Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan
(leadership) yang ditetapkan oleh
seorang manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan
mendorong gairah kinerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal.
Pada
kenyataannya pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, kualitas
kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Untuk mencapai
semua itu seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dan keterampilan
kepemimpinan dalam melakukan pengarahan kepada bawahannya untuk mencapai tujuan
suatu organisasi.
Ada
beberapa definisi yang di kemukakan oleh para ahli manajemen tentang
kepemimpinan. Jacobs dalam Chih-Yang Chao, Yong-Shun Lin, Yu-Lin Cheng,
dan Yi-Chiao Tseng menganggap bahwa kepemimpinan adalah bentuk interaksi interpersonal dimana pesan yang diberikan
melalui suatu metode tertentu
dan orang-orang dibuat percaya bahwa hasil dari suatu
tindakan dapat ditingkatkan selama
mereka mengikuti saran atau
harapan. Bass, Robbins,
dan Decenzo juga memiliki ide
yang sama tentang kepemimpinan sebagai
prosedur interaksi antar personal
melalui seorang pemimpin mengubah
bawahan, menciptakan visi dari tujuan yang
layak, dan bekerja menuju tujuan tertentu. Kepemimpinan merupakan interaksi antara manajer organisasi dan
anggota organisasi selama mengejar kinerja, dan
perilaku yang terakhir dipengaruhi dengan menyediakan mereka dengan arah baru atau agar
memenuhi tujuan organisasi.
Menurut
Hasibuan (2007, p170) kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi
perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk
mencapai tujuan organisasi.
Menurut
pendapat Robbins dalam Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno (2008)
mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
suatu kelompok ke arah tercapinya tujuan.
Dari
definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut
untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya.
2.1.1.2
Pengertian Gaya Kepemimpinan
Berdasarkan pendapat Soekarso (2010,
p11), gaya kepemimpinan adalah sebagai perilaku atau tindakan seorang pemimpin
dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan manajerial. Kemudian berdasarkan Thoha
(2007, p.64) dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan
oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan agar hendak melaksanakan tugas
dan kewajiban sesuai dengan yang diharapkan agar tercapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
gaya kepemimpinan adalah perwujudan tingkah laku seorang pemimpin yang
menyangkut kemampuannya dalam memimpin dan mempengaruhi karyawannya dalam
menjalankan tugas.
2.1.1.3
Tipologi Kepemimpinan
Ronald
Lippit dan Ralp K. White dalam studinya berpendapat dan mengemukakan adanya
tiga gaya kepemimpinan (Soekarso, 2010, 100-104):
1. Kepemimpinan gaya otoriter, otokratis, atau diktator
Kemampuan mempengaruhi
orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan oleh pimpinan
semata-mata.
Kepemimpinan
gaya otoriter antara lain berciri:
1)
Wewenang mutlak berpusat pada pimpinan
2) Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan
3) Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan
4) Komunikasi langsung satu arah dari pimpinan kepada
bawahan
5) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan,
atau kegiatan para bawahannya dilakukan secara ketat
6) Prakarsa harus selalu datang dari pimpinan
7) Tiada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran,
pertimbangan, atau pendapat
8) Tugas-tugas bagi bawahan diberikan secara instruktif
9) Lebih banyak kritik daripada pujian
10) Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa
syarat
11) Cenderung adanya paksaan, ancaman, dan hukuman
12) Kasar dalam bertindak
13) Kaku dalam bersikap
14) Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul
oleh pimpinan
15) Wewenang mutlak berpusat pada pimpinan
2. Kepemimpinan gaya demokratis
Kemampuan
mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan
bersama antara pimpinan dan bawahan.
Kepemimpinan
gaya demokratis antara lain berciri:
1) Wewenang pimpinan tidak mutlak
2) Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada
bawahan
3) Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan
4) Kebijaksanaan dibuat bersama antara pimpinan dan
bawahan
5) Komunikasi berlangsung timbal balik, baik yang terjadi
antara pimpinan dan bawahan maupun antar sesama bawahan
6) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan
atau kegiatan para bawahan dilakukan secara wajar
7) Prakarsa dapat datang dari pimpinan maupun bawahan
8) Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan
saran, pertimbangan, atau pendapat
9) Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih
bersifat permintaan daripada instruktif
10) Pujian dan kritik keseimbangan
11) Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan
dalam batas kemampuan masing-masing
12) Pimpinan meminta kesetiaan para bawahan secara wajar
13) Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan
bertindak
14) Terdapat suasana saling percaya, saling menghormati
dan saling menghargai
15) Tangggung jawab keberhasilan organisasi dipikul
bersama pimpinan dan bawahan
3.
Kepemimpinan gaya kebebasan atau
gaya liberal
Kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara berbagai kegiatan yang akan
dilakukan lebih banyak diserahkan kepada bawahan. “Laissez-faire” secara
harafiah berarti “allow (them) to do” (mengizinkan mereka bekerja), atau
“to leave alone” (biarkan sendiri), “free-rein” berasal dari kata
“free” (bebas), jadi “rein” (kendali), secara harafiah berarti
bebas kendali.
Kepemimpinan gaya kebebasan antara lain berciri:
1)
Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan
2)
Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan
3)
Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para bawahan
4)
Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahannya
5)
Hampir tiada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau
kegiatan yang dilakukan para bawahan
6)
Prakarsa selalu datang dari bawahan
7)
Hampir tiada pengarahan dari pimpinan
8)
Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok
9)
Kepentingan pribadi lebih utama daripada kepentingan kelompok
10) Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh
orang per orang
2.1.2 Budaya Organisasi
2.1.2.1 Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi yang kuat memberikan
kepada para karyawan pemahaman yang jelas tentang “cara penyelesaian urutan di
sekitarnya”. Budaya memberikan stabilitas pada organisasi.
Menurut Schein (1992) dalam Gary Yukl
(2005, p334) menyatakan bahwa budaya sebuah kelompok atau organisasi adalah
asumsi dan keyakinan bersama tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya, sifat
dari waktu dan ruang, sifat manusia, dan hubungan manusia.
Menurut Kotler (2005, p77) menyatakan
bahwa budaya organisasi adalah “pengalaman, cerita, keyakinan, dana norma
bersama yang menjadi cirri organisasi”. Namun bila memasuki perusahaan, kita
akan menjumpai budaya perusahaan seperti cara orang berpakaian dan cara mereka
berbicara satu sama lain.
Kotter dan Heskket dalam Mohammad
Jasim Uddin, Rumana Huq Luva, dan Saad Md. Maroof Hossian (2013) mengemukakan
bahwa budaya organisasi dikonseptualisasikan
sebagai keyakinan dan nilai-nilai bersama dalam organisasi yang membantu untuk membentuk pola perilaku
karyawan. Gordon dan Cummins mendefinisikan budaya
organisasi sebagai sistem pendorong yang mengakui upaya dan
kontribusi dari para anggota
organisasi dan memberikan pemahaman
menyeluruh tentang apa dan bagaimana yang harus dicapai, bagaimana tujuan tersebut saling terkait, dan bagaimana setiap karyawan bisa mencapai
tujuan.
Sedangkan menurut Robbins (2006, p721)
menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem makna bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari
organisasi-organisasi lain.
Dengan adanya beberapa pendapat diatas,
dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah nilai dan keyakinan dalam
sebuah kelompok atau organisasi yang menjadi ciri organisasi sehingga
membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lainnya.
2.1.2.2 Proses Penciptaan Budaya
Terciptanya budaya organisasi terjadi
dalam tiga cara (Robbins, 2006, p729), yaitu:
1. Para
pendiri hanya memperkerjakan dan mempertahankan karyawan yang berfikir dan
merasakan cara yang mereka tempuh.
2. Mereka
mengdoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berfikir
dan cara berperasaan mereka.
3. Perilaku
pendiri itu sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan
keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka.
Bila organisasi berhasil, visi
pendiri menjadi terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik ini,
keseluruhan kepribadia pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi.
2.1.2.3 Fungsi Budaya
Ada
beberapa pendapat mengenai fungsi budaya organisasi, yaitu sebagai berikut:
1. Lima
fungsi budaya dalam organisasi (Robbins, 2006, p724)
a. Budaya
mempunyai peran menetapkan tapal batas; budaya menciptakan suatu pemebedaan
yang jelas antara satu organisasi dan yang lain
b. Budaya
memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi
c. Budaya
mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan pribadi seseorang
d. Budaya
meningkatkan kemantapak social
e. Budaya
berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu
dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
2. Menurut
Schein dalam Moh. Pabundu Tika (2006, p13), fungsi budaya organisasi
berdasarkan tahap pengembangannya, yaitu:
a. Fase
awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi
Pada
tahap ini, fungsi budaya organisasi terketak pada pembeda, baik terhadap
lingkungan maupun tehadap kelompok atau organisasi lain.
b. Fase
pertengahan hidup organisasi
Pada
fase ini, budaya
organisasi berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub buday baru
sebagai penyelamat krisi identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan
perubahan budaya organisasi.
c. Fase
dewasa
Pada
fase ini, budaya organisasi dapat sebagai penghambat dalam berinovasi karena
berorientasi pada kebesaran masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuasa
diri.
2.1.2.4 Faktor-faktor Budaya Organisasi
Ada tujuh karakteristik primer pada budaya
organisasi (Robbins, 2006, p721), antara lain sebagai berikut:
1)
Inovasi dan pengambilan
resiko
Sejauh
mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko
2)
Perhatian terhadap
detail
Sejauh
mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan) dan perhatian
terhadap detail
3)
Orientasi hasil
Sejauh
mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses
yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
4)
Orientasi orang
Sejauh
mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di
dalam organisasi itu.
5) Orientasi
Tim
Sejauh
mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu.
6)
Keagresifan
Sejauh
mana karyawan agresif dan kompetitif bukannya santai-santai.
7)
Stabilitas
Sejauh
mana organisasi menekankan dipertahankannya
budaya organisasi yang sudah baik.
2.1.2.5 Klasifikasi Budaya Terkait Kinerja
Menurut Susanto A.B (2008,p.246),
perusahaan dengan budaya yang menaruh perhatian kepada stakeholder seperti pemegang saham, karyawan, pelanggan, dan
pemasoknya serta memiliki kepemimpinan yang kuat dan efektif akan berkinerja
lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang kurang menaruh perhatian atau
tidak memiliki kepemimpinan yang efektif.
Budaya dan kinerja adalah hal yang saling
berkaitan. Dalam kaitannya dengan kinerja, menurut Kotter dan Heskett dalam
Susanto A.B (2008, p246) mengklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu:
1)
Budaya yang kuat (strong culture)
Budaya
yang kuat diasosiasikan dengan kinerja yang unggul, dimana budaya yang kuat
memiliki seperangkat nilai-nilai dan metode yang relative konsisten dalam
menjalankan aktivitas bisnis.
2)
Budaya yang adaptif (adaptive culture)
Budaya
yang dapat membantu dalam mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan yang dapat menghasilkan kinerja yang superior dalam jangka waktu
yang lama.
3)
Budaya berkinerja
rendah (low-perfomance culture)
Ada
tiga komponen yang mengakibatkan budaya organisasi merusak kinerja:
(1)
Situasi dimana pemimpin
dan manager
bersifat arogan. Sikap ini dapat muncul disebabkan oleh kesuksesan demi
kesuksesan yang telah diraih
(2)
Sikap para pemimpin dan
manager
yang kurang menghargai pelanggan, karyawan, dan pemegang saham.
(3)
Resisten terhadap
nilai-nilai seperti kepemimpinan dan perubahan.
2.1.3 Kinerja Karyawan
2.1.3.1 Pengertian Kinerja Karyawan
Mathis
dan Jackson (2006, p378) berpendapat bahwa kinerja (perfomance) pada dasarnya apa yang yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan
meliputi elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan
waktu dari hasil, kehadiran atau absensi, dan kemampuan bekerja sama.
Whitmore dalam Tri Widodo (2010)
mengartikan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari
seseorang. Sementara Fishbien dalam Harsanto mengemukakan bahwa kinerja
seseorang adalah penampilan (performance) atau perilaku seseorang dalam
menjalankan pekerjaan. Performan dan perilaku adalah sesuatu yang terbentuk
karena ditanamkan oleh orang lain, lingkungan, kondisi sosial budaya, atau
dipelajari secara sengaja oleh orang yang bersangkutan.
Brahmasari
dalam Ida Ayu Brahamasari dan Agus Suprayetno (2008) mengemukakan bahwa kinerja
adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output
kuantitatif maupun kualitatif, kreatifitas, fleksibilitas, dapat diandalkan,
atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi.
Dari
definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah perilaku
yang ditunjukkan oleh para karyawan sebagai perwujudan prestasi kerja yang
dihasilkan sesuai dengan perannya di dalam perusahaan.
2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kinerja
Para pimpinan organisasi sangat menyadari
adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan yang lainnya.
Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktifitas
mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh
2 faktor, yaitu : faktor individu dan situasi kerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,
menurut Mathis dan Jackson (2006, p113-114)), kinerja para karyawan adalah
suatu awal keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu :
1)
Kemampuan individual
Kemampuan
individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian. Tingkat
keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang berupa pengetahuan,
pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan tekhnis. Dengan
demikian, kemungkinan seorang karyawan akan mempunyai kinerja yang baik, jika
karyawan tersebut memmiliki keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan
menghasilkan kinerja yang baik pula.
2)
Usaha yang dicurahkan
Usaha
yang dicurahkan oleh karyawan bagi perusahaan adalah motivasi, etika kerja, kehadiran,
dan motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran motivasi yang
diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dari itu,
kalaupun karyawan memiliki tingkat keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan,
akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya sedikit upaya. Hal ini
berkaitan dengan perbedaan anatara tingkat keterampilan dengan tingkat upaya.
Tingkat keterampilan merupakan cermin dari apa yang dilakukan, sedangkan
tingkat upaya merupakan cermin dari apa yang dilakukan.
3)
Dukungan organisasional
Dalam
dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi karyawan
meliputi pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, standar kinerja, dan manajemen dan rekan kerja. Kinerja pada
dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja
karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka memberikan kontribusi
pada organisasi.
2.1.3.3 Unsur – unsur Evaluasi Kinerja
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p378),
kinerja (performance) pada dasarnya
adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan
yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut :
1)
Kuantitas dari hasil
Pencapaian
sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut, dalam presentase
atau indeks.
2)
Kualitas dari hasil
Kualitas
bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung pada
selera individu. Kualitas dapat dirasakan, dilihat, atau diraba.
3)
Ketepatan waktu dari
hasil
Setiap
pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukan. Waktu merupakan
sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat disimpan atau ditunda.
Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat mungkin dan secara
optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi
biaya besar dan kerugian.
4)
Kehadiran atau absensi
5)
Kemampuan bekerja sama
2.1.4 Kajian Penelitian Terdahulu
Untuk
melakukan penelitian ini, maka dilakukan penelurusuran lebih lanjut dari
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis. Berikut ini adalah penelitian terdahulu :
1. Penelitian oleh Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno
(2008) yang berjudul “Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan, dan Budaya
Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja
Perusahaan”. Berdasarkan penelitian ini bahwa pengaruh kepemimpinan terhadap
kinerja perusahaan berpengaruh positif dan signifikan artinya kepemimpinan
merupakan suatu upaya untuk mempengaruhi banyak orang melalui proses komunikasi
untuk mencapai tujuan organisasi dan pengaruh budaya organisasi terhadap
kinerja perusahaan adalah positif dan signifikan artinya budaya organisasi
merupakan hasil interaksi ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi
kelompok-kelompok orang dalam lingkungan organisasinya.
2. Penelitian oleh Tri Widodo (2010) yang berjudul “Pengaruh
Lingkungan Kerja, Budaya Organisasi, Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan
(Studi pada Pegawai Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga”. Dalam penelitian ini
terdapat pengaruh yang positif dan signifikan secara parsial dan simultan
antara variabel lingkungan kerja, budaya organisasi, kepemimpinan terhadap
kinerja pegawai Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga.
2.2 Kerangka Pemikiran
Untuk lebih memperjelas dari penelitian
yang menunjukkan bahwa adanya suatu hubungan antara Gaya Kepemimpinan
Demokratis dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan dapat digambarkan
dengan bagan, sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber : Penulis,
2012
2.3 Hipotesis
Menurut sugiyono (2007, p51) hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena
itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat
pertanyaan. Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan,
diharapkan bahwa solusi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95%,
sehingga tingkat presisi atau batas ketidakakuratan sebesar = 5% = 0,05.
Sedangkan hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Untuk
T-1 : H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Gaya Kepemimpinan
Demokratis (X1) dengan Kinerja Karyawan (Y).
Ha : Ada pengaruh yang
signifikan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis (X1) dengan Kinerja Karyawan
(Y).
Untuk
T-2 : H0
: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Organisasi (X2) dengan
Kinerja Karyawan (Y).
Ha
: Ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Organisasi (X2) dengan Kinerja
Karyawan (Y).
Untuk T-3 : H0 : Tidak ada pengaruh
yang signifikan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis (X1) dan Budaya Organisasi
(X2) dengan Kinerja Karyawan (Y).
EmoticonEmoticon