Monday, June 9, 2014

SKRIPSI EKONOMI MANAJEMEN TERBARU PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, LINGKUNGAN KERJA, DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI


PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, LINGKUNGAN KERJA, DAN
MOTIVASI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI
DINAS PENDIDIKAN PROVINSI DKI JAKARTA (2009)

THE AFFECT OF LEADERSHIP STYLE, WORK ENVIRONMENT, AND EMPLOYEES’ WORK MOTIVATION ON EMPLOYEES’ 
JOB SATISFACTION OF THE EDUCATION OFFICE
OF DKI JAKARTA PROVINCE (2009)

ABSTRACT

This causal research aims to assess effect of the leadership style, work environment, and employees’ work motivation on the job satisfaction of the employees’ of the Education Office of the DKI Jakarta Province. The data were collected from a randomly selected sample of 100 rank III employees of the education of the DKI Jakarta Province. The research was implemented during three-months from March untik MAY 2009. The questionnaire was signed by Liker scale. A path analysis technique was employed to analyse the data descriptively and inferentially. The research findings show that (1) a direct effect of the leadership style on the employees’ work motivation, (2) a direct effect of the environment on the employees’ work motivation, (3) a direct effect of the leadership style on the employees’ job satisfaction, (4) a direct effect of the work environment on the employees’ job satisfaction, (5) a direct effect of the work environment on the employees’ job satisfaction, (6) an indirect effect of the leadership style on the employees’ job satisfaction, and (7) an indirect effect of the work environment on the employees’ satisfaction. These findings suggest that the leadership style, work environment, and work motivation were determining factors of the employees’ job satisfaction, hence the research need to take into consideration for developing of human resource.


PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Seiring  dengan semangat reformasi di segala bidang,  upaya penyempurnaan dan pembenahan birokrasi menuju Indonesia Baru menjadi sangat penting, terutama agar birokrasi mampu melanjutkan cita-cita pendiri bangsa, yaitu: menciptakan suatu masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur melalui tahapan-tahapan pembangunan yang telah ditetapkan secara sistematis.
Instansi pemerintah sebagai lembaga pelayanan masyarakat, berusaha mereformasi birokrasi dengan menekankan pada perubahan sikap dan perilaku aparat pemerintah daerah yang lebih efektif, efisien, responsif, transparan, dan akuntabel. Hal ini dilakukan dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang lebih kritis terhadap pemerintah.  Dengan demikian tuntutan terhadap profesionalisme Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga meningkat.
Menjadi PNS bagi sebagian orang Indonesia adalah sebuah dambaan, banyak orang dalam antrean pengambil formulir pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selalu membludak setiap tahun. Orang merelakan apapun yang dia miliki untuk menjadi seorang PNS. Meskipun sudah ada upaya dari pemerintah  untuk memperbaiki masalah rekrutmen PNS.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2008 mengenai kenaikan gaji PNS telah ditandatangani. Menurut Menteri Keuangan, PP tersebut hanya menjalankan amanat APBN. Setelah PP disahkan, PNS dapat menerima kenaikan gaji di tahun 2009 (Ani, 2009: 1). Kenaikan gaji PNS memungkinkan kehidupan PNS semakin makmur. Dengan kata lain, penghargaan terhadap pekerjaan pegawai dengan kenaikan gaji memungkinkan pegawai memperoleh kepuasan kerja. Namun permasalahan PNS, tidak hanya sebatas kenaikan gaji tetapi juga tuntutan profesionalisme dan reformasi institusi. Hal ini juga mengusik kepuasan kerja pegawai, sebagaimana yang terjadi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Perampingan struktur organisasi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Salah satu Dinas yang disatukan adalah Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) dan Dinas Pendidikan Menengah Tinggi (Dikmenti). Sebelum dilakukan peleburan kedua institusi pendidikan ini, Dikdas DKI Jakarta mengumpulkan seluruh pejabat eselon IV agar tidak resah. Kegiatan rapat koordinasi itu diikuti oleh 122 pejabat eselon IV di lingkungan Dikdas. Mereka yang hadir terdiri dari para Kasie Dinas Dikdas Kecamatan se-DKI Jakarta, Kasie dan Kasubag di lingkungan Sudin Dikdas, Kasudin Dikdas, dari lima wilayah kota dan satu  Kabupaten          Administrasi Kepulauan Seribu dan para Kasubdis di Dinas Dikdas DKI (Widiastuti, 2008: 1). Namun terlihat jelas bahwa para peserta rapat tidak dapat menyembunyikan keresahannya. Demikian pula dengan para pegawai yang bertanya-tanya tentang gaya kepemimpinan yang diterapkan  oleh Pejabat Dinas Pendidikan yang baru. Masalah gaya kepemimpinan menjadi sering dibicarakan di kalangan pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pergantian pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta mendapat perhatian sepenuhnya dari para pegawainya. Bahkan gaya kepemimpinan pun merupakan masalah bagi para pegawai.
Selain masalah gaya kepemimpinan, para pegawai juga dihadapkan dengan lingkungan kerja sebagai  dampak perampingan tersebut. Ada dua lingkungan kerja yang disatukan dan diharapkan lebih efektif dan efisien. Namun, sejak akhir Desember 2004 di mana Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menolak permintaan Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta agar gedung Pendidikan Dasar di Jalan Jatinegara Timur direnovasi total sampai saat ini upaya itu tidak pernah dilakukan. Padahal, Wakil Kepala Dikdas pada waktu itu, Maman Achdiyat, menyatakan sudah waktunya gedung tersebut direnovasi total. Menurutnya, bangunan tersebut sudah terlalu tua dan tidak layak lagi untuk dijadikan perkantoran (Sari, 2004: 1). Hal ini menunjukkan bahwa pegawai dihadapkan dengan masalah lingkungan kerja  yang seharusnya sudah direnovasi. Lingkungan kerja menjadi perhatian para pimpinan di lingkungan Dinas Dikdas Provinsi DKI Jakarta karena dianggap sudah terlalu tua dan harus direnovasi.
Selain dihadapkan dengan gaya kepemimpinan atasan dan lingkungan kerja, pegawai juga bermasalah dengan motivasi kerja. Pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, hasil Inspeksi Mendadak (Sidak) yang dilakukan oleh Badan Pengawas Daerah (Bawasda) di beberapa instansi pemerintah pascaliburan.  Hasil Sidak, dari 69 unit, ditemukan pegawai yang tidak hadir tanpa keterangan dan yang terlambat berjumlah 290 orang (Harijogja, 2008: 1). Contoh sederhana ini termasuk juga yang terjadi di Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu-waktu tertentu motivasi kerja kurang mendapat perhatian dari pegawai itu sendiri. Mereka lebih suka meninggalkan kantor untuk urusan yang lebih bersifat pribadi daripada segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Masalah motivasi kerja erat kaitannya dengan berbagai hal yang menyangkut faktor internal dan eksternal serta dampaknya terhadap diri pegawai dan pekerjaannya.
Secara nasional, pegawai Departemen Pendidikan Nasional non-guru berjumlah lebih dari 200 ribu orang. Bila dibandingkan dengan instansi lain memang berbeda. Misalnya, PLN hanya dengan 52 ribu orang karyawan se-Indonesia, bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24 jam setiap hari. PT Pos Indonesia hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat menyurat se-Indonesia sudah bisa tertangani. Bandingkan dengan karyawan PT Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di seantero Indonesia (Iman, 2008: 1). Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, kenyataan  data menunjukkan bahwa 50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak. Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452 sekolah rusak parah (Iman, 2008: 1). Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175 ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta jiwa.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, faktor-faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kepuasan kerja pegawai selain dari  gaji, juga berkaitan dengan gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, dan motivasi kerja pegawai. Hal-hal inilah yang  menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Perumusan Masalah
1.    Apakah gaya kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja pegawai?
2.    Apakah lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja pegawai?
3.    Apakah gaya kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?
4.    Apakah lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?
5.    Apakah motivasi kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?
6.    Apakah gaya kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai?
7.    Apakah lingkungan kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai?

DESKRIPSI TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Deskripsi Teoretik
1.    Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja mengacu pada sikap individu secara umum terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya, seseorang yang tidak puas mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja pada hakikatnya merupakan penilaian seseorang terhadap pekerjaan yang dirasakannya. Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 141) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap pegawai terhadap pekerjaannya yang merupakan hasil dari persepsi terhadap pekerjaannya (job satisfaction is an attitude that workers have about their job. It results from their perception of the jobs). Dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada tingkat outcome intrinsik dan ekstrinsik, serta cara pegawai tersebut memandang outcome kerjanya.
Robbins dan Judge (2007: 30) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang dihasilkan oleh evaluasi tentang karakteristik pekerjaannya (job satisfaction is a positive feeling about one’s job resulting from an evaluation of its characteristics). Perasaan positif yang dimaksud adalah adanya perasaan senang, bangga, lega, dan perasaan lain yang mengungkapkan adanya kesesuaian antara harapan dengan kenyataan dalam kaitan dengan pekerjaan yang telah dilakukan.
Pendapat senada dari  McShane dan Von Glinow (2008: 115) bahwa kepuasan kerja merupakan evaluasi seseorang terhadap kerjanya dan konteks pekerjaan (job satisfaction is a person’s evaluation of his or her job and work context). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian terhadap karakteristik kerja yang dirasa, faktor lingkungan, dan pengalaman emosional pada saat kerja. Dengan demikian, pegawai yang merasa puas dalam bekerja akan mempunyai penilaian yang menyenangkan pada pekerjaannya yang didasarkan pengamatan dan pengalaman emosionalnya. Kepuasan kerja merupakan kumpulan sikap puas, senang, dan adanya kesesuaian antara berbagai aspek  dan konteks pekerjaan.
Sementara itu, Mullins (2005: 700) menyatakan bahwa usaha untuk memahami sifat kepuasan kerja dan pengaruhnya terhadap kinerja tidak mudah. Kepuasan kerja adalah konsep yang kompleks dan multisegi yang dapat menimbulkan perbedaan pemahaman bagi orang-orang yang berbeda (Job satisfaction is a complex and multifaceted concept, which can mean different things to different people). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja lebih pada sikap, ungkapan dari dalam. Kepuasan kerja dapat diasosiasikan dengan perasaan seseorang terhadap prestasi, baik kuantitatif atau kualitatif (job satisfaction is more of an attitude, an internal state. It could, for example, be associated with a personal feeling of achievement, either quantitative or qualitative).
Kepuasan kerja berkaitan dengan perasaan dan emosi seseorang. Newstrom dan Davis (2002: 208) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan senang atau tak senang dan emosi yang merupakan pandangannya terhadap pekerjaannya (job satisfaction is a set of favorable or unfavorable feelings and emotions with which employees view their work). Kepuasan kerja merupakan sikap afektif – perasaan yang relatif suka dan tak suka terhadap sesuatu. Misalnya: pegawai yang puas akan berkomentar, “Saya menikmati berbagai tugas yang saya lakukan”. Pendapat senada disampaikan Bootzin, et al., (1986: 685) bahwa  kepuasan kerja adalah orientasi emosional dan afektif terhadap pekerjaan seseorang (job satisfaction is an emotional, affective orientation toward one’s work).
Menurut George and Jones (2005: 75), kepuasan kerja adalah sekumpulan perasaan dan keyakinan orang-orang dalam melakukan pekerjaan saat ini (job satisfaction is the collection of feelings and beliefs that people have about their current job). Maksudnya kepuasan kerja adalah sekumpulan perasaan dan keyakinan orang-orang dalam melakukan pekerjaan saat ini.
Colquitt, Lepine, and Wesson (2009: 105), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan dari penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman-pengalaman kerjanya (job satisfaction is defined as a pleasurable emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experiences). Robbins dan Judge (2007: 79) mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan seseorang dihasilkan dari evaluasi dari karakteristiknya (job satisfaction as a positive feeling about one’s job resulting from an evaluation of its characteristics).
Sikap positif seseorang terhadap pekerjaannya memunculkan kepuasan kerja pada diri pekerja tersebut. Kleiman (1997: 4) menyatakan bahwa sikap positif muncul karena adanya rasa aman terhadap pekerjaan, menyukai pekerjaan, diberikan kesempatan meningkatkan karier di unit kerjanya, sesuai dengan perjanjian kerja, atasan menghargai bawahan dengan memberikan gaji secara adil. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan dengan sikap atasan dalam menghargai bawahannya. Dengan kata lain, gaya kepemimpinan atasan berdampak pada kepuasan kerja pegawainya.
Pendapat senada dari Gibson, et al., (2006: 108) ar kepuasan kerja adalah sikap individu terhadap pekerjaannya (job satisfaction is an attitude that individuals have about their jobs). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan persepsi terhadap pekerjaannya yang didasarkan pada faktor lingkungan, seperti gaya supervisor, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi pekerjaan, dan tunjangan tambahan.  Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, meliputi: gaya kepemimpinan atasan, kebijakan organisasi dan prosedur kerja, afiliasi yang ada dalam kelompok kerja, lingkungan kerja, dan adanya tunjangan tambahan selain gaji yang diterima. Menurut Gibson, et al., (2009: 327) dalam teori Model Path-Goal, kepuasan kerja (job satisfaction) di samping kinerja (performance) pada hakikatnya merupakan outcomes dipengaruhi oleh persepsi (perception) dan motivasi kerja (work motivation) pegawai. Kedua hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya: perilaku atau gaya kepemimpinan (leaders behavior/styles), karakteristik bawahan (follower/ subordinate characteristics), dan faktor lingkungan (environmental factors). 

     Teori Path-Goal mengenalkan dua kelompok situasi atau variabel kontingensi yang memperbaiki hubungan antara perilaku atau gaya pemimpin dengan persepsi dan motivasi bawahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap hasil (kepuasan kerja, kinerja). Semua faktor lingkungan adalah di luar kendali seorang pemimpin (struktur tugas, sistem otoritas formal, dan kelompok kerja). Faktor golongan kedua merupakan bagian karakter pribadi bawahan (penyesuaian tempat, pengalaman, dan kemampuan). Pada dasarnya teori ini menyarankan bahwa perilaku atau gaya pemimpin harus menyerap variabel kontingensi tersebut. Jadi, pemimpin tidak akan efektif bila gaya yang diterapkan atau perilakunya berlebihan bila dibanding struktur keadaan sekitar atau tidak sejalan dengan karakter bawahan.
Pendapat di atas diperkuat oleh Gagne dan Deci (2005: 347) dalam Self-determination Theory and Work Motivation bahwa lingkungan kerja (konten pekerjaan, konteks pekerjaan, dan iklim kerja) dan keragaman individu (orientasi kausalitas) sebagai bagian dari motivasi  kerja, demikian juga outcome pekerjaan yang berkaitan dengan motivasi kerja (environmental factors (job content, job context, and work climate), and individual differences (causality orientation) as antecedents of autonomous motivation, as well as the work outcomes associated with  autonomous motivation).

  1. Gaya Kepemimpinan (Leadership Styles)
Kepemimpinan dapat diuji dengan mengkaji beberapa elemen dasarnya, salah satunya adalah dengan menggunakan berbagai gaya kepemimpinan. Fiedler, sebagaimana dikutip Robbins dan Judge (2009: 427), mempercayai bahwa faktor kunci dalam kesuksesan kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan dasar individu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ada tiga dimensi kontingensi yang menentukan efektivitas kepemimpinan, yaitu: (1) hubungan pemimpin-bawahan: tingkat kepercayaan diri, kepercayaan, dan respek bawahan yang ada dalam pemimpinnya; (2) struktur tugas: derajat di mana tugas diproseduralkan (terstruktur atau tidak); dan (3) kekuasaan posisi: derajat dari pengaruh seorang pemimpin yang memiliki variabel kekuasaan seperti pengangkatan, pemberhentian, pendisiplinan, promosi, dan peningkatan gaji.
Newstrom and Davis (2002: 167) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola total dari tindakan eksplisit dan implisit pemimpin yang dilihat oleh pegawainya (leadership style is the total pattern of explicit and implicit leaders’ actions as seen by employees).
Campling, Poole, Wiesner, and Schermerhorn (2002: 365) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin (leadership style is the recurring pattern of behaviors exhibited by a leader). Perilaku pemimpin menunjukkan gaya kepemimpinnya.
Gaya kepemimpinan juga merupakan fungsi sikap manajer terhadap bawahannya. Mullins (2005: 866) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan manajerial adalah fungsi sikap manajer terhadap bawahannya, dan asumsi tentang sifat dan perilaku manusia (the style of managerial leadership is a function of the manager’s attitudes towards people, and assumptions about human nature and behaviour). Oleh karena itu, gaya kepemimpinan akan berpengaruh terhadap perilaku bawahannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Cunningham and Cordeiro (2003: 140-141), gaya kepemimpinan akan mempengaruhi perilaku bawahannya terutama mendukung penggunaan gaya yang disukai (leadership style may, in fact, influence the behaviour of subordinates in such a way that the subordinates’ behaviour actually supports the use of the leader’s preferred style, becoming a self-fulfilling prophecy).
Reddin sebagaimana dikutip oleh Thoha (2000: 265), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dibedakan menjadi gaya yang efektif dan gaya yang tidak efektif. Gaya kepemimpinan yang efektif terdiri dari: (1) pelaksana (executive); (2) pecinta pengembang (developer); (3) otokratis yang baik hati (benevolent autocrat); dan (4) birokrat (bureaucrat). Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. (1) Pelaksana (executive). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) bekerja dengan asumsi bahwa orang lain dapat bekerja sama baiknya dengan dirinya; (b) cenderung mementingkan kualitas dalam melaksanakan tugas; (c) berdisiplin dalam melaksanakan tugas; (d) berusaha menumbuhkan partisipasi aktif orang-orang yang dipimpinnya; (e) memiliki semangat, moral, loyalitas, dan dedikasi kerja yang tinggi; (f) mampu menumbuhkan kesediaan bekerja keras; (g) mampu menumbuhkan rasa aman; (h) efisien dan efektif dalam bekerja; (i) mempunyai perhatian yang positif dalam menyelesaikan konflik-konflik yang timbul; (j) terbuka terhadap kritik dan saran-saran; dan (k) mampu memisahkan masalah yang perlu dan tidak perlu dalam musyawarah. (2) Pecinta pengembang (Developer). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) mahir berorganisasi; (b) bekerja secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab; (c) mau mempercayai orang lain dalam bekerja; (d) memiliki kemampuan dan menghormati orang lain-, (e) cenderung pada usaha menciptakan hubungan manusiawi yang efektif, dan (f) meyakini bahwa orang yang diberi wewenang dapat mengendalikan diri. (3) Otokratis yang baik hati atau disempurnakan (Benevolent Autocrat). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) pemimpin berorientasi pada hasil; (b) tugas orang yang dipimpin adalah melaksanakan dan mentaati perintah; (c) pemimpin menuntut ketaatan dan kepatuhan dengan membuat peraturan-peraturan; dan (d) pemimpin kurang yakin pada diri sendiri. (4) Birokrat (Bureaucrat). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) bekerja harus sesuai dan mengikuti secara ketat semua peraturan, prosedur, dan mekanisme yang sudah ditetapkan; (b) menuntut ketaatan pada perintah pimpinan yang lebih tinggi; (c) pemimpin berusaha agar lingkungan dan situasi kerja sesuai dengan aturan teoretis; (d) kurang aktif dalam melaksanakan tugas-tugas dan bersifat saling menunggu; (e) gagasan-gagasan tidak berorientasi pada peningkatan produktifitas, tetapi lebih diarahkan pada mengatur tata hubungan kerja; (f) pemimpin kurang berusaha mengembangkan hubungan manusiawi dengan orang-orang yang dipimpinnya; dan (g) kurang menyukai orang luar dan masyarakat.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang tidak efektif terdiri dari: (1) pecinta kompromi (compromiser); (2) pelindung atau penyelamat (missionary); (3) otokratis (autocrat); dan (4) lari dari tugas (deserter). Lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) Pecinta kompromi (Compromiser). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) cenderung senang berusaha untuk menyenangkan pimpinan yang lebih tinggi; (b) banyak mengikutsertakan orang-orang yang dipimpinnya dalam mengambil keputusan; (c) cenderung selalu menilai untung rugi bagi dirinya sebelum mulai melaksanakan tugas; (d) cenderung tidak berusaha mengerjakan tugas secara baik; (e) menjalin hubungan yang baik dengan orang yang dipimpin hanya untuk diperalat; dan (f) memberikan motivasi kerja secara selektif atau setengah hati. (2) Pelindung atau penyelamat (Missionary). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) berkepribadian ramah dan murah senyum; (b) selalu berusaha secara aktif mencegah konflik dengan orang lain; (c) melaksanakan tugas-tugas secara santai; (d) cenderung mengabaikan para pembantu pimpinan dan orang dalam; (e) memiliki kemampuan dan kemauan yang tinggi dalam menghormati, menghargai orang lain dan mengendalikan diri; (f) hasil dari kepemimpinan tidak dipentingkan, yang diutamakan proses pemberian layanan untuk kepuasan orang lain; dan (g) kurang berminat memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam organisasi. (3) Otokratis (Autocrat). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) pelaksanaan tugas merupakan kegiatan terpenting; (b) pelaksanaan tugas tidak boleh salah atau menyimpang dari instruksi; (c) inisiatif dan kreatifitas orang-orang yang dipimpin dimatikan, karena dipandang akan menyimpang dari instruksi; (d) kurang memperhatikan hubungan manusiawi, baik antar pemimpin dengan orang yang dipimpin maupun sesama orang-orang yang dipimpinnya; (e) kurang mempercayai orang lain termasuk juga anggota kelompok atau organisasinya; (f) menyenangi ditakuti dan akibatnya kurang disenangi orang-orang yang dipimpinnya; (g) orang-orang yang dipimpinnya diperlakukan sekedar sebagai pelaksana kehendak pemimpin; (h) sukar memberikan maaf pada bawahan, karena hanya menuntut ketaatan; (i) pendapat dari bawahan bukan saja dianggap tidak benar, tetapi dinilai tidak perlu dan dianggap menantang atau membangkang, dan (j) orang-orang yang dipimpin tidak bersatu dan terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil. (4) Lari dari tugas atau pembelot (Deserter). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) menghindar dari tugas dan tanggung jawab; (b) hanya melibatkan diri pada tugas-tugas yang ringan dan mudah; (c) suka menyendiri dan kurang menyukai pergaulan; (d) cenderung suka mengabaikan orang lain, tetapi senang menyabot; (e) mudah menyerah apabila menghadapi kesulitan; dan (f) bekerja hanya untuk mencapai hasil yang minimal.
Para pemimpin banyak yang menggunakan pendekatan-pendekatan dari gaya otokrasi sampai dengan gaya demokrasi. Ketika sejumlah pemimpin menggunakan pendekatan yang sangat otokrasi dalam mengawasi para bawahannya, sejumlah pemimpin lain menggunakan pendekatan yang sangan demokrasi. Para pemimpin lainnya menggunakan berbagai pendekatan demokrasi dan otokrasi, yang berarti pendekatan mereka berada di antara kedua pendekatan yang ekstrem. Menurut Quible (1980: 299), berbagai pendekatan tentang gaya kepemimpinan dapat digambarkan dalam rangkaian kesatuan (continuum) pendekatan otokrasi - demokrasi.
Lebih lanjut dijelaskan pendekatan kepemimpinan otokrasi ada ketika atasan mengambil keputusan tanpa mengusahakan gagasan, saran-saran, dan rekomendasi bawahan. Dengan demikian pemimpin yang menggunakan pendekatan ini cenderung memberikan pengawasan yang ekstensif pada tingkah laku dan tidakan bawahan. Dalam banyak kasus dijelaskan juga oleh Quible bahwa sejumlah bawahan didisiplinkan sebelum suatu usaha dilakukan untuk menentukan alasan-alasan sebagai tanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya. Jarang sekali para pemimpin otokrasi menyimpang dari norma atau arah tindakan yang diinginkan. Sedangkan para pemimpin yang menggunakan pendekatan demokrasi, secara ekstensif menggunakan gagasan, saran, dan rekomendasi bawahan mereka. Dengan demikian hubungan yang kooperatif ada di antara atasan dan bawahan. Sangat dimungkinkan bawahan diminta untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan khususnya bila keputusan itu akan berpengaruh terhadap bawahannya.
Menurut Rue dan Byars (1980: 346), ada tiga dasar gaya kepemimpinan, yaitu: otokratis, demokratis; dan laissez faire. Adapun inti perbedaan dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut terletak pada pembuatan keputusan. Lebih lanjut dijelaskan secara rinci. Pertama, pada gaya kepemimpinan otokratis, semua keputusan ditentukan oleh pimpinan. Kedua, pada gaya kepemimpinan laissez faire: pimpinan mengikuti anggota-anggotanya dalam membuat keputusan. Ketiga, pada gaya kepemimpinan demokratis, pimpinan membimbing dan memberi semangat kepada kelompoknya dalam membuat keputusan.
Gaya kepemimpinan yang diperlihatkan oleh seorang pimpinan dapat berbeda antara satu pimpinan dengan pimpinan yang lainnya. Ada beberapa gaya kepemimpinan, namun secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok gaya kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, dan laissez faire. Canadian Association of Student Activity Advisors (CASAA) (2000: 1-2) menyimpulkan hasil kajian tentang gaya kepemimpinan sebagai berikut. Pertama, pada gaya kepemimpinan otokratis (autocratic leadership style), semua keputusan ditentukan oleh pimpinan, pimpinan mengatur langkah-langkah kegiatan, tugas dan pekerjaan masing-masing anggota diatur oleh pimpinan, serta pimpinan cenderung bersikap subjektif dalam melaksanakan kepemimpinannya. Kedua, pada gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style), keputusan dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan anggota, langkah-langkah kegiatan organisasi diputuskan dalam koridor musyawarah oleh pimpinan dan seluruh anggota, tugas dan pekerjaan diatur dalam kelompok dan anggota bebas menentukan pasangan kerjanya, serta pimpinan cenderung bersikap objektif dalam memuji atau mengecam anggotanya berdasarkan fakta.  Ketiga, pada gaya kepemimpinan santai (laissez-faire leadership style), keputusan ditentukan oleh anggota dengan partisipasi minimum dari pimpinan, pimpinan tidak terlibat dalam penentuan tugas dan kegiatan, tidak ada partisipasi pimpinan dalam menentukan tugas dan pekerjaan, serta pimpinan cenderung bersikap pasif dalam memberikan pujian atau kecaman.
Dale (2002: 36-48) membagi gaya kepemimpinan menjadi lima, yaitu 1) Birokratis; 2) Permisif; 3) Laissez faire; 4) Partisipatif; dan 5) Otokratis. Lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut. Birokratis,  satu gaya yang ditandai dengan keterikatan yang terus-menerus kepada aturan-aturan organisasi. Gaya ini menganggap bahwa kesulitan-kesulitan akan dapat diatasi bila setiap orang mematuhi peraturan. Keputusan-keputusan dibuat berdasarkan prosedur-prosedur baku. Pemimpinnya adalah seorang diplomat dan tahu bagaimana memakai sebagian besar peraturan untuk membuat orang-orang melaksanakan tugasnya. Kompromi merupakan suatu jalan hidup karena untuk membuat satu keputusan diterima oleh mayoritas, orang sering harus mengalah kepada yang lain. Permisif,  keinginannya adalah membuat setiap orang dalam kelompok tersebut puas. Membuat orang-orang tetap senang adalah aturan mainnya. Gaya ini menganggap bahwa bila orang-orang merasa puas dengan diri mereka sendiri dan orang lain, maka organisasi tersebut akan berfungsi dan dengan demikian, pekerjaan akan bisa diselesaikan. Koordinasi sering dikorbankan dalam gaya ini. Laissez-faire, sama sekali bukanlah kepemimpinan. Gaya ini membiarkan segala sesuatunya berjalan dengan sendirinya. Pemimpin hanya melaksanakan fungsi pemeliharaan saja. Misalnya, seorang pendeta mungkin hanya namanya saja ketua dari organisasi tersebut dan hanya menangani urusan khotbah, sementara yang lainnya mengerjakan segala pernik mengenai bagaimana organisasi tersebut harus beroperasi. Gaya ini kadang-kadang dipakai oleh pemimpin yang sering bepergian atau yang hanya bertugas sementara. Partisipatif,  dipakai oleh mereka yang percaya bahwa cara untuk memotivasi orang-orang adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diharapkan akan menciptakan rasa memiliki sasaran dan tujuan bersama. Masalah yang timbul adalah kemungkinan lambatnya tindakan dalam menangani masa-masa krisis. Otokratis,   ditandai dengan ketergantungan kepada yang berwenang dan biasanya menganggap bahwa orang-orang tidak akan melakukan apa-apa kecuali jika diperintahkan. Gaya ini tidak mendorong adanya pembaruan. Pemimpin menganggap dirinya sangat diperlukan. Keputusan dapat dibuat dengan cepat.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang lain adalah Transformational Leadership diperkenalkan oleh Benard M. Baas dalam bukunya berjudul Leadership and Performance Beyond Expectation. Bernard M. Bass dan B.J. Avolo, sebagaimana dikutip Wirawan (2007: 1), mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai berikut. (1) Individual consideration. Pemimpin mengembangkan orang dengan menciptakan lingkungan yang pendukung; (2) Intellectual simulation. Pemimpin menstimulasi orang agar kreatif dan inovatif. Pemimpin mendorong para bawahannya untuk memakai imajinasi mereka dan untuk menantang cara melakukan sesuatu yang diterima oleh sistem sosial; (3) Inspirational motivation. Pemimpin menciptakan gambar jelas mengenai keadaan masa yang akan datang secara optimis dan dapat dicapai dan mendorong bawahan untuk meningkatkan harapan dan mengikatkan diri kepada visi; serta  (4) Idealized influence. Pemimpin bertindak sebagai role model atau panutan. Ia menunjukkan keteguhan dan ketetapan hati dalam mencapai tujuan, mengambil tanggung jawab sepenuhnya untuk tindakannya dan menunjukkan percaya diri tinggi terhadap visinya.
Bass, sebagaimana dikutip Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 432) menyatakan tiga faktor yang menjelaskan kepemimpinan transformasional. 1) Karisma. Pemimpin dapat membangkitkan pemahaman tentang nilai, respek, dan kebanggaan, serta menyampaikan visi; 2) Perhatian individu. Pemimpin memperhatikan kebutuhan para bawahannya dan memberikan proyek yang berguna supaya para bawahan tumbuh secara personal; 3) Menstimulasi intelektual. Pemimpin membantu para bawahan berpikir ulang cara-cara rasional dalam mengkaji situasi. Ia mendorong para bawahan menjadi kreatif (1) Charisma. The leader is able to instill a sense of value, respect, and pride and to articulate a vision. 2) Individual attention. The leader pays attention to followers’needs and assigns meaningful projects so that followers grow personally. 3) Intellectual  stimulation. The leader helps followers rethink rational ways to examine a situation. He encourages followers to be creative). Dengan demikian, kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen, yaitu: kharisma, perhatian yang diindividualisasi, dan rangsangan intelektual. Kharisma dapat didefinisikan sebagai sebuah proses di mana seorang pemimpin mempengaruhi para bawahan dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut. Perhatian yang diindividualisasi termasuk memberikan dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan diri kepada bawahan. Rangsangan intelektual adalah sebuah proses di mana para pemimpin meningkatkan kesadaran para bawahan terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para bawahan untuk memandang masalah-masalah dari prespektif yang baru.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku pemimpin yang spesifik dalam mengarahkan bawahannya baik secara individu maupun kelompok dalam mencapai tujuan, yang nampak pada:  tingkat kepercayaan diri, respek bawahan, kepiawaian dalam mengarahkan, keterbukaan dalam pengambilan keputusan, keluwesan dalam berkomunikasi, akuntabilitas terhadap semua kebijakan yang dilakukan.

3.    Lingkungan Kerja (Work Environment)
Lingkungan kerja berkaitan dengan keberadaan sarana dan prasarana serta aspek sosial yang mendukung pekerja dalam melaksanakan pekerjaan. Para anggota organisasi atau pegawai yang terlibat dalam pekerjaan yang sama, berbagi tugas bersama, atau menghadapi pekerjaan yang sama memerlukan faktor lingkungan yang dapat mendukung kebersamaan mereka. Sebagaimana dinyatakan oleh Evans (2005: 367) bahwa lingkungan kerja adalah semua kesempatan yang memungkinkan pegawai memberikan kontribusi untuk berkarya lebih produktif, aman, dan menyenangkan (all of these opportunities contribute to creating a more productive, safer, and more enjoyable in work environment).
Menurut Ivancevich (2010: 162), lingkungan kerja adalah kondisi tempat kerja, lokasi kerja, dan karakteristik lain yang relevan dengan tempat kerja seperti bahaya dan tingkat kebisingan (work environment describes the working condition of the job, the location of the job, and other relevant characteristics of the immediate work environment such as hazards and noise levels). Hal ini menunjukkan bahwa ada tiga unsur lingkungan kerja, yaitu: 1) gambaran tentang kondisi tempat kerja; 2) lokasi tempat kerja; dan 3) karakteristik yang relevan dengan tempat kerja, seperti tingkat bahaya/risiko dan tingkat kebisingan.
Mullins (2005: 530) menyatakan bahwa lingkungan kerja berupa seperangkat sarana dan prasarana, komunikasi, dan dukungan teknologi. Batasan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan tidak hanya berupa lingkungan fisik tetapi juga proses komunikasi dan dukungan teknologi.
Lingkungan kerja perlu diciptakan sedemikian rupa sehingga mendukung anggota organisasi dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain lingkungan kerja harus secara potensial mendukung kekohesifan kelompok dalam melaksanakan pekerjaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja organisasi. Robbins (1998: 180) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang berada di luar organisasi yang secara potensial mempengaruhi pegawai dalam bekerja dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi. Batasan ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja merupakan semua hal yang di luar batas organisasi namun memberikan dukungan bagi produktivitas organisasi. Lingkungan kerja berdampak pada perilaku anggota organisasi dalam melaksanakan pekerjaannya. Feldman (1999: 487) menjelaskan bahwa lingkungan sarana dan prasarana secara signifikan mempengaruhi pegawai. Istilah lingkungan sarana dan prasarana dikenal dengan wilayah kerja atau teritorial.
Senada dengan pendapat di atas, Sallis (1993: 37) menyatakan bahwa ada dua faktor yang menentukan produktivitas kerja pegawai, yaitu lingkungan kerja dan motivasi para pegawai. Lebih lanjut dijelaskan bahwa baik lingkungan sarana dan prasarana maupun sosial yang kondusif dapat mempengaruhi produktivitas.
Selain produktivitas, McCormick dan Tiffin (1994: 465) menjelaskan bahwa aspek sarana dan prasarana berdampak pada kepuasan kerja dengan mensyaratkan faktor kondisi atmosfer yang meliputi suhu (temperature), kelembaban (humidity), sirkulasi udara (air flow), tekanan udara (barometric pressure), dan komposisi lingkungan (composition atmosphere).
Persepsi tentang lingkungan kerja memang bermacam-macam, Schermerhorn (1995: 408-409) mengemukakan bahwa ada dua macam lingkungan kerja, yaitu lingkungan umum dan lingkungan khusus.  Lingkungan umum mencakup nilai-nilai kultural, kondisi ekonomi, pendidikan, politik, dan hukum. Sedangkan lingkungan khusus berkaitan dengan posisi organisasi itu sendiri dalam upaya mengembangkan jaringan organisasinya. Batasan ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja dibagi menjadi lingkungan yang berkaitan dengan nilai dan kondisi serta lingkungan yang berkaitan dengan upaya organisasi dalam mengembangkan diri.
Pembagian mengenai lingkungan kerja juga dijelaskan oleh Franken (1992: 456), bahwa lingkungan kerja mempunyai dua aspek penting, yaitu lingkungan sarana dan prasarana dan lingkungan psikologis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan kerja berupa sarana dan prasarana meliputi segala hal yang berkaitan dengan aspek sarana dan prasarana suatu lembaga mulai dari rancangan gedung sampai dengan lokasi, transportasi umum, dan fasilitas parkir. Sedangkan faktor psikologis adalah faktor-faktor yang berpengaruh secara psikologis pada pembentukan suatu faktor lingkungan yang terkait dengan kemampuan manusia sebagai pekerja.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan lingkungan kerja adalah keberadaan kelengkapan fisik, peralatan kerja, dan suasana yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, yang nampak pada: kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan kerja, kelengkapan alat teknologi informasi, kenyamanan suasana kerja, kenyamanan komunikasi antaranggota organisasi, dan kenyamanan komunikasi antara atasan dengan bawahan.

4.    Motivasi Kerja (Work Motivation)
Motivasi kerja pada hakikatnya merupakan dorongan untuk bekerja yang  dipicu oleh rangsangan dari luar atau timbul dari dalam diri seseorang melalui proses psikologis dan pemikiran individu tersebut. Beberapa orang mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil. Mereka bergulat untuk mencapai prestasi pribadi, bukan sekedar untuk memperoleh ganjaran sukses semata, namun mereka memiliki hasrat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik dan lebih efisien dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Dorongan itu adalah kebutuhan akan prestasi. Kebutuhan akan kekuasaan adalah hasrat untuk mempunyai pengaruh dan mengendalikan orang lain. Pribadi ini menikmati tantangan dan beban, bergulat untuk mempengaruhi orang lain, lebih menyukai bekerja dalam situasi kompetitif, dan berorientasi pada status, lebih cenderung peduli pada prestise dan memperoleh pengaruh terhadap orang-orang di sekitarnya daripada menunjukkan kinerja yang efektif. Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk disukai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Mereka dengan motivasi afiliasi yang tinggi berjuang keras untuk suatu persahabatan, lebih menyukai situasi korporatif daripada kompetitif, dan sangat mengiginkan hubungan yang melibatkan tingkat pemahaman timbal balik yang tinggi.
Menurut Sweeney dan McFarlin (2002: 85), motivasi merupakan proses yang menggunakan “pemicu” untuk membangkitkan upaya pegawai dengan langkah-langkah perilaku ke arah pencapaian sasaran. (motivation as a proces that uses “triggers” to arouse employee effort along with steps to channel behavior toward achieving goals). Sementara itu, Campling et al. (2006: 387), menyatakan bahwa motivasi menunjukkan tingkat, arah, dan ketekunan upaya yang curahkan dalam bekerja (motivation accounts for level, direction, and persistence of effort expended at work).
Pendapat senada disampaikan Colquit, LePine, dan Wesson (2009: 178) bahwa motivasi kerja adalah seperangkat dorongan semangat yang menunjukkan arah, intensitas, dan ketekunan upaya kerja pegawai (motivation is a set of energetic forces that determine the direction, intensity, and persistence of an employee’s work effort).
George and Jones (2005: 175) menyatakan bahwa motivasi kerja dapat didefinisikan sebagai dorongan psikologis dalam diri seseorang yang menentukan arah perilaku seseorang dalam organisasi, tingkat upaya, persistensi dalam menghadapi rintangan (work motivation can be defined as the psychological forces within a person that determine the direction of a person’s behaviour in an organization, effort level, and persistence in the face of obstacles).
Bateman dan Snell (2007: 427) menyatakan bahwa motivasi kerja mengacu pada dorongan yang menyemangati, mengarahkan, dan menyokong upaya seseorang (motivation refers to forces that energize, direct, and sustain a person’s effort). Batasan-batasan di atas menunjukkan bahwa motivasi pada dasarnya merupakan dorongan yang mengarahkan seseorang untuk tekun berupaya mencapai tujuan. Ivancevich (2007: 304) menyatakan bahwa: motivasi adalah sikap dan nilai yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak yang berorientasi pada tujuan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dua komponen motivasi kerja, yaitu: arah dan dorongan perilaku. Dengan demikian motivasi merupakan suatu konsep yang bersifat penjelasan yang sering digunakan untuk memahami perilaku yang diamati. Setiap usaha manajemen dalam meningkatkan kinerja individu dapat menggunakan teori motivasi. Ini sebagai hasil dari fakta bahwa motivasi memberikan perhatian pada perilaku, atau secara lebih spesifik perilaku yang diarahkan pada tujuan. Alasan utama mengapa perilaku pegawai berbeda-beda adalah bahwa tujuan dan kebutuhan orang bervariasi. Faktor-faktor sosial, kultural, herediter, dan pekerjaan mempengaruhi tingkah laku. Untuk memahami motivasi, harus dipelajari mengenai kebutuhan pegawai yang semakin meningkat.
Gibson, James, dan Ivancevich (2006: 134) menyatakan bahwa setiap karyawan mempunyai banyak kebutuhan, namun ada yang terpenuhi dan ada yang tidak. Terhadap kebutuhan yang tidak terpenuhi, karyawan tersebut akan berusaha mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, karyawan tersebut akan melakukan tindakan atau perilaku yang mengarah pada tercapainya tujuan. Perilaku atau tindakan tersebut akan menghasilkan suatu prestasi yang selanjutnya akan dievaluasi, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau belum. Terhadap prestasi yang dihasilkan oleh seorang karyawan dilakukan penilaian oleh atasannya untuk memberikan imbalan atas keberhasilannya atau memberikan hukuman atas ketidakberhasilannya. Berdasarkan imbalan dan hukuman tersebut, karyawan akan menilai kembali kebutuhan yang tidak tercapai. Dalam suatu proses siklus motivasi, terdapat beberapa unsur, yaitu: (1) adanya keinginan, kebutuhan dan daya sejenisnya yang timbul dari dalam diri seseorang. Hal tersebut disebabkan adanya rangsangan dari dalam diri orang tersebut atau rangsangan yang berasal dari luar dirinya (eksternal); (2) keinginan dan kebutuhan ini mengarahkan perilaku untuk bertindak dengan cara tertentu atau paling tidak mengembangkan suatu kecenderungan perilaku tertentu bagi dirinya atau orang lain; (3) perilaku tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan mengurangi ketegangan yang timbul di dalam dirinya akibat keinginan atau kebutuhan yang belum terpuaskan; dan (4) tujuan tersebut merupakan arah atau sasaran dari suatu organisasi atau dirinya sendiri, yang apabila dapat dicapai, maka akan mengakibatkan adanya kepuasan.    
Sementara itu Lewin dan Vroom (1999: 234), dengan teori ekpektansi, berasumsi bahwa: manusia meletakkan suatu nilai pada sesuatu yang diharapkan dari karyanya. Oleh sebab itu, manusia mempunyai urutan kesenangan (preference) di antara sejumlah hasil yang ia harapkan. Asumsi lain adalah bahwa suatu usaha untuk menjelaskan motivasi yang terdapat pada seseorang selain harus mempertimbangkan hasil yang dicapai, ia juga mempertimbangkan keyakinan bahwa yang dikerjakannya memberikan sumbangan terhadap tujuan yang diharapkannya. Berdasarkan asumsi di atas, Vroom menyatakan bahwa intensitas usaha seseorang untuk melakukan sesuatu adalah fungsi nilai dan kegunaan dari setiap hasil yang mungkin dapat dicapainya dengan persepsi kegunaan suatu tindakan dalam upaya kerja mencapai hasil tersebut. Dalam hal ini harapan merupakan kadar keyakinan bahwa usaha kerja akan menghasilkan penyesaian tugas. Harapan dinyatakan sebagai kemungkinan prestasi kerja seseorang terhadap usaha kerja yang telah dilakukannya. Kebutuhan berprestasi adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, dan bergulat untuk sukses. Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara tertentu, tanpa dipaksa orang tersebut tidak akan berperilaku demikian. Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk membina hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab.
Sementara itu ada pendapat yang bisa dikatakan kontrovesial yang disampaikan oleh Taylor (1991: 120-138), bahwa manusia sama dengan mesin (man as machine), selayaknya mesin produksi. Sifat mesin, manakala perangkat kerasnya bagus dan tetap disediakan bahan bakar atau tenaga pembangkit lain, akan tetap hidup. Lebih lanjut dijelaskan bahwa motivasi kerja manusia semata-mata muncul karena imbalan ekonomi, rasa takut lapar, dan dorongan ingin memiliki secara lebih banyak (fear hunger and desire for gain). Dengan demikian, manusia tidak dapat didekati semata-mata dengan konsep manajemen ilmiah yang lebih menekankan pada rasio usaha dengan hasil. Motivasi kerja seseorang tidak dapat dilihat dari satu dimensi saja, yaitu memenuhi kebutuhan fisik semata.
Argyris (1984: 230-235) berpendapat bahwa individu adalah organisme yang kompleks (complex organism) dan organisme tersebut dapat menimbulkan kekuatan kerja (working power) pada diri individu untuk membangkitkan kebutuhan di dalam dirinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dua sistem nilai yang berkembang di dalam organisasi, yang karakteristiknya berbeda. Pertama, nilai-nilai dari birokrasi yang mendominasi praktik kerja keorganisasian. Kedua, nilai-nilai demokrasi yang berorientasi humanistik.
Menurut Bootzin, Bower, Zajonc, and Hall (1986: 681) mengatakan bahwa motivasi kerja mempengaruhi lamanya kita berada dalam organisasi, betapa bergantungnya kita dalam melakukan tugas, dan betapa inovatifnya kita dalam bekerja (work motivation affects how long we stay with a company, how dependably we perform our duties, how innovative we are on the job).
Mowen (1981: 596-603) mengungkapkan motivasi kerja sangat mempengaruhi produktivitas kerja. Motivasi kerja yang tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi dan motivasi yang rendah akan menurunkan produktivitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja, yaitu: gaya kepemimpinan administrator, sikap individu, dan situasi. Kepemimpinan dengan gaya otoriter membuat pekerja menjadi tertekan dan tak acuh dalam bekerja. Sikap individu, karakteristik individu yang mendukung menurunnya motivasi adalah sikap tidak mau meraih prestasi baru, rasa cepat puas, dan lemah fisik. Karakteristik individu yang dahaga akan prestasi, tidak cepat puas, dan kuat fisik adalah karakteristik yang mendukung meningkatnya motivasi. Sedangkan situasi kerja, lingkungan kerja, jarak tempuh dan fasilitas yang tersedia dapat membangkitkan motivasi, jika persyaratan terpenuhi.
Gibson, et al. (2006: 190-193), menyatakan bahwa teori-teori motivasi kerja dapat diklasifikasikan baik sebagai teori kepuasan atau teori proses. Teori kepuasan memusatkan pada faktor-faktor di dalam individu yang menggiatkan, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku.
Motivasi kerja seorang pegawai biasanya merupakan hal yang rumit, karena hal ini melibatkan faktor-faktor individual dan organisasional. Gomes, sebagaimana dikutip Wang Muba (2008: 2), menyatakan bahwa faktor-faktor yang bersifat individual di antaranya adalah kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan-tujuan (goals), sikap (attitude), dan kemampuan-kemampuan (abilities), sedangkan faktor-faktor organisasional antara lain: pembayaran atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job security), sesama karyawan (co-worker), pengawasan (supervision), pujian (praise), dan pekerjaan itu sendiri (job itself).
Teori tentang motivasi kerja disampakan oleh Herzberg (2009: 1-2) dalam teori Dua-Faktor Herzberg menyatakan bahwa komponen pertama dalam pendekatan ini meliputi apa yang dikenal sebagai faktor hygiene dan meliputi pekerjaan dan faktor lingkungan organisasi, yang meliputi: organisasi, kebijakan dan administrasinya, jenis supervisi, kondisi kerja, gaji, status, dan keamanan bekerja. Komponen kedua meliputi apa yang orang-orang lakukan dalam bekerja. Komponen ini disebut dengan motivator, meliputi: prestasi, pengakuan, minat dalam tugas, tanggung jawab untuk tugas yang lebih berat, serta pertumbuhan dan kemajuan untuk tugas yang lebih tinggi. Certo (1997: 391) menjelaskan kepuasan kerja dengan Teori Dua-Faktor Herzberg (Two-Factor Theory Herzberg), memperlihatkan tingkatan atau derajat kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja yang ditunjukkan dari kinerja maksimal yang dilakukannya terhadap pekerjaannya berdasarkan dua faktor berbeda yang sangat berpengaruh. Dari tabel itu dapat diperjelas, ketidakpuasan pekerja terhadap pekerjaannya dipengaruhi oleh kebijakan dan administrasi organisasi yang membelenggunya dalam melaksanakan pekerjaan; adanya pengawasan yang membuat seseorang seolah sebagai pesakitan; hubungan yang tidak harmonis dengan pengawas; hubungan yang tidak menyenangkan di antara sesama pekerja; keadaan pekerjaan yang tidak menunjang pelaksanaan kerja; gaji atau upah yang tidak memadai; dan hubungan yang tidak harmonis antara atasan dengan bawahan. Sedangkan sebaliknya, kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh adanya peluang untuk berprestasi; atau adanya peluang atau kesempatan untuk diakui dan dikenal; pekerja melakukan pekerjaan atas inisiatif diri; pekerja diberi tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya; adanya pemberian kesempatan untuk naik pangkat; adanya kesempatan untuk promosi jabatan baru; dan adanya kesempatan dalam pengembangan diri.
McGregor (1996: 134-156) menyatakan bahwa motivasi kerja manusia akan terdorong jika diberi tanggungjawab dan dihadapkan pada menggariskan bahwa di dalam proses kerjasama antara manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang signifikan atau tidak sedikit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa manusia modern bekerja semata-mata bukan karena takut, terancam, diarahkan, atau sebatas ingin memperoleh imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, yaitu: kebutuhan dan tuntutan untuk hidup, tugas pokok dan fungsi, dorongan berpartisipasi, kesadaran akan tujuan, suasana lingkungan yang sehat, dan terpenuhinya kebutuhan pribadi.
Berdasarkan  uraian di atas,  yang dimaksud dengan motivasi kerja adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam berusaha mencapai standar kerja yang telah ditetapkan, yang nampak pada:  bersemangat dalam bekerja,  kegigihan untuk memperoleh sesuatu dari tempat kerja, menyukai pekerjaan dengan tanggung jawab pribadi,  harapan yang tinggi terhadap pekerjaan,  keinginan mencapai standar kerja, dan  keinginan untuk segera menyelesaikan tugas.

Kerangka Berpikir
1.    Pengaruh Langsung Gaya Kepemimpinan  terhadap Motivasi Kerja
Kepemimpinan seseorang dapat diketahui dari gaya kepemimpinannya. Dengan demikian, gaya kepemimpinan seseorang membedakan dirinya dengan pemimpin lain. Gaya kepemimpinan pada hakikatnya merupakan pola perilaku pemimpin yang spesifik dalam mengarahkan bawahannya baik secara individu maupun kelompok dalam mencapai tujuan. Gaya kepemimpinan seseorang dapat dilihat dari pola perilaku pemimpin dalam menciptakan hubungan pemimpin-bawahan, mengatur kejelasan struktur tugas, dan kewenangannya dalam pengangkatan, pemberhentian, pendisiplinan, promosi, dan peningkatan gaji.
Gaya kepemimpinan atasan berdampak pada dorongan pegawai untuk mengikuti pengarahannya atau bahkan menimbulkan rasa tertekan  bagi pegawainya. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada kebutuhan pegawai akan berdampak pada motivasi pegawai untuk lebih giat bekerja, demikian pula sebaliknya.
Pemimpin yang dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan pegawai akan memotivasi kerja pegawai.  Motivasi kerja pegawai pada hakikatnya merupakan dorongan pegawai untuk bekerja. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama perilaku pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya. Pemimpin yang dapat mendorong pegawai untuk bekerja lebih giat dengan cara menyelami kebutuhan pegawai akan dapat menimbulkan motivasi kerja pegawai. Demikian pula sebaliknya, pemimpin yang menjalankan gaya kepemimpinan yang otoriter tentu saja kurang disenangi oleh bawahannya. Akibatnya, motivasi kerja pegawai bukan berasal dari dalam diri, melainkan karena takut kepada pemimpinnya.
Berdasarkan uraian di atas, diduga gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja pegawai.

2.    Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja terhadap Motivasi Kerja
Lingkungan kerja pada dasarnya merupakan faktor yang mendukung pelaksanaan kerja pegawai. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan kelengkapan fisik, pekerjaan, dan suasana kerja. Kelengkapan fisik berupa ruang atau tempat bekerja, pekerjaan berupa kelengkapan peralatan kerja, kelengkapan alat teknologi informasi, sedangkan suasana kerja berupa kenyamanan kerja, komunikasi antaranggota organisasi, dan komunikasi antara atasan dengan bawahan.
Lingkungan kerja biasanya diusahakan agar dapat mendukung pelaksaan kerja pegawai. Para pemimpin yang memperhatikan kondisi lingkungan kerja akan tidak kesulitan dalam membangun motivasi kerja pegawai. Hal ini penting karena lingkungan kerja yang mendukung upaya kerja akan memungkinkan pegawai untuk bekerja secara optimal. Dengan kata lain, lingkungan kerja yang kondusif akan memotivasi kerja pegawai. Motivasi kerja pada hakikatnya merupakan dorongan pegawai untuk bekerja yang  dipicu oleh rangsangan dari luar atau timbul dari dalam dirinya melalui proses psikologis dan pemikiran individu tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja.

3.    Pengaruh Langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja
Gaya Kepemimpinan pada hakikatnya merupakan perilaku pemimpin yang menjadi karakteristiknya dalam menerapkan  pola kepemimpinannya yang diyakini sesuai bagi bawahannya. Dengan demikian, setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.
Dalam menerapkan gaya kepemimpinannya, seorang pemimpin biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal pemimpin, demikian juga tuntutan terhadap tugas yang diembannya. Seorang pemimpin  biasanya mempunyai keyakinan bahwa pola perilaku memimpinnya adalah yang terbaik bagi keberhasilan tugas yang diembannya. Tuntutan tugas inilah yang membuat seorang pemimpin yang diambil harus memilih gaya kepemimpinan yang sesuai.
Biasanya seorang pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan yang tidak statis tetapi justru dinamis disesuaikan dengan kebutuhan. Hal inilah yang berdampak pada persepsi bawahan terhadap atasannya. Persepsi pegawai terhadap atasannya berdampak pada rasa senang atau bahkan tidak senang. Gaya kepemimpinan atasan yang berorientasi pada kebutuhan bawahannya akan berdampak pada rasa senang bekerja, rasa dihargai, dan sikap positif lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan atasan sesuai dengan keinginan bawahan. Sedangkan gaya kepemimpinan atasan yang menekan bawahan berakibat rasa tidak nyaman, rasa takut, dan sikap negatif lainnya. Hal ini berdampak pada ketidakpuasan kerja pegawai.
Berdasarkan uraian di atas, diduga gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai.

4.    Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja
Lingkungan kerja pada hakikatnya merupakan segala sesuatu yang mendukung pegawai dalam melaksanakan pekerjaan. Lingkungan kerja yang mendukung pelaksanaan pekerjaan akan berdampak positif terhadap kinerja pegawai. Demikian juga sebaliknya, lingkungan kerja yang menggangu pelaksanaan pekerjaan membuat pegawai tidak optimal dalam bekerja pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas kerja dan bahkan membuat pegawai menjadi stres kerja.
Lingkungan kerja yang memadai bagi pegawai untuk bekerja menimbulkan rasa nyaman, rasa senang, dan persepsi yang baik lainnya. Hal ini akan mendorong pegawai mempunyai penilaian positif terhadap pekerjaannya.
Penilaian pegawai terhadap pekerjaannya yang berdampak pada rasa bangga, rasa nyaman, dan bahkan rasa puas menunjukkan bahwa pegawai tersebut memperoleh kepuasan kerja. Hal ini dimungkinkan berkat dukungan lingkungan kerja yang memadai. Pegawai yang membutuhkan suasana kerja yang nyaman, terhindar dari kebisingan dan didukung oleh peralatan serta suasana kerja yang kondusif memungkinkan ia dapat melaksanakan pekerjaan secara optimal. Dengan kata lain, pegawai memperoleh kepuasan kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai.

5.    Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja
Motivasi kerja pada dasarnya  dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam berusaha mencapai standar kerja yang telah ditetapkan. Motivasi kerja seorang pegawai terlihat dari semangat dalam bekerja,  kegigihan untuk memperoleh sesuatu dari tempat kerja,  menyukai pekerjaan dengan tanggungjawab pribadi,  harapan yang tinggi terhadap pekerjaan,  keinginan mencapai standar kerja, dan  keinginan untuk segera menyelesaikan tugas.
Motivasi kerja mempengaruhi produktivitas kerja. Dengan kata lain, motivasi kerja yang tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi, begitu juga sebaliknya. Pegawai yang dapat mewujudkan produktivitas kerja yang tinggi akan berdampak secara psikologis, seperti rasa puas, lega, dan senang. Hal ini akan memicu kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja merupakan penilaian pegawai terhadap pekerjaannya. Pegawai yang termotivasi kerjanya akan dapat menikmati pekerjaannya dengan baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa pegawai mencapai kepuasan kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas, diduga motivasi kerja  berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja.

6.    Pengaruh Tidak Langsung Gaya Kepemimpinan  terhadap Kepuasan Kerja Melalui Motivasi Kerja
Gaya kepemimpinan merupakan perilaku karakteristik pemimpin dalam  mengarahkan bawahannya guna mewujudkan tujuan organisasi. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda yang diyakini sebagai cara yang tepat dalam mengarahkan bawahannya. Setiap pemimpin mempunyai keinginan agar gaya kepemimpinan yang diterapkan dapat mendorong bawahannya untuk bekerja lebih baik. Hal ini dimungkinkan bila gaya kepemimpinan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan bawahannya. Oleh karena itu, penerapan gaya kepemimpinan biasanya memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan organisasi dan para bawahannya. Penerapan gaya kepemimpinan yang hanya diyakini oleh pemimpin tanpa memperhatikan kebutuhan organisasi dan para bawahannya akan menyulitkan pemimpin itu sendiri.
Pegawai yang termotivasi kerjanya memang dapat juga dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya. Kesesuaian kebutuhan pegawai dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkan atasannya dapat mendorong pegawai untuk giat bekerja. Hal ini juga pada akhirnya akan berdampak pula pada kepuasan kerjanya. Dengan demikian, gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan pegawai akan mendorong secara tidak langsung kepuasan kerja pegawainya.
Berdasarkan uraian di atas, diduga gaya kepemimpinan  berpengaruh tidak langsung langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja.

7.    Pengaruh Tidak Langsung Lingkungan  Kerja terhadap Kepuasan Kerja Melalui Motivasi Kerja
Lingkungan kerja pada hakikatnya merupakan kondisi, lokasi, dan faktor-faktor lain yang relevan dengan suasana yang dibutuhkan pegawai dalam bekerja. Oleh karena itu lingkungan kerja harus sesuai dengan kebutuhan pegawai. Hal ini akan membantu pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dengan baik optimal. Lingkungan kerja yang kondusif akan mendorong pegawai untuk bekerja secara nyaman dan tanpa gangguan yang berarti. Dengan kata lain, lingkungan kerja yang kondusif akan memotivasi kerja pegawai.
Sedangkan pegawai yang termotivasi kerja akan dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti rasa puas, bangga, dan perasaan positif lainnya. Dengan kata lain, pegawai memperoleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja pegawai pada hakikatnya merupakan penilaian pegawai terhadap pekerjaan yang menyenangkan. Hal ini akan terwujud bila pegawai tersebut memiliki motivasi kerja yang tinggi. Rasa senang bekerja didukung oleh motivasi kerja yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan  kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja.

Hipotesis Penelitian
1.    Terdapat pengaruh langsung gaya kepemimpinan Kepala Dinas terhadap motivasi kerja pegawai.
2.    Terdapat pengaruh langsung lingkungan kerja terhadap motivasi kerja pegawai.
3.    Terdapat pengaruh langsung gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pegawai.
4.    Terdapat pengaruh langsung lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja pegawai.
5.    Terdapat pengaruh langsung motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai.
6.    Terdapat pengaruh tidak  langsung gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai.
7.    Terdapat pengaruh tidak langsung lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja.

METODOLOGI PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, baik langsung maupun tidak langsung. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai bulan Januari sampai dengan Maret 2009. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik kausal. Sedangkan data dianalisis dengan analisis jalur (path analysis). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pegawai Golongan III yang berjumlah 135 orang yang berada di Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Simple Random Sampling. Teknik ini untuk memperoleh sampel sebanyak 100 pegawai golongan III/c dari jumlah sampling frame sebanyak 129 pegawai. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian berbentuk angket. Skala yang digunakan untuk variabel  Gaya Kepemimpinan, Lingkungan Kerja, dan Motivasi Kerja Pegawai adalah Rating Scale yang memiliki lima kategori pilihan jawaban, yaitu: (a) selalu; (b) sering; (c) kadang-kadang; (d) jarang; dan (e) tidak pernah. Sedangkan skala yang digunakan untuk variabel  Kepuasan Kerja Pegawai adalah Likert Scale yang memiliki lima kategori pilihan jawaban, yaitu: (a) sangat setuju; (b) setuju; (c) netral; (d) tidak setuju; dan (e) sangat tidak setuju. Alternatif jawaban diberi bobot nilai 5 sampai dengan 1 untuk pernyataan positif, dan bobot nilai 1 sampai dengan 5 untuk pernyataan negatif. Instrumen diujicoba terlebih dahulu sebelum dipergunakan dalam penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data secara deskriptif dan inferensial. Program yang digunakan adalah paket Data Analysis yang terdapat pada Microsoft Excel dan SPSS. Dengan demikian model struktural analisis jalur adalah sebagai berikut.



EmoticonEmoticon