PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, LINGKUNGAN KERJA, DAN
MOTIVASI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI
DINAS PENDIDIKAN PROVINSI DKI JAKARTA (2009)
THE AFFECT
OF LEADERSHIP STYLE, WORK ENVIRONMENT, AND EMPLOYEES’ WORK MOTIVATION ON EMPLOYEES’
JOB
SATISFACTION OF THE EDUCATION OFFICE
OF DKI
JAKARTA PROVINCE (2009)
ABSTRACT
This
causal research aims to assess effect of the leadership style, work
environment, and employees’ work motivation on the job satisfaction of the employees’
of the Education Office of the DKI Jakarta Province. The data were collected
from a randomly selected sample of 100 rank III employees of the education of
the DKI Jakarta Province. The research was implemented during three-months from
March untik MAY 2009. The questionnaire was signed by Liker scale. A path
analysis technique was employed to analyse the data descriptively and
inferentially. The research findings show that (1) a direct effect of the
leadership style on the employees’ work motivation, (2) a direct effect of the
environment on the employees’ work motivation, (3) a direct effect of the
leadership style on the employees’ job satisfaction, (4) a direct effect of the
work environment on the employees’ job satisfaction, (5) a direct effect of the
work environment on the employees’ job satisfaction, (6) an indirect effect of
the leadership style on the employees’ job satisfaction, and (7) an indirect
effect of the work environment on the employees’ satisfaction. These findings
suggest that the leadership style, work environment, and work motivation were
determining factors of the employees’ job satisfaction, hence the research need
to take into consideration for developing of human resource.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Seiring
dengan semangat reformasi di segala bidang, upaya penyempurnaan dan pembenahan birokrasi
menuju Indonesia Baru menjadi sangat penting, terutama agar birokrasi mampu
melanjutkan cita-cita pendiri bangsa, yaitu: menciptakan suatu masyarakat yang
sejahtera, adil, dan makmur melalui tahapan-tahapan pembangunan yang telah
ditetapkan secara sistematis.
Instansi
pemerintah sebagai lembaga pelayanan masyarakat, berusaha mereformasi birokrasi
dengan menekankan pada perubahan sikap dan perilaku aparat pemerintah daerah
yang lebih efektif, efisien, responsif, transparan, dan akuntabel. Hal ini dilakukan
dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang lebih kritis
terhadap pemerintah. Dengan demikian
tuntutan terhadap profesionalisme Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga meningkat.
Menjadi
PNS bagi sebagian orang Indonesia adalah sebuah dambaan, banyak
orang dalam antrean pengambil formulir pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
selalu membludak setiap tahun. Orang merelakan apapun yang dia miliki untuk
menjadi seorang PNS. Meskipun sudah ada upaya dari pemerintah untuk
memperbaiki masalah rekrutmen PNS.
Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2008 mengenai kenaikan gaji PNS telah ditandatangani.
Menurut Menteri Keuangan, PP tersebut hanya menjalankan amanat APBN. Setelah PP
disahkan, PNS dapat menerima kenaikan gaji di tahun 2009 (Ani, 2009: 1).
Kenaikan gaji PNS memungkinkan kehidupan PNS semakin makmur. Dengan kata lain, penghargaan terhadap pekerjaan pegawai dengan kenaikan
gaji memungkinkan pegawai memperoleh kepuasan kerja. Namun permasalahan PNS,
tidak hanya sebatas kenaikan gaji tetapi juga tuntutan profesionalisme dan
reformasi institusi. Hal ini juga mengusik kepuasan kerja pegawai, sebagaimana yang terjadi di lingkungan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta.
Perampingan
struktur organisasi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didasarkan pada
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Salah satu Dinas yang disatukan adalah Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) dan
Dinas Pendidikan Menengah Tinggi (Dikmenti). Sebelum dilakukan peleburan kedua
institusi pendidikan ini, Dikdas DKI Jakarta mengumpulkan seluruh pejabat
eselon IV agar tidak resah. Kegiatan rapat koordinasi itu diikuti oleh 122
pejabat eselon IV di lingkungan Dikdas. Mereka yang hadir terdiri dari para
Kasie Dinas Dikdas Kecamatan se-DKI Jakarta, Kasie dan Kasubag di lingkungan Sudin
Dikdas, Kasudin Dikdas, dari lima wilayah kota dan satu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan para
Kasubdis di Dinas Dikdas DKI (Widiastuti, 2008: 1). Namun terlihat jelas bahwa
para peserta rapat tidak dapat menyembunyikan keresahannya. Demikian pula
dengan para pegawai yang bertanya-tanya tentang gaya kepemimpinan yang
diterapkan oleh Pejabat Dinas Pendidikan
yang baru. Masalah gaya kepemimpinan menjadi sering dibicarakan di kalangan
pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pergantian pejabat di lingkungan Dinas
Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta mendapat perhatian sepenuhnya dari para
pegawainya. Bahkan gaya kepemimpinan pun merupakan masalah bagi para pegawai.
Selain
masalah gaya kepemimpinan, para pegawai juga dihadapkan dengan lingkungan kerja
sebagai dampak perampingan tersebut. Ada
dua lingkungan kerja yang disatukan dan diharapkan lebih efektif dan efisien. Namun,
sejak akhir Desember 2004 di mana Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
DKI Jakarta menolak permintaan Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta agar
gedung Pendidikan Dasar di Jalan Jatinegara Timur direnovasi total sampai saat
ini upaya itu tidak pernah dilakukan. Padahal, Wakil Kepala Dikdas pada waktu
itu, Maman Achdiyat, menyatakan sudah waktunya gedung tersebut direnovasi
total. Menurutnya, bangunan tersebut sudah terlalu tua dan tidak layak lagi
untuk dijadikan perkantoran (Sari, 2004: 1). Hal ini menunjukkan bahwa pegawai
dihadapkan dengan masalah lingkungan kerja
yang seharusnya sudah direnovasi. Lingkungan kerja
menjadi perhatian para pimpinan di lingkungan Dinas Dikdas Provinsi DKI Jakarta
karena dianggap sudah terlalu tua dan harus direnovasi.
Selain dihadapkan dengan gaya kepemimpinan atasan dan lingkungan kerja, pegawai
juga bermasalah dengan motivasi kerja. Pada waktu-waktu tertentu. Misalnya,
hasil Inspeksi Mendadak (Sidak) yang dilakukan oleh Badan Pengawas Daerah
(Bawasda) di beberapa instansi pemerintah pascaliburan. dari 69 unit, ditemukan pegawai yang tidak hadir tanpa
keterangan dan yang terlambat berjumlah 290 orang (Harijogja, 2008: 1). Contoh
sederhana ini termasuk juga yang terjadi di Dinas Pendidikan Provinsi DKI
Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu-waktu tertentu motivasi kerja
kurang mendapat perhatian dari pegawai itu sendiri. Mereka lebih suka
meninggalkan kantor untuk urusan yang lebih bersifat pribadi daripada segera
menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Masalah motivasi kerja erat kaitannya
dengan berbagai hal yang menyangkut faktor internal dan eksternal serta
dampaknya terhadap diri pegawai dan pekerjaannya.
Secara nasional, pegawai
Departemen Pendidikan Nasional non-guru berjumlah lebih dari 200 ribu orang. Bila
dibandingkan dengan instansi lain memang berbeda. Misalnya, PLN hanya dengan 52
ribu orang karyawan se-Indonesia, bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24
jam setiap hari. PT Pos Indonesia hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat
menyurat se-Indonesia sudah bisa tertangani. Bandingkan dengan karyawan PT
Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di
seantero Indonesia (Iman, 2008: 1). Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak
itu, kenyataan data menunjukkan bahwa
50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak.
Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452 sekolah rusak parah
(Iman, 2008: 1). Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos
pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya
pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175
ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar
penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia
jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta
jiwa.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, faktor-faktor yang berpengaruh
langsung dan tidak langsung terhadap kepuasan kerja pegawai selain dari gaji, juga berkaitan dengan gaya kepemimpinan,
lingkungan kerja, dan motivasi kerja pegawai. Hal-hal inilah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Perumusan Masalah
1. Apakah gaya
kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja pegawai?
2. Apakah lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja
pegawai?
3. Apakah gaya
kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?
4. Apakah
lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?
5.
Apakah motivasi kerja
berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai?
6.
Apakah gaya
kepemimpinan Kepala Dinas berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja
melalui motivasi kerja pegawai?
7.
Apakah lingkungan
kerja berpengaruh tidak langsung terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja
pegawai?
DESKRIPSI TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Deskripsi Teoretik
1. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja mengacu pada sikap individu secara umum
terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi
mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya, seseorang yang tidak
puas mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja pada
hakikatnya merupakan penilaian seseorang terhadap pekerjaan yang dirasakannya.
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 141) menyatakan bahwa kepuasan kerja
adalah sikap pegawai terhadap pekerjaannya yang merupakan hasil dari persepsi
terhadap pekerjaannya (job satisfaction
is an attitude that workers have about their job. It results from their
perception of the jobs). Dapat
dikatakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada tingkat outcome intrinsik dan ekstrinsik, serta
cara pegawai tersebut memandang outcome
kerjanya.
Robbins dan Judge (2007: 30) menyatakan bahwa kepuasan
kerja merupakan perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang dihasilkan
oleh evaluasi tentang karakteristik pekerjaannya (job satisfaction is a positive feeling about one’s job resulting from
an evaluation of its characteristics).
Perasaan positif yang dimaksud adalah adanya perasaan senang, bangga, lega, dan
perasaan lain yang mengungkapkan adanya kesesuaian antara harapan dengan
kenyataan dalam kaitan dengan pekerjaan yang telah dilakukan.
Pendapat senada dari McShane dan Von Glinow (2008: 115) bahwa
kepuasan kerja merupakan evaluasi seseorang terhadap kerjanya dan konteks
pekerjaan (job satisfaction is a person’s evaluation of his or her job and work
context). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian
terhadap karakteristik kerja yang dirasa, faktor lingkungan, dan pengalaman
emosional pada saat kerja. Dengan demikian, pegawai yang merasa puas dalam
bekerja akan mempunyai penilaian yang menyenangkan pada pekerjaannya yang
didasarkan pengamatan dan pengalaman emosionalnya. Kepuasan kerja merupakan
kumpulan sikap puas, senang, dan adanya kesesuaian antara berbagai aspek dan konteks pekerjaan.
Sementara itu, Mullins (2005: 700) menyatakan bahwa usaha
untuk memahami sifat kepuasan kerja dan pengaruhnya terhadap kinerja tidak
mudah. Kepuasan kerja adalah konsep yang kompleks dan multisegi yang dapat
menimbulkan perbedaan pemahaman bagi orang-orang yang berbeda (Job satisfaction is a complex and
multifaceted concept, which can mean different things to different people). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan
kerja lebih pada sikap, ungkapan dari dalam. Kepuasan kerja dapat diasosiasikan
dengan perasaan seseorang terhadap prestasi, baik kuantitatif atau kualitatif (job
satisfaction is more of an attitude,
an internal state. It could,
for example, be associated with a personal feeling of achievement, either
quantitative or qualitative).
Kepuasan kerja berkaitan dengan perasaan dan emosi
seseorang. Newstrom dan Davis (2002: 208) menyatakan bahwa kepuasan kerja
adalah seperangkat perasaan senang atau tak senang dan emosi yang merupakan
pandangannya terhadap pekerjaannya (job
satisfaction is a set of favorable or unfavorable feelings and emotions with
which employees view their work).
Kepuasan kerja merupakan sikap afektif – perasaan yang relatif suka dan tak
suka terhadap sesuatu. Misalnya: pegawai yang puas akan berkomentar, “Saya
menikmati berbagai tugas yang saya lakukan”. Pendapat senada disampaikan
Bootzin, et al., (1986: 685) bahwa kepuasan kerja adalah orientasi emosional dan
afektif terhadap pekerjaan seseorang (job
satisfaction is an emotional, affective orientation toward one’s work).
Menurut George and Jones (2005: 75), kepuasan kerja
adalah sekumpulan perasaan dan keyakinan orang-orang dalam melakukan pekerjaan
saat ini (job satisfaction is the
collection of feelings and beliefs that people have about their current job).
Maksudnya kepuasan kerja adalah sekumpulan perasaan dan keyakinan orang-orang
dalam melakukan pekerjaan saat ini.
Colquitt, Lepine, and Wesson (2009: 105), mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan dari penilaian
pekerjaan seseorang atau pengalaman-pengalaman kerjanya (job satisfaction is defined as a pleasurable emotional state resulting
from the appraisal of one’s job or job experiences). Robbins dan Judge (2007:
79) mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan
seseorang dihasilkan dari evaluasi dari karakteristiknya (job satisfaction as a positive feeling about one’s job resulting from
an evaluation of its characteristics).
Sikap positif seseorang terhadap
pekerjaannya memunculkan kepuasan kerja pada diri pekerja tersebut. Kleiman (1997:
4) menyatakan bahwa sikap positif muncul karena adanya rasa aman terhadap
pekerjaan, menyukai pekerjaan, diberikan kesempatan meningkatkan karier di unit
kerjanya, sesuai dengan perjanjian kerja, atasan menghargai bawahan dengan
memberikan gaji secara adil. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan
dengan sikap atasan dalam menghargai bawahannya. Dengan kata lain, gaya
kepemimpinan atasan berdampak pada kepuasan kerja pegawainya.
Pendapat senada dari Gibson, et al., (2006: 108) ar kepuasan kerja adalah sikap individu
terhadap pekerjaannya (job satisfaction is an attitude that
individuals have about their jobs). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan persepsi terhadap pekerjaannya
yang didasarkan pada faktor lingkungan, seperti gaya supervisor, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja,
kondisi pekerjaan, dan tunjangan tambahan.
Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
seseorang, meliputi: gaya kepemimpinan atasan, kebijakan organisasi dan
prosedur kerja, afiliasi yang ada dalam kelompok kerja, lingkungan kerja, dan
adanya tunjangan tambahan selain gaji yang diterima. Menurut Gibson, et al., (2009:
327) dalam teori Model Path-Goal,
kepuasan kerja (job satisfaction) di
samping kinerja (performance) pada
hakikatnya merupakan outcomes dipengaruhi
oleh persepsi (perception) dan
motivasi kerja (work motivation)
pegawai. Kedua hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya: perilaku
atau gaya kepemimpinan (leaders behavior/styles),
karakteristik bawahan (follower/ subordinate
characteristics), dan faktor lingkungan (environmental factors).
Teori Path-Goal
mengenalkan dua kelompok situasi atau variabel kontingensi yang memperbaiki
hubungan antara perilaku atau gaya pemimpin dengan persepsi dan motivasi
bawahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap hasil (kepuasan kerja,
kinerja). Semua faktor lingkungan adalah di luar kendali seorang pemimpin
(struktur tugas, sistem otoritas formal, dan kelompok kerja). Faktor golongan
kedua merupakan bagian karakter pribadi bawahan (penyesuaian tempat,
pengalaman, dan kemampuan). Pada dasarnya teori ini menyarankan bahwa perilaku
atau gaya pemimpin harus menyerap variabel kontingensi tersebut. Jadi, pemimpin
tidak akan efektif bila gaya yang diterapkan atau perilakunya berlebihan bila
dibanding struktur keadaan sekitar atau tidak sejalan dengan karakter bawahan.
Pendapat di atas diperkuat oleh Gagne
dan Deci (2005: 347) dalam Self-determination
Theory and Work Motivation bahwa lingkungan kerja (konten pekerjaan,
konteks pekerjaan, dan iklim kerja) dan keragaman individu (orientasi
kausalitas) sebagai bagian dari motivasi
kerja, demikian juga outcome
pekerjaan yang berkaitan dengan motivasi kerja (environmental factors (job content, job context, and work climate), and
individual differences (causality orientation) as antecedents of autonomous
motivation, as well as the work outcomes associated with autonomous motivation).
- Gaya Kepemimpinan (Leadership Styles)
Kepemimpinan dapat
diuji dengan mengkaji beberapa elemen dasarnya, salah satunya adalah dengan
menggunakan berbagai gaya kepemimpinan. Fiedler, sebagaimana dikutip Robbins
dan Judge (2009: 427), mempercayai bahwa faktor kunci dalam kesuksesan
kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan dasar individu. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa ada tiga dimensi kontingensi yang menentukan efektivitas kepemimpinan,
yaitu: (1) hubungan pemimpin-bawahan: tingkat kepercayaan diri, kepercayaan,
dan respek bawahan yang ada dalam pemimpinnya; (2) struktur tugas: derajat di
mana tugas diproseduralkan (terstruktur atau tidak); dan (3) kekuasaan posisi:
derajat dari pengaruh seorang pemimpin yang memiliki variabel kekuasaan seperti
pengangkatan, pemberhentian, pendisiplinan, promosi, dan peningkatan gaji.
Newstrom and Davis (2002: 167) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan adalah pola total dari tindakan eksplisit dan implisit pemimpin
yang dilihat oleh pegawainya (leadership
style is the total pattern of explicit and implicit leaders’ actions as seen by
employees).
Campling, Poole, Wiesner, and Schermerhorn (2002: 365) menyatakan
bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku yang ditunjukkan oleh seorang
pemimpin (leadership style is the
recurring pattern of behaviors exhibited by a leader). Perilaku pemimpin menunjukkan gaya
kepemimpinnya.
Gaya kepemimpinan juga
merupakan fungsi sikap manajer terhadap bawahannya. Mullins (2005: 866) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan manajerial adalah
fungsi sikap manajer terhadap bawahannya, dan asumsi tentang sifat dan perilaku
manusia (the style of managerial
leadership is a function of the manager’s attitudes towards people, and
assumptions about human nature and behaviour). Oleh karena itu, gaya
kepemimpinan akan berpengaruh terhadap perilaku bawahannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Cunningham and Cordeiro (2003: 140-141), gaya kepemimpinan akan
mempengaruhi perilaku bawahannya terutama mendukung penggunaan gaya yang
disukai (leadership style may, in fact,
influence the behaviour of subordinates in such a way that the subordinates’
behaviour actually supports the use of the leader’s preferred style, becoming a
self-fulfilling prophecy).
Reddin sebagaimana
dikutip oleh Thoha (2000: 265), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dibedakan
menjadi gaya yang efektif dan gaya yang tidak efektif. Gaya kepemimpinan yang
efektif terdiri dari: (1) pelaksana (executive);
(2) pecinta pengembang (developer);
(3) otokratis yang baik hati (benevolent
autocrat); dan (4) birokrat (bureaucrat).
Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. (1) Pelaksana (executive). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) bekerja dengan
asumsi bahwa orang lain dapat bekerja sama baiknya dengan dirinya; (b)
cenderung mementingkan kualitas dalam melaksanakan tugas; (c) berdisiplin dalam
melaksanakan tugas; (d) berusaha menumbuhkan partisipasi aktif orang-orang yang
dipimpinnya; (e) memiliki semangat, moral, loyalitas, dan dedikasi kerja yang
tinggi; (f) mampu menumbuhkan kesediaan bekerja keras; (g) mampu menumbuhkan
rasa aman; (h) efisien dan efektif dalam bekerja; (i) mempunyai perhatian yang
positif dalam menyelesaikan konflik-konflik yang timbul; (j) terbuka terhadap
kritik dan saran-saran; dan (k) mampu memisahkan masalah yang perlu dan tidak
perlu dalam musyawarah. (2) Pecinta pengembang (Developer). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a)
mahir berorganisasi; (b) bekerja secara efektif, efisien, dan bertanggung
jawab; (c) mau mempercayai orang lain dalam bekerja; (d) memiliki kemampuan dan
menghormati orang lain-, (e) cenderung pada usaha menciptakan
hubungan manusiawi yang efektif, dan (f) meyakini bahwa orang yang diberi wewenang
dapat mengendalikan diri. (3) Otokratis yang baik hati atau disempurnakan (Benevolent
Autocrat). Pemimpin
menunjukkan ciri-ciri: (a) pemimpin berorientasi pada hasil; (b) tugas orang
yang dipimpin adalah melaksanakan dan mentaati perintah; (c) pemimpin menuntut
ketaatan dan kepatuhan dengan membuat peraturan-peraturan; dan (d) pemimpin
kurang yakin pada diri sendiri. (4) Birokrat (Bureaucrat). Pemimpin menunjukkan
ciri-ciri: (a) bekerja harus sesuai dan mengikuti secara ketat semua peraturan,
prosedur, dan mekanisme yang sudah ditetapkan; (b) menuntut ketaatan pada
perintah pimpinan yang lebih tinggi; (c) pemimpin berusaha agar lingkungan dan
situasi kerja sesuai dengan aturan teoretis; (d) kurang aktif dalam
melaksanakan tugas-tugas dan bersifat saling menunggu; (e) gagasan-gagasan
tidak berorientasi pada peningkatan produktifitas, tetapi lebih diarahkan pada
mengatur tata hubungan kerja; (f) pemimpin kurang berusaha mengembangkan
hubungan manusiawi dengan orang-orang yang dipimpinnya; dan (g) kurang menyukai
orang luar dan masyarakat.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang tidak efektif terdiri
dari: (1) pecinta kompromi (compromiser); (2) pelindung atau penyelamat (missionary); (3) otokratis (autocrat);
dan (4) lari dari tugas (deserter). Lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) Pecinta
kompromi (Compromiser). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) cenderung
senang berusaha untuk menyenangkan pimpinan yang lebih tinggi; (b) banyak
mengikutsertakan orang-orang yang dipimpinnya dalam mengambil keputusan; (c)
cenderung selalu menilai untung rugi bagi dirinya sebelum mulai melaksanakan
tugas; (d) cenderung tidak berusaha mengerjakan tugas secara baik; (e) menjalin hubungan yang baik dengan
orang yang dipimpin hanya untuk diperalat; dan (f) memberikan motivasi kerja
secara selektif atau setengah hati. (2) Pelindung atau penyelamat (Missionary). Pemimpin menunjukkan
ciri-ciri: (a) berkepribadian ramah dan murah senyum; (b) selalu berusaha
secara aktif mencegah konflik dengan orang lain; (c) melaksanakan tugas-tugas
secara santai; (d) cenderung mengabaikan para pembantu pimpinan dan orang
dalam; (e) memiliki kemampuan dan kemauan yang tinggi dalam menghormati,
menghargai orang lain dan mengendalikan diri; (f) hasil dari kepemimpinan tidak
dipentingkan, yang diutamakan proses pemberian layanan untuk kepuasan orang
lain; dan (g) kurang berminat memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam
organisasi. (3) Otokratis (Autocrat).
Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) pelaksanaan tugas merupakan kegiatan
terpenting; (b) pelaksanaan tugas tidak boleh salah atau menyimpang dari
instruksi; (c) inisiatif dan kreatifitas orang-orang yang dipimpin dimatikan,
karena dipandang akan menyimpang dari instruksi; (d) kurang memperhatikan
hubungan manusiawi, baik antar pemimpin dengan orang yang dipimpin maupun
sesama orang-orang yang dipimpinnya; (e) kurang mempercayai orang lain termasuk
juga anggota kelompok atau organisasinya; (f) menyenangi ditakuti dan akibatnya
kurang disenangi orang-orang yang dipimpinnya; (g) orang-orang yang dipimpinnya
diperlakukan sekedar sebagai pelaksana kehendak pemimpin; (h) sukar memberikan
maaf pada bawahan, karena hanya menuntut ketaatan; (i) pendapat dari bawahan
bukan saja dianggap tidak benar, tetapi dinilai tidak perlu dan dianggap
menantang atau membangkang, dan (j) orang-orang yang dipimpin tidak bersatu dan
terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil. (4) Lari dari tugas atau pembelot
(Deserter). Pemimpin menunjukkan ciri-ciri: (a) menghindar dari tugas
dan tanggung jawab; (b) hanya melibatkan diri pada tugas-tugas yang ringan dan
mudah; (c) suka menyendiri dan kurang menyukai pergaulan; (d) cenderung suka
mengabaikan orang lain, tetapi senang menyabot; (e) mudah menyerah apabila
menghadapi kesulitan; dan (f) bekerja hanya untuk mencapai hasil yang minimal.
Para pemimpin
banyak yang menggunakan pendekatan-pendekatan dari gaya otokrasi sampai dengan
gaya demokrasi. Ketika sejumlah pemimpin menggunakan pendekatan yang sangat
otokrasi dalam mengawasi para bawahannya,
sejumlah pemimpin lain menggunakan pendekatan yang sangan demokrasi. Para
pemimpin lainnya menggunakan berbagai pendekatan demokrasi dan otokrasi, yang
berarti pendekatan mereka berada di antara kedua pendekatan yang ekstrem.
Menurut Quible (1980: 299), berbagai
pendekatan tentang gaya kepemimpinan dapat digambarkan dalam rangkaian kesatuan
(continuum) pendekatan otokrasi - demokrasi.
Lebih lanjut dijelaskan pendekatan kepemimpinan otokrasi ada ketika atasan
mengambil keputusan tanpa mengusahakan gagasan, saran-saran, dan rekomendasi bawahan.
Dengan demikian pemimpin yang menggunakan pendekatan ini cenderung memberikan
pengawasan yang ekstensif pada tingkah laku dan tidakan bawahan. Dalam banyak kasus
dijelaskan juga oleh Quible bahwa sejumlah bawahan didisiplinkan sebelum suatu
usaha dilakukan untuk menentukan alasan-alasan sebagai tanggung jawab atas
kesalahan yang dibuatnya. Jarang sekali para pemimpin otokrasi menyimpang dari
norma atau arah tindakan yang diinginkan. Sedangkan para pemimpin yang
menggunakan pendekatan demokrasi, secara ekstensif menggunakan gagasan, saran,
dan rekomendasi bawahan mereka. Dengan demikian hubungan yang
kooperatif ada di antara atasan dan bawahan. Sangat dimungkinkan bawahan
diminta untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan khususnya bila
keputusan itu akan berpengaruh terhadap bawahannya.
Menurut Rue dan
Byars (1980: 346), ada tiga dasar gaya kepemimpinan, yaitu: otokratis,
demokratis; dan laissez faire. Adapun
inti perbedaan dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut terletak pada pembuatan
keputusan. Lebih lanjut dijelaskan secara rinci. Pertama, pada gaya kepemimpinan otokratis, semua
keputusan ditentukan oleh pimpinan. Kedua, pada gaya kepemimpinan laissez faire: pimpinan mengikuti
anggota-anggotanya dalam membuat keputusan. Ketiga, pada gaya kepemimpinan demokratis,
pimpinan membimbing dan memberi semangat kepada kelompoknya dalam
membuat keputusan.
Gaya kepemimpinan
yang diperlihatkan oleh seorang pimpinan dapat berbeda antara satu pimpinan
dengan pimpinan yang lainnya. Ada beberapa gaya kepemimpinan, namun secara umum
dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok gaya kepemimpinan, yaitu gaya
kepemimpinan otokratis, demokratis, dan laissez
faire. Canadian Association of
Student Activity Advisors (CASAA) (2000: 1-2) menyimpulkan hasil kajian
tentang gaya kepemimpinan sebagai berikut. Pertama, pada gaya kepemimpinan otokratis (autocratic leadership style), semua
keputusan ditentukan oleh pimpinan, pimpinan mengatur langkah-langkah kegiatan,
tugas dan pekerjaan masing-masing anggota diatur oleh pimpinan, serta pimpinan
cenderung bersikap subjektif dalam melaksanakan kepemimpinannya. Kedua, pada gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style), keputusan
dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan anggota, langkah-langkah kegiatan
organisasi diputuskan dalam koridor musyawarah oleh pimpinan dan seluruh
anggota, tugas dan pekerjaan diatur dalam kelompok dan anggota bebas menentukan pasangan kerjanya,
serta pimpinan cenderung bersikap objektif dalam memuji atau mengecam
anggotanya berdasarkan fakta. Ketiga, pada gaya kepemimpinan santai (laissez-faire leadership style),
keputusan ditentukan oleh anggota dengan partisipasi minimum dari pimpinan,
pimpinan tidak terlibat dalam penentuan tugas dan kegiatan, tidak ada
partisipasi pimpinan dalam menentukan tugas dan pekerjaan, serta pimpinan
cenderung bersikap pasif dalam memberikan pujian atau kecaman.
Dale (2002: 36-48) membagi gaya kepemimpinan
menjadi lima, yaitu 1) Birokratis; 2) Permisif; 3) Laissez faire; 4) Partisipatif; dan 5) Otokratis. Lebih lanjut
dapat diuraikan sebagai berikut. Birokratis, satu gaya yang
ditandai dengan keterikatan yang terus-menerus kepada aturan-aturan organisasi.
Gaya ini menganggap bahwa kesulitan-kesulitan akan dapat diatasi bila setiap
orang mematuhi peraturan. Keputusan-keputusan dibuat berdasarkan
prosedur-prosedur baku. Pemimpinnya adalah seorang diplomat dan tahu bagaimana
memakai sebagian besar peraturan untuk membuat orang-orang melaksanakan
tugasnya. Kompromi merupakan suatu jalan hidup karena untuk membuat satu keputusan
diterima oleh mayoritas, orang sering harus mengalah kepada yang lain. Permisif, keinginannya adalah membuat setiap
orang dalam kelompok tersebut puas. Membuat orang-orang tetap senang adalah
aturan mainnya. Gaya ini menganggap bahwa bila orang-orang merasa puas dengan
diri mereka sendiri dan orang lain, maka organisasi tersebut akan berfungsi dan
dengan demikian, pekerjaan akan bisa diselesaikan. Koordinasi sering
dikorbankan dalam gaya ini. Laissez-faire, sama sekali bukanlah
kepemimpinan. Gaya ini membiarkan segala sesuatunya berjalan dengan sendirinya.
Pemimpin hanya melaksanakan fungsi pemeliharaan saja. Misalnya, seorang pendeta
mungkin hanya namanya saja ketua dari organisasi tersebut dan hanya menangani
urusan khotbah, sementara yang lainnya mengerjakan segala pernik mengenai
bagaimana organisasi tersebut harus beroperasi. Gaya ini kadang-kadang dipakai
oleh pemimpin yang sering bepergian atau yang hanya bertugas sementara. Partisipatif,
dipakai oleh mereka yang percaya bahwa cara untuk memotivasi orang-orang
adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini
diharapkan akan menciptakan rasa memiliki sasaran dan tujuan bersama. Masalah
yang timbul adalah kemungkinan lambatnya tindakan dalam menangani masa-masa krisis. Otokratis,
ditandai dengan ketergantungan kepada yang berwenang dan biasanya
menganggap bahwa orang-orang tidak akan melakukan apa-apa kecuali jika
diperintahkan. Gaya ini tidak mendorong adanya pembaruan. Pemimpin menganggap
dirinya sangat diperlukan. Keputusan dapat dibuat dengan cepat.
Sedangkan
gaya kepemimpinan yang lain adalah Transformational
Leadership
diperkenalkan oleh Benard M. Baas dalam bukunya berjudul Leadership and Performance Beyond Expectation. Bernard M. Bass dan B.J. Avolo, sebagaimana dikutip
Wirawan (2007: 1), mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai
berikut. (1) Individual
consideration. Pemimpin mengembangkan orang dengan menciptakan
lingkungan yang pendukung; (2) Intellectual
simulation. Pemimpin menstimulasi orang agar kreatif dan inovatif.
Pemimpin mendorong para bawahannya untuk memakai imajinasi mereka dan untuk
menantang cara melakukan sesuatu yang diterima oleh sistem sosial; (3) Inspirational motivation.
Pemimpin menciptakan gambar jelas mengenai keadaan masa yang akan datang secara
optimis dan dapat dicapai dan mendorong bawahan untuk meningkatkan harapan dan
mengikatkan diri kepada visi; serta (4) Idealized influence.
Pemimpin bertindak sebagai role model
atau panutan. Ia menunjukkan keteguhan dan ketetapan hati dalam mencapai
tujuan, mengambil tanggung jawab sepenuhnya untuk tindakannya dan menunjukkan
percaya diri tinggi terhadap visinya.
Bass, sebagaimana dikutip Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 432) menyatakan tiga faktor yang menjelaskan kepemimpinan
transformasional. 1) Karisma. Pemimpin dapat membangkitkan pemahaman tentang
nilai, respek, dan kebanggaan, serta menyampaikan visi; 2) Perhatian individu.
Pemimpin memperhatikan kebutuhan para bawahannya dan memberikan proyek yang
berguna supaya para bawahan tumbuh secara personal; 3) Menstimulasi
intelektual. Pemimpin membantu para bawahan berpikir ulang cara-cara rasional
dalam mengkaji situasi. Ia mendorong para bawahan menjadi kreatif (1) Charisma. The leader is able to instill a
sense of value, respect, and pride and to articulate a vision. 2) Individual
attention. The leader pays attention to followers’needs and assigns meaningful
projects so that followers grow personally. 3) Intellectual stimulation. The leader helps followers
rethink rational ways to examine a situation. He encourages followers to be
creative). Dengan demikian,
kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen, yaitu: kharisma,
perhatian yang diindividualisasi, dan rangsangan intelektual. Kharisma dapat
didefinisikan sebagai sebuah proses di mana seorang pemimpin mempengaruhi para
bawahan dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan
pemimpin tersebut. Perhatian yang diindividualisasi termasuk memberikan
dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman-pengalaman tentang
pengembangan diri kepada bawahan. Rangsangan intelektual adalah sebuah proses
di mana para pemimpin meningkatkan kesadaran para bawahan terhadap
masalah-masalah dan mempengaruhi para bawahan untuk memandang masalah-masalah
dari prespektif yang baru.
Berdasarkan uraian
di atas, yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku pemimpin
yang spesifik dalam mengarahkan bawahannya baik secara individu maupun kelompok
dalam mencapai tujuan, yang nampak pada:
tingkat kepercayaan diri, respek bawahan, kepiawaian dalam mengarahkan,
keterbukaan dalam pengambilan keputusan, keluwesan dalam berkomunikasi,
akuntabilitas terhadap semua kebijakan yang dilakukan.
3. Lingkungan Kerja (Work Environment)
Lingkungan kerja berkaitan dengan keberadaan sarana dan
prasarana serta aspek sosial yang mendukung pekerja dalam melaksanakan
pekerjaan. Para anggota organisasi atau pegawai yang terlibat dalam pekerjaan
yang sama, berbagi tugas bersama, atau menghadapi pekerjaan yang sama
memerlukan faktor lingkungan yang dapat mendukung kebersamaan mereka.
Sebagaimana dinyatakan oleh Evans (2005: 367) bahwa lingkungan kerja adalah
semua kesempatan yang memungkinkan pegawai memberikan kontribusi untuk berkarya
lebih produktif, aman, dan menyenangkan (all
of these opportunities contribute to creating a more productive, safer, and
more enjoyable in work environment).
Menurut Ivancevich (2010: 162), lingkungan kerja adalah
kondisi tempat kerja, lokasi kerja, dan karakteristik lain yang relevan dengan
tempat kerja seperti bahaya dan tingkat kebisingan (work environment describes the working condition of the job, the
location of the job, and other relevant characteristics of the immediate work
environment such as hazards and noise levels). Hal ini menunjukkan bahwa
ada tiga unsur lingkungan kerja, yaitu: 1) gambaran tentang kondisi tempat
kerja; 2) lokasi tempat kerja; dan 3) karakteristik yang relevan dengan tempat
kerja, seperti tingkat bahaya/risiko dan tingkat kebisingan.
Mullins (2005: 530) menyatakan bahwa lingkungan kerja
berupa seperangkat sarana dan prasarana, komunikasi, dan dukungan teknologi.
Batasan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan tidak hanya berupa lingkungan
fisik tetapi juga proses komunikasi dan dukungan teknologi.
Lingkungan kerja perlu diciptakan sedemikian rupa
sehingga mendukung anggota organisasi dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain
lingkungan kerja harus secara potensial mendukung kekohesifan kelompok dalam
melaksanakan pekerjaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja organisasi.
Robbins (1998: 180) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah segala sesuatu
yang berada di luar organisasi yang secara potensial mempengaruhi pegawai dalam
bekerja dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi. Batasan ini
menunjukkan bahwa lingkungan kerja merupakan semua hal yang di luar batas
organisasi namun memberikan dukungan bagi produktivitas organisasi. Lingkungan
kerja berdampak pada perilaku anggota organisasi dalam melaksanakan
pekerjaannya. Feldman (1999: 487) menjelaskan bahwa lingkungan sarana dan
prasarana secara signifikan mempengaruhi pegawai. Istilah lingkungan sarana dan
prasarana dikenal dengan wilayah kerja atau teritorial.
Senada dengan pendapat di atas, Sallis (1993: 37) menyatakan
bahwa ada dua faktor yang menentukan produktivitas kerja pegawai, yaitu
lingkungan kerja dan motivasi para pegawai. Lebih lanjut dijelaskan bahwa baik
lingkungan sarana dan prasarana maupun sosial yang kondusif dapat mempengaruhi
produktivitas.
Selain produktivitas, McCormick dan Tiffin (1994: 465) menjelaskan
bahwa aspek sarana dan prasarana berdampak pada kepuasan kerja dengan
mensyaratkan faktor kondisi atmosfer yang meliputi suhu (temperature), kelembaban (humidity),
sirkulasi udara (air flow), tekanan
udara (barometric pressure), dan
komposisi lingkungan (composition
atmosphere).
Persepsi tentang lingkungan kerja memang bermacam-macam,
Schermerhorn (1995: 408-409) mengemukakan bahwa ada dua macam lingkungan kerja,
yaitu lingkungan umum dan lingkungan khusus.
Lingkungan umum mencakup nilai-nilai kultural, kondisi ekonomi,
pendidikan, politik, dan hukum. Sedangkan lingkungan khusus berkaitan dengan
posisi organisasi itu sendiri dalam upaya mengembangkan jaringan organisasinya.
Batasan ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja dibagi menjadi lingkungan yang
berkaitan dengan nilai dan kondisi serta lingkungan yang berkaitan dengan upaya
organisasi dalam mengembangkan diri.
Pembagian mengenai lingkungan kerja juga dijelaskan oleh
Franken (1992: 456), bahwa lingkungan kerja mempunyai dua aspek penting, yaitu
lingkungan sarana dan prasarana dan lingkungan psikologis. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa lingkungan kerja berupa sarana dan prasarana meliputi segala
hal yang berkaitan dengan aspek sarana dan prasarana suatu lembaga mulai dari
rancangan gedung sampai dengan lokasi, transportasi umum, dan fasilitas parkir.
Sedangkan faktor psikologis adalah faktor-faktor yang berpengaruh secara
psikologis pada pembentukan suatu faktor lingkungan yang terkait dengan
kemampuan manusia sebagai pekerja.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan
lingkungan kerja adalah keberadaan kelengkapan fisik, peralatan kerja, dan
suasana yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, yang nampak pada: kenyamanan
ruangan, kelengkapan peralatan kerja, kelengkapan alat teknologi informasi,
kenyamanan suasana kerja, kenyamanan komunikasi antaranggota organisasi, dan
kenyamanan komunikasi antara atasan dengan bawahan.
4. Motivasi Kerja (Work Motivation)
Motivasi kerja pada hakikatnya
merupakan dorongan untuk bekerja yang
dipicu oleh rangsangan dari luar atau timbul dari dalam diri seseorang
melalui proses psikologis dan pemikiran individu tersebut. Beberapa orang
mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil. Mereka bergulat untuk
mencapai prestasi pribadi, bukan sekedar untuk memperoleh ganjaran sukses semata,
namun mereka memiliki hasrat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik dan
lebih efisien dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Dorongan itu adalah
kebutuhan akan prestasi. Kebutuhan akan kekuasaan adalah hasrat untuk mempunyai
pengaruh dan mengendalikan orang lain. Pribadi ini menikmati tantangan dan
beban, bergulat untuk mempengaruhi orang lain, lebih menyukai bekerja dalam
situasi kompetitif, dan berorientasi pada status, lebih cenderung peduli pada prestise dan memperoleh pengaruh
terhadap orang-orang di sekitarnya daripada menunjukkan kinerja yang efektif.
Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk disukai dan diterima dengan baik
oleh orang lain. Mereka dengan motivasi afiliasi yang tinggi berjuang keras
untuk suatu persahabatan, lebih menyukai situasi korporatif daripada
kompetitif, dan sangat mengiginkan hubungan yang melibatkan tingkat pemahaman
timbal balik yang tinggi.
Menurut Sweeney dan McFarlin (2002: 85), motivasi merupakan proses yang menggunakan “pemicu”
untuk membangkitkan upaya pegawai dengan langkah-langkah perilaku ke arah
pencapaian sasaran. (motivation as a
proces that uses “triggers” to arouse employee effort along with steps to
channel behavior toward achieving goals).
Sementara itu, Campling et al. (2006: 387), menyatakan bahwa motivasi menunjukkan tingkat, arah, dan
ketekunan upaya yang curahkan dalam bekerja (motivation accounts for level, direction, and persistence of effort
expended at work).
Pendapat senada disampaikan Colquit, LePine, dan Wesson (2009: 178) bahwa motivasi kerja adalah seperangkat dorongan semangat
yang menunjukkan arah, intensitas, dan ketekunan upaya kerja pegawai (motivation
is a set of energetic forces that determine the direction, intensity, and
persistence of an employee’s work effort).
George and Jones (2005: 175) menyatakan bahwa motivasi kerja dapat didefinisikan
sebagai dorongan psikologis dalam diri seseorang yang menentukan arah perilaku
seseorang dalam organisasi, tingkat upaya, persistensi dalam menghadapi
rintangan (work motivation can be defined
as the psychological forces within a person that determine the direction of a
person’s behaviour in an organization, effort level, and persistence in the
face of obstacles).
Bateman dan Snell (2007: 427) menyatakan bahwa motivasi kerja mengacu pada dorongan
yang menyemangati, mengarahkan, dan menyokong upaya seseorang (motivation
refers to forces that energize, direct, and sustain a person’s effort). Batasan-batasan di atas menunjukkan
bahwa motivasi pada dasarnya merupakan dorongan yang mengarahkan seseorang
untuk tekun berupaya mencapai tujuan. Ivancevich (2007: 304) menyatakan bahwa: motivasi adalah sikap dan nilai yang
mempengaruhi seseorang untuk bertindak yang berorientasi pada tujuan. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa ada dua komponen motivasi kerja, yaitu: arah dan
dorongan perilaku. Dengan demikian motivasi merupakan suatu konsep yang
bersifat penjelasan yang sering digunakan untuk memahami perilaku yang diamati.
Setiap usaha manajemen dalam meningkatkan kinerja individu dapat menggunakan
teori motivasi. Ini sebagai hasil dari fakta bahwa motivasi memberikan
perhatian pada perilaku, atau secara lebih spesifik perilaku yang diarahkan
pada tujuan. Alasan utama mengapa perilaku pegawai berbeda-beda adalah bahwa
tujuan dan kebutuhan orang bervariasi. Faktor-faktor sosial, kultural, herediter, dan pekerjaan mempengaruhi
tingkah laku. Untuk memahami motivasi, harus dipelajari mengenai kebutuhan
pegawai yang semakin meningkat.
Gibson, James, dan Ivancevich (2006: 134) menyatakan bahwa setiap karyawan mempunyai banyak kebutuhan, namun ada
yang terpenuhi dan ada yang tidak. Terhadap kebutuhan yang tidak terpenuhi,
karyawan tersebut akan berusaha mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Oleh karena itu, karyawan tersebut akan melakukan tindakan atau perilaku
yang mengarah pada tercapainya tujuan. Perilaku atau tindakan tersebut akan
menghasilkan suatu prestasi yang selanjutnya akan dievaluasi, apakah sudah
sesuai dengan tujuan atau belum. Terhadap prestasi yang dihasilkan oleh seorang
karyawan dilakukan penilaian oleh atasannya untuk memberikan imbalan atas
keberhasilannya atau memberikan hukuman atas ketidakberhasilannya. Berdasarkan
imbalan dan hukuman tersebut, karyawan akan menilai kembali kebutuhan yang
tidak tercapai. Dalam suatu proses siklus motivasi, terdapat
beberapa unsur, yaitu: (1) adanya keinginan, kebutuhan dan daya sejenisnya yang
timbul dari dalam diri seseorang. Hal tersebut disebabkan adanya rangsangan
dari dalam diri orang tersebut atau rangsangan yang berasal dari luar dirinya
(eksternal); (2) keinginan dan kebutuhan ini mengarahkan perilaku untuk
bertindak dengan cara tertentu atau paling tidak mengembangkan suatu
kecenderungan perilaku tertentu bagi dirinya atau orang lain; (3) perilaku
tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan mengurangi ketegangan yang
timbul di dalam dirinya akibat keinginan atau kebutuhan yang belum terpuaskan;
dan (4) tujuan tersebut merupakan arah atau sasaran dari suatu organisasi atau
dirinya sendiri, yang apabila dapat dicapai, maka akan mengakibatkan adanya
kepuasan.
Sementara itu Lewin dan Vroom (1999: 234), dengan teori ekpektansi, berasumsi bahwa: manusia meletakkan suatu
nilai pada sesuatu yang diharapkan dari karyanya. Oleh sebab itu, manusia
mempunyai urutan kesenangan (preference)
di antara sejumlah hasil yang ia harapkan. Asumsi lain adalah bahwa suatu usaha
untuk menjelaskan motivasi yang terdapat pada seseorang selain harus
mempertimbangkan hasil yang dicapai, ia juga mempertimbangkan keyakinan bahwa
yang dikerjakannya memberikan sumbangan terhadap tujuan yang diharapkannya.
Berdasarkan asumsi di atas, Vroom menyatakan bahwa intensitas usaha seseorang
untuk melakukan sesuatu adalah fungsi nilai dan kegunaan dari setiap hasil yang
mungkin dapat dicapainya dengan persepsi kegunaan suatu tindakan dalam upaya
kerja mencapai hasil tersebut. Dalam hal ini harapan merupakan kadar keyakinan
bahwa usaha kerja akan menghasilkan penyesaian tugas. Harapan dinyatakan
sebagai kemungkinan prestasi kerja seseorang terhadap usaha kerja yang telah
dilakukannya. Kebutuhan berprestasi adalah dorongan untuk mengungguli,
berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, dan bergulat untuk sukses.
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku
dalam suatu cara tertentu, tanpa dipaksa orang tersebut tidak akan berperilaku
demikian. Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk membina hubungan antar
pribadi yang ramah dan akrab.
Sementara itu ada pendapat yang bisa dikatakan
kontrovesial yang disampaikan oleh Taylor (1991: 120-138), bahwa manusia sama dengan mesin (man as machine), selayaknya mesin produksi. Sifat mesin, manakala
perangkat kerasnya bagus dan tetap disediakan bahan bakar atau tenaga
pembangkit lain, akan tetap hidup. Lebih lanjut dijelaskan bahwa motivasi kerja
manusia semata-mata muncul karena imbalan ekonomi, rasa takut lapar, dan
dorongan ingin memiliki secara lebih banyak (fear hunger and desire for gain). Dengan demikian, manusia tidak
dapat didekati semata-mata dengan konsep manajemen ilmiah yang lebih menekankan
pada rasio usaha dengan hasil. Motivasi kerja seseorang tidak dapat dilihat
dari satu dimensi saja, yaitu memenuhi kebutuhan fisik semata.
Argyris (1984: 230-235) berpendapat bahwa individu adalah organisme yang kompleks (complex organism) dan organisme tersebut
dapat menimbulkan kekuatan kerja (working
power) pada diri individu untuk membangkitkan kebutuhan di dalam dirinya.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dua sistem nilai yang berkembang di dalam
organisasi, yang karakteristiknya berbeda. Pertama,
nilai-nilai dari birokrasi yang mendominasi praktik kerja keorganisasian. Kedua, nilai-nilai demokrasi yang
berorientasi humanistik.
Menurut Bootzin, Bower, Zajonc, and Hall (1986: 681) mengatakan bahwa motivasi kerja mempengaruhi lamanya kita
berada dalam organisasi, betapa bergantungnya kita dalam melakukan tugas, dan
betapa inovatifnya kita dalam bekerja (work
motivation affects how long we stay with a company, how dependably we perform
our duties, how innovative we are on the job).
Mowen (1981: 596-603) mengungkapkan motivasi kerja sangat mempengaruhi produktivitas kerja.
Motivasi kerja yang tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi dan motivasi
yang rendah akan menurunkan produktivitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja, yaitu: gaya kepemimpinan
administrator, sikap individu, dan situasi. Kepemimpinan dengan gaya otoriter
membuat pekerja menjadi tertekan dan tak acuh dalam bekerja. Sikap individu,
karakteristik individu yang mendukung menurunnya motivasi adalah sikap tidak
mau meraih prestasi baru, rasa cepat puas, dan lemah fisik. Karakteristik
individu yang dahaga akan prestasi, tidak cepat puas, dan kuat fisik adalah
karakteristik yang mendukung meningkatnya motivasi. Sedangkan situasi kerja,
lingkungan kerja, jarak tempuh dan fasilitas yang tersedia dapat membangkitkan
motivasi, jika persyaratan terpenuhi.
Gibson, et al. (2006: 190-193), menyatakan bahwa teori-teori motivasi kerja dapat
diklasifikasikan baik sebagai teori kepuasan atau teori proses. Teori kepuasan
memusatkan pada faktor-faktor di dalam individu yang menggiatkan, mengarahkan,
mempertahankan dan menghentikan perilaku.
Motivasi kerja seorang pegawai biasanya merupakan hal
yang rumit, karena hal ini melibatkan faktor-faktor individual dan organisasional.
Gomes, sebagaimana dikutip Wang Muba (2008: 2), menyatakan bahwa faktor-faktor yang bersifat individual di antaranya
adalah kebutuhan-kebutuhan (needs),
tujuan-tujuan (goals), sikap (attitude), dan kemampuan-kemampuan (abilities), sedangkan faktor-faktor
organisasional antara lain: pembayaran atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job
security), sesama karyawan (co-worker),
pengawasan (supervision), pujian (praise), dan pekerjaan itu sendiri (job itself).
Teori tentang motivasi kerja disampakan oleh Herzberg (2009: 1-2) dalam teori Dua-Faktor Herzberg menyatakan bahwa komponen
pertama dalam pendekatan ini meliputi apa yang dikenal sebagai faktor hygiene dan meliputi pekerjaan dan
faktor lingkungan organisasi, yang meliputi: organisasi, kebijakan dan administrasinya,
jenis supervisi, kondisi kerja, gaji, status, dan keamanan bekerja. Komponen
kedua meliputi apa yang orang-orang lakukan dalam bekerja. Komponen ini disebut
dengan motivator, meliputi: prestasi, pengakuan, minat dalam tugas, tanggung
jawab untuk tugas yang lebih berat, serta pertumbuhan dan kemajuan untuk tugas
yang lebih tinggi. Certo (1997: 391) menjelaskan
kepuasan kerja dengan Teori Dua-Faktor Herzberg (Two-Factor Theory Herzberg), memperlihatkan tingkatan
atau derajat kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja yang ditunjukkan dari
kinerja maksimal yang dilakukannya terhadap pekerjaannya berdasarkan dua faktor
berbeda yang sangat berpengaruh. Dari tabel itu dapat diperjelas, ketidakpuasan
pekerja terhadap pekerjaannya dipengaruhi oleh kebijakan dan administrasi
organisasi yang membelenggunya dalam melaksanakan pekerjaan; adanya pengawasan
yang membuat seseorang seolah sebagai pesakitan; hubungan yang tidak harmonis
dengan pengawas; hubungan yang tidak menyenangkan di antara sesama pekerja; keadaan
pekerjaan yang tidak menunjang pelaksanaan kerja; gaji atau upah yang tidak
memadai; dan hubungan yang tidak harmonis antara atasan dengan bawahan.
Sedangkan sebaliknya, kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh adanya peluang
untuk berprestasi; atau adanya peluang atau kesempatan untuk diakui dan
dikenal; pekerja melakukan pekerjaan atas inisiatif diri; pekerja diberi
tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya; adanya pemberian kesempatan
untuk naik pangkat; adanya kesempatan untuk promosi jabatan baru; dan adanya
kesempatan dalam pengembangan diri.
McGregor
(1996: 134-156) menyatakan bahwa motivasi kerja manusia akan terdorong jika
diberi tanggungjawab dan dihadapkan pada menggariskan bahwa di dalam proses
kerjasama antara manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh
yang signifikan atau tidak sedikit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa manusia
modern bekerja semata-mata bukan karena takut, terancam, diarahkan, atau
sebatas ingin memperoleh imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja,
yaitu: kebutuhan dan tuntutan untuk hidup, tugas pokok dan fungsi, dorongan
berpartisipasi, kesadaran akan tujuan, suasana lingkungan yang sehat, dan
terpenuhinya kebutuhan pribadi.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan motivasi kerja adalah
dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam berusaha mencapai standar kerja
yang telah ditetapkan, yang nampak pada:
bersemangat dalam bekerja,
kegigihan untuk memperoleh sesuatu dari tempat kerja, menyukai pekerjaan
dengan tanggung jawab pribadi, harapan
yang tinggi terhadap pekerjaan,
keinginan mencapai standar kerja, dan
keinginan untuk segera menyelesaikan tugas.
Kerangka Berpikir
1. Pengaruh Langsung Gaya Kepemimpinan
terhadap Motivasi Kerja
Kepemimpinan
seseorang dapat diketahui dari gaya kepemimpinannya. Dengan demikian, gaya
kepemimpinan seseorang membedakan dirinya dengan pemimpin lain. Gaya
kepemimpinan pada hakikatnya merupakan pola perilaku pemimpin yang spesifik
dalam mengarahkan bawahannya baik secara individu maupun kelompok dalam mencapai
tujuan. Gaya kepemimpinan seseorang dapat dilihat dari pola perilaku pemimpin
dalam menciptakan hubungan pemimpin-bawahan, mengatur kejelasan struktur tugas,
dan kewenangannya dalam pengangkatan, pemberhentian, pendisiplinan, promosi,
dan peningkatan gaji.
Gaya kepemimpinan
atasan berdampak pada dorongan pegawai untuk mengikuti pengarahannya atau
bahkan menimbulkan rasa tertekan bagi
pegawainya. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada kebutuhan pegawai akan
berdampak pada motivasi pegawai untuk lebih giat bekerja, demikian pula
sebaliknya.
Pemimpin yang
dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan pegawai akan
memotivasi kerja pegawai. Motivasi kerja
pegawai pada hakikatnya merupakan dorongan pegawai untuk bekerja. Hal ini tentu
saja dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama perilaku pemimpin dalam
mempengaruhi bawahannya. Pemimpin yang dapat mendorong pegawai untuk bekerja
lebih giat dengan cara menyelami kebutuhan pegawai akan dapat menimbulkan
motivasi kerja pegawai. Demikian pula sebaliknya, pemimpin yang menjalankan
gaya kepemimpinan yang otoriter tentu saja kurang disenangi oleh bawahannya.
Akibatnya, motivasi kerja pegawai bukan berasal dari dalam diri, melainkan
karena takut kepada pemimpinnya.
Berdasarkan uraian
di atas, diduga gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja
pegawai.
2. Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja terhadap Motivasi Kerja
Lingkungan kerja pada dasarnya merupakan faktor yang
mendukung pelaksanaan kerja pegawai. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan
kelengkapan fisik, pekerjaan, dan suasana kerja. Kelengkapan fisik berupa ruang
atau tempat bekerja, pekerjaan berupa kelengkapan peralatan kerja, kelengkapan
alat teknologi informasi, sedangkan suasana kerja berupa kenyamanan kerja,
komunikasi antaranggota organisasi, dan komunikasi antara atasan dengan
bawahan.
Lingkungan kerja biasanya diusahakan agar dapat mendukung
pelaksaan kerja pegawai. Para pemimpin yang memperhatikan kondisi lingkungan
kerja akan tidak kesulitan dalam membangun motivasi kerja pegawai. Hal ini
penting karena lingkungan kerja yang mendukung upaya kerja akan memungkinkan
pegawai untuk bekerja secara optimal. Dengan kata lain, lingkungan kerja yang
kondusif akan memotivasi kerja pegawai. Motivasi kerja pada hakikatnya merupakan
dorongan pegawai untuk bekerja
yang dipicu oleh rangsangan dari luar
atau timbul dari dalam dirinya melalui proses psikologis dan pemikiran individu
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan kerja
berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja.
3. Pengaruh Langsung Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja
Gaya Kepemimpinan pada
hakikatnya merupakan perilaku pemimpin yang menjadi karakteristiknya dalam
menerapkan pola kepemimpinannya yang
diyakini sesuai bagi bawahannya. Dengan demikian, setiap pemimpin memiliki gaya
kepemimpinan yang berbeda-beda.
Dalam menerapkan gaya
kepemimpinannya, seorang pemimpin biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor
internal dan eksternal pemimpin, demikian juga tuntutan terhadap tugas yang
diembannya. Seorang pemimpin biasanya
mempunyai keyakinan bahwa pola perilaku memimpinnya adalah yang terbaik bagi
keberhasilan tugas yang diembannya. Tuntutan tugas inilah yang membuat seorang
pemimpin yang diambil harus memilih gaya kepemimpinan yang sesuai.
Biasanya seorang pemimpin
menerapkan gaya kepemimpinan yang tidak statis tetapi justru dinamis
disesuaikan dengan kebutuhan. Hal inilah yang berdampak pada persepsi bawahan
terhadap atasannya. Persepsi pegawai terhadap atasannya berdampak pada rasa
senang atau bahkan tidak senang. Gaya kepemimpinan atasan yang berorientasi
pada kebutuhan bawahannya akan berdampak pada rasa senang bekerja, rasa
dihargai, dan sikap positif lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan atasan sesuai dengan keinginan bawahan. Sedangkan gaya
kepemimpinan atasan yang menekan bawahan berakibat rasa tidak nyaman, rasa
takut, dan sikap negatif lainnya. Hal ini berdampak pada ketidakpuasan kerja
pegawai.
Berdasarkan uraian di atas,
diduga gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai.
4. Pengaruh Langsung Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja
Lingkungan kerja pada
hakikatnya merupakan segala sesuatu yang mendukung pegawai dalam melaksanakan
pekerjaan. Lingkungan kerja yang mendukung pelaksanaan pekerjaan akan berdampak
positif terhadap kinerja pegawai. Demikian juga sebaliknya, lingkungan kerja
yang menggangu pelaksanaan pekerjaan membuat pegawai tidak optimal dalam
bekerja pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas kerja dan bahkan
membuat pegawai menjadi stres kerja.
Lingkungan kerja yang memadai
bagi pegawai untuk bekerja menimbulkan rasa nyaman, rasa senang, dan persepsi
yang baik lainnya. Hal ini akan mendorong pegawai mempunyai penilaian positif
terhadap pekerjaannya.
Penilaian pegawai terhadap
pekerjaannya yang berdampak pada rasa bangga, rasa nyaman, dan bahkan rasa puas
menunjukkan bahwa pegawai tersebut memperoleh kepuasan kerja. Hal ini
dimungkinkan berkat dukungan lingkungan kerja yang memadai. Pegawai yang
membutuhkan suasana kerja yang nyaman, terhindar dari kebisingan dan didukung
oleh peralatan serta suasana kerja yang kondusif memungkinkan ia dapat
melaksanakan pekerjaan secara optimal. Dengan kata lain, pegawai memperoleh
kepuasan kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas,
diduga lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai.
5. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja
Motivasi kerja pada dasarnya dorongan yang timbul pada diri seseorang
dalam berusaha mencapai standar kerja yang telah ditetapkan. Motivasi kerja
seorang pegawai terlihat dari semangat dalam bekerja, kegigihan untuk memperoleh sesuatu dari
tempat kerja, menyukai pekerjaan dengan
tanggungjawab pribadi, harapan yang
tinggi terhadap pekerjaan, keinginan
mencapai standar kerja, dan keinginan
untuk segera menyelesaikan tugas.
Motivasi kerja mempengaruhi produktivitas kerja. Dengan
kata lain, motivasi kerja yang tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi,
begitu juga sebaliknya. Pegawai yang dapat mewujudkan produktivitas kerja yang
tinggi akan berdampak secara psikologis, seperti rasa puas, lega, dan senang.
Hal ini akan memicu kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja merupakan penilaian
pegawai terhadap pekerjaannya. Pegawai yang termotivasi kerjanya akan dapat
menikmati pekerjaannya dengan baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa pegawai
mencapai kepuasan kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas, diduga motivasi kerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja.
6.
Pengaruh Tidak Langsung Gaya
Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja
Melalui Motivasi Kerja
Gaya kepemimpinan merupakan
perilaku karakteristik pemimpin dalam
mengarahkan bawahannya guna mewujudkan tujuan organisasi. Setiap
pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda yang diyakini sebagai
cara yang tepat dalam mengarahkan bawahannya. Setiap pemimpin mempunyai
keinginan agar gaya kepemimpinan yang diterapkan dapat mendorong bawahannya
untuk bekerja lebih baik. Hal ini dimungkinkan bila gaya kepemimpinan yang
diterapkan sesuai dengan kebutuhan bawahannya. Oleh karena itu, penerapan gaya
kepemimpinan biasanya memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan
organisasi dan para bawahannya. Penerapan gaya kepemimpinan yang hanya diyakini
oleh pemimpin tanpa memperhatikan kebutuhan organisasi dan para bawahannya akan
menyulitkan pemimpin itu sendiri.
Pegawai yang termotivasi
kerjanya memang dapat juga dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya.
Kesesuaian kebutuhan pegawai dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkan
atasannya dapat mendorong pegawai untuk giat bekerja. Hal ini juga pada
akhirnya akan berdampak pula pada kepuasan kerjanya. Dengan demikian, gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan pegawai akan mendorong secara tidak
langsung kepuasan kerja pegawainya.
Berdasarkan uraian di atas, diduga gaya kepemimpinan berpengaruh tidak langsung langsung terhadap
kepuasan kerja melalui motivasi kerja.
7.
Pengaruh Tidak Langsung
Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja
Melalui Motivasi Kerja
Lingkungan kerja pada
hakikatnya merupakan kondisi, lokasi, dan faktor-faktor lain yang relevan
dengan suasana yang dibutuhkan pegawai dalam bekerja. Oleh karena itu
lingkungan kerja harus sesuai dengan kebutuhan pegawai. Hal ini akan membantu
pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dengan baik optimal. Lingkungan kerja yang
kondusif akan mendorong pegawai untuk bekerja secara nyaman dan tanpa gangguan
yang berarti. Dengan kata lain, lingkungan kerja yang kondusif akan memotivasi
kerja pegawai.
Sedangkan pegawai yang
termotivasi kerja akan dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya yang berkaitan
dengan pekerjaan, seperti rasa puas, bangga, dan perasaan positif lainnya.
Dengan kata lain, pegawai memperoleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja pegawai
pada hakikatnya merupakan penilaian pegawai terhadap pekerjaan yang
menyenangkan. Hal ini akan terwujud bila pegawai tersebut memiliki motivasi
kerja yang tinggi. Rasa senang bekerja didukung oleh motivasi kerja yang
tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, diduga lingkungan kerja berpengaruh tidak langsung terhadap
kepuasan kerja melalui motivasi kerja.
Hipotesis Penelitian
1. Terdapat pengaruh langsung gaya kepemimpinan Kepala Dinas terhadap motivasi
kerja pegawai.
2. Terdapat pengaruh langsung lingkungan kerja terhadap motivasi kerja
pegawai.
3. Terdapat pengaruh langsung gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja
pegawai.
4. Terdapat pengaruh langsung lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja
pegawai.
5. Terdapat pengaruh langsung motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai.
6. Terdapat pengaruh tidak langsung
gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja melalui motivasi kerja pegawai.
7. Terdapat pengaruh tidak langsung lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja
melalui motivasi kerja.
METODOLOGI PENELITIAN
Secara umum, penelitian
ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh gaya kepemimpinan,
lingkungan kerja, dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, baik langsung maupun tidak langsung.
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai bulan Januari sampai dengan
Maret 2009. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan
teknik kausal. Sedangkan data dianalisis dengan analisis jalur (path analysis). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pegawai Golongan III yang berjumlah 135 orang yang
berada di Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Teknik sampling
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Simple
Random Sampling. Teknik ini untuk memperoleh sampel sebanyak 100 pegawai
golongan III/c dari jumlah sampling frame
sebanyak 129 pegawai. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
instrumen penelitian berbentuk angket. Skala yang digunakan
untuk variabel Gaya Kepemimpinan,
Lingkungan Kerja, dan Motivasi Kerja Pegawai adalah Rating Scale yang memiliki lima kategori pilihan jawaban, yaitu:
(a) selalu; (b) sering; (c) kadang-kadang; (d) jarang; dan (e) tidak pernah.
Sedangkan skala yang digunakan untuk variabel
Kepuasan Kerja Pegawai adalah Likert
Scale yang memiliki lima kategori pilihan jawaban, yaitu: (a) sangat
setuju; (b) setuju; (c) netral; (d) tidak setuju; dan (e) sangat tidak setuju.
Alternatif jawaban diberi bobot nilai 5 sampai dengan 1 untuk pernyataan
positif, dan bobot nilai 1 sampai dengan 5 untuk pernyataan negatif. Instrumen diujicoba terlebih dahulu sebelum
dipergunakan dalam penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah
teknik analisis data secara deskriptif dan inferensial. Program yang digunakan
adalah paket Data Analysis yang terdapat pada Microsoft Excel dan
SPSS. Dengan demikian model struktural analisis jalur adalah sebagai
berikut.
EmoticonEmoticon