu model Aharony et al (1993) dan model Friedlan (1994). Untuk masing-masing
periode waktu yaitu T-1, T, dan T+1 akan diuji dengan menggunakan kedua model
tersebut. Pengujian untuk menentukan apakah terdapat manajemen laba atau tidak
ditekankan pada pengamatan terhadap discretionary
accruals (variabel DAC dan UAC) dan total accruals.
Panel A pada Tabel 3 menunjukkan pengujian pada periode T-1 (dua
tahun sebelum IPO). Pada pengujian dengan model Friedlan, median perubahan laba
operasi 2,578% terbukti signifikan, di mana sebanyak 42 perusahaan mengalami
kenaikan laba operasi. Median perubahan cash
flow sebesar -0,313% tidak terbukti secara signifikan berbeda dari nol.
Median total accruals dan DAC masing-masing adalah 2,719% dan
4,722%, dimana nilai median ini terbukti secara signifikan lebih besar dari
nol. Pada periode ini, ditemukan sebanyak 32 perusahaan memiliki nilai DAC positif, yang menunjukkan terjadi
manajemen laba dengan menaikkan tingkat laba (income-increasing discretionary accruals). Pengujian dengan model
Aharony et al ternyata menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Yaitu,
sebanyak 32 perusahaan juga memiliki nilai UAC
positif yang berarti melakukan manajemen laba dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals.
Pada periode T (satu tahun sebelum IPO), hasil uji Wilcoxon pada
Panel B Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 52 dan 50 perusahaan masing-masing
menurut model Friedlan dan model Aharony et al memiliki nilai DAC dan UAC positif. Median DAC
dan UAC sebesar 3,960% dan 2,025%
terbukti secara signifikan lebih besar dari nol berdasarkan uji Wilcoxon. Kedua
model yang digunakan menunjukkan hasil bahwa sebagian besar perusahaan (63
perusahaan menurut model Friedlan dan 45 perusahaan menurut model Aharony et al)
mengalami kenaikan laba operasi yang terbukti signifikan pada tingkat 0,05.
Namun, pengujian dengan kedua model terhadap arus kas menunjukkan hasil yang
tidak signifikan. Pengujian terhadap manajemen laba pada periode T ini
menunjukkan hasil bahwa issuers
melakukan manajemen laba dengan menaikkan tingkat laba (menerapkan income-increasing discretionary accruals).
Tabel 3
Pengujian Manajemen Laba
pada Periode T-1, T, dan T+1
Keterangan
|
Median
|
Std.
Dev.
|
Positive
Ranks
|
Negative
Ranks
|
Z-
value
|
p-value
|
Panel A : Pengujian Periode T-1
|
||||||
1. Model Friedlan
|
||||||
Perubahan NIa
|
0.02578
|
0.23586
|
42
|
10
|
-2.951
|
0.015*
|
Perubahan CFOb
|
-0.00313
|
0.28039
|
26
|
26
|
-1.066
|
0.287
|
Perubahan TACa
|
0.02719
|
0.20100
|
33
|
19
|
-2.468
|
0.007*
|
DACa
|
0.04722
|
0.29521
|
32
|
20
|
-2.923
|
0.015*
|
2.
Model Aharony et al
|
||||||
UNIa
|
0.01357
|
0.13137
|
33
|
19
|
-2.095
|
0.018*
|
UCFb
|
-0.02351
|
0.15126
|
21
|
31
|
-2.240
|
0.025*
|
UACa
|
0.04946
|
0.15337
|
32
|
20
|
-3.023
|
0.001*
|
Panel B :
Pengujian Periode T
|
||||||
1. Model Friedlan
|
||||||
Perubahan NIa
|
0.04100
|
0.33602
|
63
|
18
|
-4.875
|
0.000*
|
Perubahan CFOb
|
-0.00928
|
0.33960
|
37
|
44
|
-0.544
|
0.587
|
Perubahan TACa
|
0.03595
|
0.35880
|
49
|
32
|
-2.813
|
0.0025*
|
DACa
|
0.03960
|
0.96104
|
52
|
29
|
-2.451
|
0.007*
|
2.
Model Aharony et al
|
||||||
UNIa
|
0.00824
|
0.13011
|
45
|
36
|
-2.211
|
0.0135*
|
UCFb
|
-0.01374
|
0.20191
|
35
|
46
|
-0.068
|
0.946
|
UACa
|
0.02025
|
0.20861
|
50
|
31
|
-1.650
|
0.0495*
|
Panel C :
Pengujian Periode T+1
|
||||||
1. Model Friedlan
|
||||||
Perubahan NIa
|
0.02984
|
0.17396
|
57
|
24
|
-2.088
|
0.0185*
|
Perubahan CFOb
|
-0.00065
|
0.19076
|
40
|
41
|
-0.765
|
0.444
|
Perubahan TACa
|
0.01196
|
0.25522
|
45
|
36
|
-0.360
|
0.3595
|
DACa
|
0.00555
|
0.36764
|
41
|
40
|
-0.323
|
0.3735
|
2. Model Aharony et al
|
||||||
UNIa
|
-0.00632
|
0.09655
|
36
|
45
|
-1.434
|
0.076
|
UCFb
|
-0.01375
|
0.18904
|
39
|
42
|
-0.784
|
0.433
|
UACa
|
-0.01571
|
0.19647
|
39
|
42
|
-0.605
|
0.2725
|
Catatan :
Perusahaan yang diuji untuk periode T-1 hanya 52
perusahaan. Sebanyak 29 perusahaan tidak
diikutsertakan karena tidak memiliki data total aktiva untuk T-3 (4
tahun sebelum IPO), dimana data ini diperlukan untuk standarisasi total accruals.
Perubahan dihitung dengan rumus (variabel pt – variabel pd )/ Sales pt
* signifikan pada tingkat 5% (yaitu bila p-value <
0,05)
a Uji Wilcoxon yang dilakukan berdasarkan uji
satu sisi.
b
Uji Wilcoxon yang dilakukan berdasarkan uji dua sisi.
Panel C pada Tabel 3 menunjukkan pengujian
manajemen laba pada periode T+1 (satu tahun setelah IPO). Pada pengujian dengan model Friedlan, median perubahan laba operasi
sebesar 2,984% terbukti signifikan, dimana sebanyak 57 perusahaan mengalami
kenaikan laba operasi. Namun, pengujian terhadap median perubahan arus kas,
perubahan total accruals, dan DAC yaitu masing-masing sebesar -0,065%;
1,196%; 0,555% tidak terbukti signifikan pada tingkat 0,05. Pengujian dengan
model Aharony et al ternyata menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Dimana
median UCF dan UAC yaitu masing-masing sebesar -1,375% dan -1,571% juga tidak
terbukti signifikan pada tingkat 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa pada periode
T+1 ini tidak terjadi manajemen laba baik dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals
maupun income-decreasing discretionary accruals.
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 3, dapat disimpulkan bahwa
hipotesis dalam penelitian ini terbukti untuk periode dua tahun sebelum IPO (periode
T-1) dan satu tahun sebelum IPO (periode T). Hasil pengujian ini
mengindikasikan bahwa pada periode tersebut, issuers memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat
menaikkan laba yang dilaporkan (menerapkan income-increasing
discretionary accruals) dalam usahanya untuk mempengaruhi penilaian calon
investor terhadap perusahaan tersebut. Sementara, hipotesis penelitian untuk
periode T+1, tidak terbukti. Hal ini mengindikasikan bahwa issuers belum membalikkan kebijakan-kebijakan accruals yang dilakukan pada periode-periode sebelum IPO.
5.
Simpulan dan Saran
5.1. Simpulan
Penelitian yang dilakukan terhadap 81 perusahaan yang melakukan
penawaran saham perdana di Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan pendekatan total accruals menemukan bukti
terjadinya manajemen laba. Dimana, pada periode dua tahun dan satu tahun
sebelum IPO (periode T-1 dan periode T), terdapat bukti bahwa issuers melakukan manajemen laba dengan
menerapkan income-increasing
discretionary accruals. Sementara itu, pada periode T+1, pengujian terhadap
discretionary accruals menunjukkan
hasil yang tidak signifikan. Sehingga pada periode ini, issuers tidak terbukti melakukan manajemen laba dengan menerapkan income-decreasing discretionary accruals
untuk membalikkan kebijakan akrual yang dilakukan pada periode sebelumnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan bukti yang ditemukan Friedlan
(1994), yaitu pada periode sebelum IPO terjadi manajemen laba dengan menerapkan
income-increasing discretionary accruals
dan bahwa issuers pada periode
setahun setelah IPO belum membalikkan kebijakan akrual yang dilakukan pada
periode sebelumnya.
5.2. Saran
Untuk penelitian mendatang, sebaiknya
melakukan pemisahan sampel berdasarkan ukuran perusahaan (total assets) atau berdasarkan kelompok industri, atau berdasarkan kualitas
auditor dan underwriter untuk
mengetahui apakah ada perbedaan kecenderungan dalam melakukan manajemen laba
antara kelompok-kelompok perusahaan tersebut. Aharony et al (1993) menemukan
bahwa perusahaan kecil lebih banyak melakukan manajemen laba dibandingkan
dengan perusahaan besar.
Selain itu, perlu kiranya untuk
penelitian mendatang dalam melakukan pengujian manajemen laba menggunakan model
lain seperti menggunakan model Jones yang dimodifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukriy (1999),
“Manajemen Laba dalam Perspektif Teori Akuntansi Positif, Analisis Laporan
Keuangan dan Etika”, Media Akuntansi,
No. 3, Th. I, September 1999, XI-XVII.
Aharony, Joseph, Chan-Jane Lin, dan Martin P. Loeb
(1993), “Initial Public Offerings, Accounting Choices, and Earnings
Management”, Contemporary Accounting
Research, Vol.10, No. 1, Fall 1993, p. 61-81.
Beneish, Messod D. (2001), ”Earnings Management: A
Perspective”, Managerial Finance,
Vol. 27, No. 12, 3-17.
DeAngelo, Linda E. (1986), “Accounting Numbers as
Market Valuation Subtitutes: A Study of Management Buyouts of Public Stockholders”,
The Accounting Review, 59, 400-420.
Friedlan, John M. (1994), “Accounting Choices of
Issuers of Initial Public Offerings”, Contemporary
Accounting Research, Vol. 11, Summer 1994, 1-31.
Gumanti, Tatang Ari (2001),” Earnings Management
dalam Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Jakarta”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Mei 2001, 165-183.
________________ (2003), “Motivasi di balik Earning
Management”, Usahawan, No. 12, Th.
XXXII, Desember 2003, 21-26.
Healy, P.M. dan James M. Wahlen (1999), “Commentary:
A Review of The Earnings Management Literature and Its Implications for
Standard Setting”, Accounting Horizons,
Vol.13, No. 4, December 1999, 365-383.
Ikatan Akuntan Indonesia
(2002), Standar Akuntansi Keuangan,
Jakarta: Salemba Empat.
Ihalauw, John J.O.I. dan
Ummi Arifa Afni (2002), “Manajemen Earning dalam Penawaran Perdana Saham di
Bursa Efek Jakarta Periode 1998-2000”, Jurnal
Ekonomi dan Bisnis (Dian Ekonomi), Vol. VIII, No.
2, September 2002, hlm. 191-208.
Jones, Jeniffer J. (1991), “Earnings Management
during Import Relief Investigation”, Journal
of Accounting Research, 29 (2), 193-228.
Mahmudi (2001), “Manajemen Laba (Earnings
Management): Sebuah Tinjauan Etika Akuntansi”, Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol. 3, No. 2, Agustus 2001, hlm.
395-402.
Marzuki Usman et al (1990), ABC Pasar Modal Indonesia, Jakarta :
LPPI dan ISIE.
Saidi, Julita (2000), “Earnings Management dan
Standar Akuntansi Keuangan”, Media
Akuntansi, No. 12, Th. VII, Agustus 2000, hlm. VIII-XIII.
Santoso, Singgih (2003), Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan
SPSS versi 11.5, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Schipper, Katherine (1989), “Commentary on Earnings
Management”, Accounting Horizons,
Vol. 3, No. 4, 91-102.
Scott, William R. (1997), Financial Accounting Theory, New
Jersey : Prentice-Hall.
Setiawati, Lilis (2002),
“Manajemen Laba dan IPO di Bursa Efek Jakarta”, Simposium Nasional Akuntansi 5, Semarang 5-6 September 2002, hlm.
112-125.
Siegel, Sydney (1997), Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: PT
Garmedia Pustaka Utama.
Sugiyono (2002), Metode
Penelitian Bisnis, Bandung :
CV Alfabeta.
Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman (1986), Positive Accounting Theory, New Jersey :
Prentice-Hall.
_____________________________ (1990), ”Positive Accounting Theory: A Ten
Year Perspective”, The Accounting Review,
Vol. 65, No. 1, January 1990, 131-156.
Widyaningsih, Agnes Utari (2001), “Analisis
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Earnings Management pada Perusahaan Go
Public di Indonesia”, Jurnal Akuntansi
& Keuangan, Vol. 3, No. 2, November 2001, 89-101.
Wild, John J., Leopold A. Bernstein, dan K.R.
Subramayam (2001), Financial Statement Analysis, New York: Mc.
Graw-Hill.

EmoticonEmoticon