Monday, June 9, 2014

KUMPULAN SKRIPSI EKONOMI LENGKAP TENTANG PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KOMITMEN
ORGANISASI TERHADAP KINERJA MELALUI PERILAKU KEWARGANEGARAAN PADA GURU SMA MTA SURAKARTA

A.           Latar Belakang Masalah
Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Komponen lain yang meliputi kurikulum, sarana-prasarana, biaya, dan sebgainya tidak akan banyak berarti bila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik tidak berkualitas. Semua komponen lain terutama kurikulum akan hidup apabila dilaksanakan oleh guru.
Peran guru sangat penting dalam mentransformasikan input-input pendidikan, sehingga banyak pakar menyatakan bahwa di sekolah tidak akan ada perubahan atau peningkatan kualitas tanpa adanya perubahan dan peningkatan kualitas guru. Peran guru masih kurang mendapat penghargaan dari masyarakat Indonesia sampai saat ini peran bahkan sering kali dipandang sebelah mata. Bahkan atasan guru seperti kepala sekolah ataupun pengawas sekolah sekalipun tidak mudah untuk mendapatkan data dan mengamati realitas kinerja guru di hadapan siswa. Program kunjungan kelas oleh kepala sekolah atau pengawas tidak dapat ditolak oleh guru. Akan tetapi tidak jarang terjadi guru berusaha menampakkan kinerja terbaiknya baik pada aspek perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran pada saat dikunjungi. Selanjutnya guru akan kembali bekerja seperti sedia kala, kadang tanpa persiapan yang matang serta tanpa semangat dan antusiasme yang tinggi bahkan tidak jarang guru mengajar tidak tepat waktu seperti datang terlambat ataupun mengakhiri proses pembelajaran lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
Setiap guru harus dinilai kinerjanya sehingga dapat diketahui sejauh mana proses dan hasil kerja guru yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Kendati demikian, evaluasi kinerja guru cenderung banyak dilakukan oleh atasannya (kepala sekolah atau pengawas sekolah), sementara siswa jarang dilibatkan untuk menilai kinerja gurunya.
Penilaian kinerja guru oleh siswa merupakan salah satu teknik penilaian untuk mengidentifikasi kinerja guru, yang hingga saat ini keberadaannya masih kontroversi. Di satu pihak, ada sebagian orang yang berpendapat bahwa keterlibatan siswa untuk mengukur kinerja guru kurang tepat. Berbeda dengan kepala sekolah atau pengawas sekolah yang memang telah dibekali pengetahuan dan keterampilan bagaimana seharusnya guru mengajar, sedangkan siswa dianggap kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki kematangan dan keahlian untuk melakukan penilaian tentang gaya mengajar guru. Selain itu, mereka menganggap bahwa siswa cenderung lebih mengukur popularitas dari pada kemampuan guru itu sendiri.
Di lain pihak, tidak sedikit pula yang memberikan dukungan terhadap penggunaan teknik penilaian kinerja guru oleh siswa. Menurut Aleamoni (1981:70), teknik penilaian kinerja guru oleh siswa, yaitu:


a.         Para siswa merupakan sumber informasi utama tentang lingkungan belajar, termasuk di dalamnya tentang motivasi dan kemampuan mengajar guru.
b.         Para siswa pada dasarnya dapat menilai secara logis tentang kualitas, efektivitas, dan kepuasan dari materi dan metode pembelajaran yang dikembangkan guru.
c.         Penilaian kinerja guru oleh siswa dapat mendorong terjadinya komunikasi antara siswa yang bersangkutan dengan gurunya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan proses belajar mengajar.
d.        Dalam mata pelajaran tertentu, hasil penilaian kinerja guru oleh siswa dapat dimanfaatkan untuk membantu siswa-siswa lain dalam memilih mata pelajaran dan memilih guru yang sesuai dengan dirinya.
e.         Dalam pendidikan yang berorientasi pada mutu, siswa pada dasarnya merupakan pelanggan (customer) utama yang harus didengar pendapat dan pemikirannya atas pelayanan pendidikan yang diberikan gurunya.

Ada beberapa studi yang dilakukan untuk persoalan ketidakmatangan siswa untuk dilibatkan dalam evaluasi kinerja guru. Peterson dan Kauchak (1982:87) menemukan bukti bahwa evaluasi kinerja guru oleh siswa ternyata dapat menunjukkan konsitensi dan reliabilitas yang tinggi dari satu tahun ke tahun berikutnya. Demikian juga, siswa ternyata dapat membedakan pengaruh pembelajaran yang efektif dan tidak efektif dilihat dari dimensi sikap, minat dan keakraban guru.
Berdasarkan pemikiran Aleamoni dan hasil studi yang dilakukan Peterson dan Kauchak (1982:87), dikembangkan penilaian kinerja guru oleh siswa yang digagas oleh siswa, guru atau kepala sekolah. Selama evaluasi kinerja ini didesain dan diadministrasikan sesuai dengan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip evaluasi, maka data yang dihasilkan akan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perbaikan mutu dan efektivitas pembelajaran siswa dan kualitas pendidikan.
Salah satu masalah sentral dalam pembangunan sekarang adalah peningkatan mutu pendidikan di setiap jenis dan jenjang pendidikan. Masalah mutu pendidikan tersebut tidak muncul dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor. Di antara sekian faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan adalah faktor guru. Guru dalam melaksanakan tugas terutama mereka yang mengajar di sekolah seringkali mendapat sorotan yang tidak baik dari masyarakat dan tidak jarang dijadikan penyebab utama merosotnya mutu pendidikan. Guru sebagai tenaga profesional yang memiliki abstraksi berpikir tinggi dan kinerja yang tinggi tidak bisa melihat pertanggungjawaban itu sebagai suatu ancaman profesi yang dapat menuturkan semangat untuk tidak bekerja baik. Sorotan itu harus dijadikan suatu motivasi untuk mendapatkan lebih banyak peluang dalam mengembangkan diri demi menegakkan citra profesi guru. Bagi guru-guru yang memiliki dedikasi dan loyalitas seperti itu menunjukkan bahwa guru memliliki tugas mengajar artinya meskipun tugas mereka sering dinilai tidak sesuai dengan harapan masyarakat, tetapi mereka tetap menjalankan tugasnya dengan penuh semangat.
Buford dan Benedian dalam Nurtjahyo (2001:24) bahwa kinerja dapat dicapai jika: (a) mampu mengerjakan tugasnya, (b) ada keinginan melaksakan tugas, dan (c) mengerti apa yang menjadi tugasnya.  Hal ini dilakukan agar kinerja guru dapat sennatiasa ditingkatkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kinerja dapat diartikan hasil yang diperlihatkan seseorang yang berkaitan dengan tugasnya atau kemampuan kerja seseorang sebagai hasil dorongan perilaku kewarganegaraan yang diperhatikan dalam bentuk tingkah laku. Kinerja guru dapat diartikan kemampuan kerja atau kinerja yang merupakan kulminasi hasil perilaku kewarganegaraan yang diperhatikan oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya di sekolah seperti membuat persiapan dan menyusun program pembelajaran serta bagaimana memberikan penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar.
Nawawi (2000:34) mengemukakan bahwa kinerja juga berarti karya, yang dimaksud dengan karya adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik yang bersifat fisik/material maupun non fisik/non material. Berdasarkan batasan ini jelaslah bahwa kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melakukan pekerjaannya menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Di dalam situasi kerja bisa terjadi perbedaan kinerja seseorang dengan orang lain. Maier (As’ad, 2001: 48) mengatakan “...perbedaan kinerja orang tersebut terjadi karena perbedaan karakteristik dari seseorang seperti perbedaan kemampuan”. Simamora (1997) mengemukakan ...kinerja pegawai adalah tingkatan dimana para pegawai mampu mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan. Penilaian kinerja para pegawai merupakan bagian penting dari seluruh proses kekayaan pegawai yang bersangkutan. Pentingnya penilaian kinerja yang rasional dan diterapkan secara objektif terlihat pada paling sedikit dua kepentingan, yaitu kepentingan pegawai yang bersangkutan sendiri dan kepentingan organisasi. Sedangkan John (1998:47) mengemukakan bahwa aspek-aspek penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan yaitu kinerja, tanggung jawab, kesetiaan dan pengabdian, prakarsa, kejujuran, disiplin kerja, kerjasama, loyalitas dan kepemimpinan. Sedangkan aspek kinerja dapat dirinci menjadi kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, kemampuan bekerja sendiri, pemahaman dan pengenalan pekerjaan serta kemampuan memecahkan persoalan.
Kinerja guru dapat kita lihat dalam kegiatan proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses dalam pengertiannya di sini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam pembelajaran yang satu sama lainnya saling berhubungan (interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Komponen pembelajaran antara lain menyusun program pengajaran, termasuk merumuskan tujuan, memilih materi pelajaran, metode mengajar, alat peraga, dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai-tidaknya tujuan.
Atas dasar lima tahapan dalam proses pembelajaran, maka guru dituntut untuk minimal menguasai 5 kompetensi, yakni: 1) kompetensi dalam menyusun rencana pengajaran (RP), termasuk merumuskan tujuan; 2) kompetensi dalam menguasai materi pelajaran; 3) kompetensi dalam memilih dan menggunakan alat peraga; 4) kompetensi dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran; 5) kompetensi dalam menyusun dan melaksanakan evaluasi keberhasilan belajar. Kelima kompetensi minimal inilah yang hendak diukur dalam mengetahui kinerja guru. Pengukuran kinerja guru juga tdak lepas dari peranan kepala sekolah sebagai pimpinan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja guru adalah perilaku kewarganegaraan, gaya kepemimpinan tranformasional dan komitmen organisasi. Dalam konteks perilaku keorganisasian, yang mana seorang guru diperhadapkan oleh sejumlah tuntutan akan peran profesinya, dan dilain pihak adanya keterbatasan yang dimilik oleh guru itu sendiri maupun keterbatasan akan apa yang diharapkan untuk diper oleh dari profesinya sangat berkaitan dengan salah satu dari tiga peran penting dari seorang karyawan dalam sebuah organisasi, khususnya perilaku kewarganegaraan atau perilaku baik warga organisasi yang populer dikenal sebagai perilaku kewarganegaraan (OCB) atau perilaku kewarganegaraan.
Katz (1964) yang dikutip Konovsky dan Pugh (1994, dalam Kaihatu dan Rini, 2007) mengidentifikasi “3 (tiga) kategori perilaku pekerja, yaitu (i) individu terikat dan berada dalam suatu organisasi, dan (ii) harus menyelesaikan peran khusus dalam suatu pekerjaan, serta (iii) harus terikat pada aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya”. “Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai perilaku kewarganegaraan, atau the extra-role behavior” (Pearce dan Gregersen, 1991; Wright et al., 1993, dalam Kaihatu dan Rini, 2007), dan oleh Puffer (1987, dalam Kaihatu dan Rini, 2007) diistilahkan sebagai “prosocial behavior”, atau juga diartikan sebagai “kewarganegaraan yang baik” (Robins, 2003:30).
Menurut Utomo (2002), perilaku kerja the extra role sering diistilahkan sebagai “organizational citizenship behavior atau sering juga disebut prosocial behavior, namun dari berbagai istilah tersebut memiliki suatu pengertian yang sama, yaitu suatu perilaku kerja karyawan yang bekerja tidak hanya pada tugasnya (in-role), tapi juga bekerja tidak secara kontrak mendapatkan kompensasi berdasarkan sistem penghargaan atau sistem penggajian formal (beyond the job)”.
Aldag dan Rescke (1997), mengartikan perilaku kewarganegaraan (perilaku kewarganegaraan) sebagai berikut:
Perilaku ekstra peran diartikan sebagai kontribusi seorang individu dalam bekerja, dimana melebihi persyaratan yang ditetapkan dan penghargaan atas keberhasilan kerja yang dijanjikan.
Kontribusi tersebut seperti perilaku menolong sesama yang lain, kerelaan melakukan pekerjaan tambahan, menjunjung prosedur dan aturan kerja tanpa menghiraukan permasalahan pribadi merupakan satu bentuk dari prosocial behaviour, sebagai perilaku sosial yang positif, konstruktif, dan suka memberi pertolongan”.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku kewargangeraan berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Berdasarkan hasil penelitian Alhamda (2007), terlihat bahwa hubungan variabel perilaku kepemimpinan dan perilaku kewarganegaraan pada  Poltekkes Padang belum baik, tetapi hubungan kinerja dosen sudah baik. Zang et al. (2010) menyatakan perilaku kewarganegaraan memberikan kontribusi untuk evaluasi kinerja dan kompensasi  keputusan.
Agar supaya perilaku kewarganegaraan dan kinerja ditunjukkan dengan baik, maka keefektifan peran seorang pemimpin dalam hal ini kepala sekolah sangatlah diperlukan. Kepemimpinan transformasional (transformational leadership) merupakan salah-satu diantara sekian model kepemimpinan, oleh Burns (1978, dalam Yukl, 1998:296) diartikan sebagai “sebuah proses saling meningkatkan diantara para pemimpin dan pengikut ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi’.  Bass (1985; 1998, dalam Tschannen-Moran, 2003) mengistilahkan kepemimpinan transformasional sebagai “Fours I’s”, yang meliputi “pengaruh individual (individualized influence), motivasi inspiratif (inspirational motivation), stimulasi intelektual (intellectual stimulation), dan pertimbangan individual (individualized consideration)” (individualized consideration)”.
Keefektifan peran seorang pemimpin dalam hal ini kepala sekolah sangatlah diperlukan dalam sekolah. Bass (1985) dalam Sunarsih (2001) dan Swandari (2003) mendefinisikan bahwa kepemimpinan sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu. Bawahan merasa percaya, kagum, loyal dan hormat terhadap atasannya sehingga bawahan termotivasi untuk berbuat lebih banyak dari pada apa yang biasa dilakukan dan diharapkannya. Kepemimpinan pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang biasa dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kerja.
Faktor kepemimpinan, dari atasan dapat memberikan pengayoman dan bimbingan kepada karyawan dalam menghadapi tugas dan lingkungan kerja yang baru. Pemimpin yang baik akan mampu menularkan optimisme dan pengetahuan yang dimilikinya agar karyawan yang menjadi bawahannya dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik. Menurut Robbins (2001:56), kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Fungsi kepemimpinan adalah memandu, menuntun, membimbing, membangun, atau memberi motivasi kerja, dan membuat jaringan komunikasi dan membawa pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju dengan ketentuan waktu dan perencanaan. Sehingga setiap pimpinan akan memperlihatkan gaya kepemimpinannya lewat ucapan, sikap tingkah lakunya yang dirasa oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Penelitian tentang gaya kepemimpinan dan kinerja dijelaksna dengan hasil temuan Widiastuti (2002) yang menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Sardju (2010) menemukan bahwa kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap kinerja guru.
Faktor lain yang berperan dalam membentuk perilaku kewarganegaraan dan kinerja adalah komitmen organisasi. Dalam konteks yang sama pula; selain peran kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah maupun perilaku kewarganegaraan dari para guru, aspek berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah sikap-sikap yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri (work-related attitudes). Greenberg dan Baron (1997:177) menyebutkan bahwa “work-related attitudes salah satunya adalah komitmen seorang karyawan terhadap organisasi yang mempekerjakannya”. Menurut Kreitner dan Kinicki (2003:274) bahwa “komitmen organisasi (organizational commitment) mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan tujuan-tujuannya”.
Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk menguji hubungan antara komitmen organisasional dengan perilaku kewarganegaraan dan kinerja seperti yang dilakukan Chen dan Francesco (2003) meneliti hubungan antara tiga komponen dari komitmen organisasional dan kinerja pegawai di Cina, peneliti menemukan bahwa komitmen organisasional afektif berpengaruh positif pada kinerja in-role dan perilaku kewarganegaraan, sedangkan continuance commitment tidak ada pengaruhnya dengan kinerja in-role tetapi berpengaruh negatif pada perilaku kewarganegaraan pegawai di Cina. Gautam et al. (2004) menemukan bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif pada perilaku kewarganegaraan dan komitmen organisasional berkelanjutan berpengaruh negatif pada compliance.
Tetapi dalam penelitian Kaihatu dan Rini (2007) dalam analisisnya ditemukan bahwa komitmen organisasional tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku kewarganegaraan. Penelitian yang dilakukan oleh Gurning (2010), menemukan pengaruh signifikan antara komitmen organisasional dengan perilaku kewarganegaraan. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian empiris yang menghubungkan antara komitmen organisasional dan perilaku kewarganegaraan, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji  hubungan tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut dan kajian empiris, maka penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan transformasional  dan komitmen terhadap kinerja melalui perilaku kewarganegaraan penting dilakukan dalam meningkatkan mutu pendidikan subjek penelitian dan hasilnya diharapkan dapat meminimalisasi merosotnya mutu pendidikan dengan adanya peningkatan kinerja guru sehingga penelitian ini berjudul “Pengaruh  Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Melalui Perilaku Kewarganegaraan pada Guru SMA MTA Surakarta”.
B.            Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, kinerja guru dipengaruhi leh bebaga faktor diantaranya perilaku kepemimpinan, komitmen organisasional dan perilaku kewarganegaraan terhadap kinerja guru. Kepemimpinan diprediksi memiliki lebih banyak pengaruh terhadap keberhasilan kerja guru. Namun jika dielusuri esensi dari tugas dan tanggung jawab guru MA maka ditemukan faktor yang perlu pembenahan,  agar supaya tugas dan tanggung jawab guru tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang di harapkan dan optimal. Bagi seorang guru MA, tugas dan tanggung jawab tersebut terlihat pada aktivitas pembelajaran dan administrasi sekolah yang dikerjakan karena adanya dorongan dari diri sendiri dan kepala sekolah sebagai pimpinan.
Identifikasi masalah dalam penelitian ini akan melihat pengaruh  gaya kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasi terhadap kinerja melalui perilaku kewarganegaraan dalam konteks organisasi sekolah sebagai institusi pendidikan dengan subjek penelitian guru SMA MTA Surakarta.

C.           Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, ternyata masalah kinerja guru memiliki penyebab yang sangat luas. Mengingat keterbatasan peneliti dalam waktu, dana, tenaga maka penelitian ini dibatasi hanya pada permasalahan “gaya kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasi terhadap kinerja melalui perilaku kewarganegaraan”.

D.           Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka dapat diperoleh suatu dasar bagi peneliti untuk dapat lebih memfokuskan kegiatan penelitian kearah rumusan yang lebih jelas. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
  a.       Apakah gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA Surakarta?
  b.       Apakah komitmen organisasi berpengaruh terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA Surakarta?
  c.       Apakah gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta?
  d.      Apakah komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta?
  e.       Apakah perilaku kewarganegaraan berpengaruh terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta?

E.            Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain:
  a.            Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA Surakarta?
  b.            Untuk mengetahui pengaruh komitmen organisasi berpengaruh terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA Surakarta?
  c.            Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta.
  d.           Untuk mengetahui pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta.
  e.            Untuk mengetahui pengaruh perilaku kewarganegaraan terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta.

F.            Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu:
a.                Bagi pihak sekolah
Dapat menjadi sumber informasi bagi pimpinan mengenai gaya kepemimpinan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dalam usaha mewujudkan perilaku kewarganegaraan dan kinerja guru.
b.             Bagi Akademisi
Dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu manajemen pendidikan khususnya tentang konsep-konsep kepemimpinan dalam rangka meningkatkan perilaku kewarganegaraan dan kinerja dalam berbagai aspek kehidupan.
c.                Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan pedoman referensi dalam penelitian berikutnya yang lebih luas, dan mendalam khususnya tentang perilaku kewarganegaraan dan kinerja guru.
G.           Kajian Teori
1.             Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kualitas kemampuan pribadi yang dimiliki seseorang untuk menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Siagian (2003:2), keberhasilan suatu organisasi baik secara keseluruhan maupun kelompok dalam suatu organisasi tertentu sangat tergantung pada kualitas kepemimpinan organisasi tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kelebihan berupa kepemimpinan. Sedangkan kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mendorong sejumlah orang agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah pada tujuan yang sama.
Menurut Stogdill (dalam Yukl, 1998:2), kepemimpinan didefinisikan dalam kaitan dengan ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi, hubungan peran, tempat pada suatu posisi administrasi serta persepsi orang lain. Winardi (1996:47) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kemampuan  yang melekat pada seseorang yang memimpin, tergantung dari macam-macam faktor, baik intern maupun ekstern. Adakalanya pemimpin menonjol pada satu permasalahan namun memudar pada permasalahn yang lain.
Selain melakukan interaksi, pemimpin harus dapat melakukan hal-hal sebagai berikut Winardi (1996:47):
a.            memberikan inspirasi kepada bawahan,
b.            melaksanakan pekerjaan dan mengembangkan pekerjaan,
c.            menunjukkan pada bawahan cara melaksanakan pekerjaan,
d.           menerima tanggung jawab,
e.            menyelesaikan persoalan kerugian yang timbul dalam tiap bagian perusahaan.

Menurut M. Howard W. Hoyt dalam (Wiratmadja, 1995:185) kepemimpinan adalah suatu seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia dan kemapuan untuk membimbing beberapa orang kepemimpinan adalah: “Kemampuan atau kecerdasan yang mendorong sejumlah orang/dua orang atau lebih agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama ”. Kepemimpinan dalam kontesk non struktural dapat diartikan “Sebagai proses mempengaruhi pikiran dan perasaan, tingkah laku dan mengarahkan semua fasilitas untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan bersama-sama pula dalam buku ” Kepemimpinan Dalam Organisasi Leadership In Organisational, kepemimpinan adalah “ sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran Yukl (1996:55).
   Berdasarkan beberapa pengertian pemimpin dan kepemimpinan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa pemimpin adalah orang yang melaksanakan proses kepemimpinan, dan kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti yang didalamnya memiliki unsur seni, adanya kemampuan dan kecerdasan, mempengaruhi perasaan dan pikiran, dari proses tersebut mengakibatkan adanya kesediaan untuk melakukan suatu usaha yang diinginkan, dan mengarahkan tercapainya suatu tujuan bersama.

2.             Teori Kepemimpinan
Teori Kepemimpinan yaitu pengetahuan tentang pola tingkah laku (kata-kata dan tindakan) dari seseorang pemimpin. Banyak tokoh yang mengatakan penelitian tentang teori-teori kepemimpinan seperti penemuan-penemuan klasik tentang kepemimpian yaitu Studi Lowa, Pemimpin Ohio, dan Studi Kepemimpinan Michigan (Thoha, 2001:119). Ketiga penelitian ini menjadi dasar penelitian kepemimpinan berikutnya yang menimbulkan teori-teori tentang kepemimpinan. Menurut Suradiata (1997: 38), teori yang banyak dikenal adalah Teori Genetis, Teori Sosial, Teori Ekologi, Teori Sifat atau Perangai  yang dijelaskan sebagai berikut.
a.              Teori Genetis, adalah kepemimpinan yang dibawa sejak lahir /telah melekat pada dirinya sendri tanpa dibuat untuk pemimpin.
b.             Teori Sosial merupakan kebalikan dari teori genetis yaitu kehadiran seorang pemimpin harus diciptakan/disiapakan melalui persiapan pendidikan dan pelatihan. Dalam teori ini ada dua faktor yang menentukan terbentuknya pemimpin yaitu pertama karena faktor situasi kehidupan sosial, dan yang kedua adalah niat yang ada dalam diri seseorang.
c.              Teori Ekologis, teori ini disebut juga teori sintesis, merupakan penggabungan dari teori genetis dan teori sosial. Seseorang akan menjadi pemimpin yang sukses apabila sejak lahir telah memiliki bakat memimpin dan dikembangkan lagi melalui pendidikan dan latihan-latihan.
d.             Teori Sifat atau Perangai, seseorang menjadi pemimpin karena memiliki sifat, perilaku dan kepribadian pemimpin.
Banyak para tokoh yang mengemukakan berbagai teori yang tentang kepemimpinan seperti teori genetis, bahwa kepemimpinan dibawa sejak lahir/tanpa dibuat, teori sosial mengatakan bahwa kehadiran seorang pemimpin harus dibuat/diciptakan melalui pedidikan dan pelatihan. Teori ekologis/sintesis yaitu penggabungan antara teori genetis dan teori sosial, seorang akan jadi pemimpin yang sukses apabila sejak lahir memiliki bakat memimpin dan dikembangkan lagi melalui pendidikan dan pelatihan. Ada juga teori sifat, teori kelompok, dan teori part goal.
Berorientasi pada pengalaman-pengalaman dan mengarah pada hasil yang lebih baik, maka kepemimpinan masa depan diharapkan lahir dari seorang yang punya bakat memimpin yang dibina dan dikembangkan lagi melalui pendidikan dan pelatihan, yang disebut dengan teori ekologis/teori sintesis, merupakan penggabungan dari teori genetis dan teori sosial. Kecenderungan dalam teori ini adalah kalau seorang yang punya bakat memimpin, pasti disertai dengan sifat dan karakteristik tertentu, seperti sikap ramah, murah senyum, pintar bergaul baik hati, suka menolong, dan sebagai pelopor dalam menyelesaikan konflik/permasalahan yang terjadi baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Semua sikap-sikap itu ditampilkan secara alami dalam pergaulan kesehariannya, sehingga orang menyebut bahwa dia punya bakat memimpin. Apalagi sikap-sikap mulai itu dibina lagi dalam pendidikan dan pelatihan, akan menimbulkan seorang pemimpin yang luwes, berbakat, berilmu dan beretika yang menimbulkan kharismatik dan kewibawaan dalam kepemimpinan tidak seperti fenomena-fenomena yang ada seorang pemimpin diangkat dulu jadi pemimpin baru menerobos mengembangkan sikap-sikap mulia, seperti peramah yang dulunya tidak ramah, menyumbang, penolong yang semua sikap itu tidak pernah dilakoni sebelumnya, sehingga menimbulkan kepemimpinan yang kaku/kurang luwes, karena segala sesuatu tidak didasari dengan ketulusan hati hasilnya akan gersang tanpa makna.

3.             Fungsi dan Peran Kepemimpinan
Fungsi kepemimpinan menunjukkan bagaimana kepemimpinan itu menepati posisi dalam suatu organisasi sehingga dapat dipastikan bahwa tujuan-tujuan, baik individu maupun organisasi dapat terpenuhi. Fungsi kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi dalam kehidupan kelompok /organisasi. Oleh karena itu fungsi kepemimpinan sejalan dengan situasi sosial yang merupakan gejala sosial yang harus diwujudkan dalam interaksi antar individu didalam situasi sosial suatu kelompok organisasi. Terkait dengan ini fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi yakni : Pertama, dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan/aktifitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang dipimpinnya, dan kedua, dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) keterlibatan orang-orang yang dijalankan melalui keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin (Hadari, 1992:74).
Menurut Steer, dalam Ichsan (1991:22) mengidentifikasi beberapa fungsi kepemimpinan dalam efektifitas organisasi, salah satunya adanya kepemimpinan dapat membantu mempertahankan stabilitas organisasi dalam lingkungan yang bergolak, dan mampu beradaptasi dalam lingkungan yang berubah.
Menurut  Hadari (1992:75), fungsi pokok pimpinan dibedakan menjadi 5 (lima) yakni fungsi instruktur, fungsi konsultatif, fungsi parsitipatif, fungsi delegasi, dan fungsi pengendalian yang dijelaskan sebagai berikut
a.         Fungsi instruktif, fungsi ini bersifat komunikasi satu arah dimana pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi memerintahkan pelaksanaannya pada orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa isi perintah, bagaimana dan kapan mengerjakan, agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif.
b.        Fungsi konsultatif, fungsi ini berlangsung  /  bersifat dua arah, meskipun pelaksanaannya tergantung pada pihak pemimpin namun dalam mengambil keputusan pemimpin memerlukan bahan pertimbangan dan konsultasi dengan orang-orang tertentu yang dinilainya mempunyai bahan informasi yang deperlukan.
c.         Fungsi partisipasi, Fungsi ini tidak saja berlangsung dan bersifat dua arah tetapi juga terwujud dalam pelaksanaan hubungan manusia yang efektif antara pemimpin dengan sesama organisasi yang dipimpin. Fungsi ini akan terwujud jika dalam komunikasi terjadi pertukaran pendapat, gagasan dan pandangan dalam memecahkan masalah.
d.        Fungsi delegasi, fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang dalam membuat/ menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan pimpinan. Dalam hal ini pemimpin harus bisa memilih mana tugas yang dapat atau tidak dapat dilimpahkan, pada orang yang di percayainya.
e.         Fungsi pengedalian, Fungsi ini cenderung besifat komunikasi satu arah meskipun bisa dilakukan komunikasi dua arah, fungsi ini bermaksud agar kepemimpinan ini mampu mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif,  sehingga tercapainya tujuan bersama secara optimal. Fungsi pengendalian dapat dilakukan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.

4.             Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam membeda-bedakan berbagai tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki 3 (tiga) pola dasar dan secara terinci lagi dapat dijabarkan menjadi 3  pola (Hadari, 2002 : 83 ), yaitu.
a.              Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan pelaksanaan tugas secara efektif, efisien agar mampu mewujudkan tujuan secara maksimal pemimpin memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakan tugas-tugasnya tanpa campur tangan orang lain.
b.             Gaya kepemimpinan yang mementingkan pelaksanaan hubungan kerja sama, dimana pemimpin menaruh perhatian yang besar dan keinginan yang kuat agar setiap orang mampu menjalin kerja sama.
c.              Gaya kepemimpinan yang mementingkan hasil yang dapat dicapai dalam mewujudkan tujuan kelompok/organisasi. Pemimpin memiliki keinginan yang kuat agar anggota berprestasi sebesar-besarnya. Ketiga gaya kepemimpinan tersebut di atas secara operasional tidaklah terpisah, yang dalam kenyataannya saling mengisi satu sama lain hanya saja memiliki kecenderungan pada titik beratnya / penekanannya yang berbeda.
Hadari (2002 : 85 ) mengatakan bahwa kombinasi dari ketiga pola dasarini timbullah perilaku kepemimpinan, yang memiliki karakteristik masing-masing, yakni:
a.              Otokrasi (authocrat), yang memiliki karakteristik : pelaksanaan tugas merupakan kegiatan penting, inisiati/aktivitas orang-orang yang dipimpin dimatikan, kurang mempercayai orang lain dan kurang memperhatikan hubungan manusiawi, kurang disenangi oleh orang yang dipimpin, sukar memberi maaf pada bawahan, dan pendapat bahwa dipandang tidak perlu, dan orang yang dipimpin tidak bersatu/pecah belah.
b.             Otokrasi yang disempurnakan (benevolent autocrat), dengan karakteristik pemimpin berorientasi pada hasil, pemimpin menuntut ketaatan dan kepatuhan, pemimpin kurang yakin pada diri sendiri sehingga timbul kecenderungan lebih baik memanfaatkan orang lain dalam mengambil keputusan.
c.              Birokrat (bureaucrat), dengan karakteristik bekerja harus sesuai dengan semua peraturan, menuntut pada ketaatan perintah pimpinan yang lebih tinggi dengan mencari peraturan yang membenarkannya, pemimpin berusaha agar situasi kerja sesuai dengan aturan-aturan teoritis untuk mewujudkan kepemimpinan formal, kurang aktif dalam melaksanakan tugas, dan kurang menyukai orang luar/masyarakat.
d.             Pelindung dan penyelamat (missionary) dengan karakteristik : pemimpin berkepribadian ramah dan murah senyum mengutamakan hubungan manusiawi yang efektif berbentuk persahabatan melebihi segala-galanya, pemimpin berusaha aktif mencegah konflik-konflik dengan orang lain.
Berdasarkan gaya kepemimpinan dijelaskan di atas dalam prakteknya tidak bisa berdiri sendiri melainkan dilaksanakan secara terkombinasi dan bervariasi, namun dalam hal ini dalam merancang kepemimpinan, masa depan penekanannya pada gaya bimbingan, gaya kerja sama dan gaya pengabdian.


5.             Gaya Kepemimpinan Transformasional
Teori kepemimpinan ini mengacu pada kemampuan seorang pemimpin untuk memberikan pertimbangan dan rangsangan inteektual yang individukan dan yang memiliki karisma. Dengan kata lain, pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mampu memperhatikan keprihatinan dan kebutuhan pengembangan diri pengikut, menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra untuk memncapai tujuan kelompok. Kepemimpinan transformasional melibatkan pengembangan hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dengan bawahan. Dengan kepemimpinan transformasional, pemimpin membantu bawahan untuk melihat kepentingan yang lebih penting dari pada kepentingan mereka sendiri demi misi dan visi organisasi atau kelompok. Dengan mengeembangkan kepercayaan diri, keefektifen dan harga diri bawahan, diharapkan pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat pada tingkat identifikasi, motivasi dan pencapaian tujuan pengikut.
Menurut Suharto (2006:16), kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai hubungan antara pemimpin dan bawahan yang sangat dekat sehingga menimbulkan emosi dan kedekatan yang sangat lain, dan bawahan merasa hormat dan percaya pada pemimpinnya dan termotivasi untuk bekerja lebih dari yang sebenarnya. Sedangkan menurut Leary dalam Anikmah (2008:11), kepemimpinan transformasional adalah gaya kpemimpinan yang digunakan oleh seseorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Menurut Suharto (2006:6), terdapat empat macam komponen dalam perilaku kepemimpinan transformasional yaitu :
a.    Idealized influence (charisma)/ karisma
Seorang pemimpin transformasional memberikan contoh dan bertindak sebagai role model positif dalam perilaku, sikap, prestasi maupun komitmen bagi bawahannya yang tercermin dalam standar moral dan etis yang tinggi.
b.      Intelctual stimulation/ stimulasi intelektual
Pemimpin transformasional berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Pemimpin mendorong keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam proses perumusan, masalah dan pencarian solusi.
c.      Individulized consideration/ perhatian yang individualisasi
Seorang pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang dengan cara bertindak sebagai pelatih (coach) atau penasehat (mentor). Pemimpin juga menghargai dan menerima perbedaan individu dalam hal kebutuhan dan minat.
d.     Inspirational motivation/ motivasi inspirasional
Pemimpin transformasional memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan dengan jalan mengkomunikasikan ekspektasi tinggi dan tantangan kerja yang jelas, menggunakan simbol untuk memfokuskan usaha atau tidakan, dan mengekspresikan tujuan-tujuan penting dengan cara sederhana, serta dapat membangkitan semangat tim, antusiasme dan optimisme diantara rekan.
Berdasarkan uraian tersebut menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional lebih beorientasi kepada karismatik, perhatian dan inspirasi antara pimpinan dan bawahan yang didasarkan pada hubungan pimpnan dan bawahan.

6.             Perilaku Kewarganegaraan
Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) dianggap sebagai suatu perilaku di tempat kerja yang sesuai dengan penilaian pribadi yang melebihi persyaratan kerja dasar seseorang. Mereka sering dijelaskan sebagai perilaku yang melebihi permintaan tugas. Penelitian mengenai perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) secara intensif dilakukan sejak pengenalannya hampir dua puluh tahun yang lalu (Bateman dan Organ, 1983). Mayoritas penelitian perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) telah fokus pada pengaruh Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) pada kinerja individual  dan organisasional.
Organ (1988) berpendapat bahwa perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) sangat penting dalam kelangsungan hidup organisasi. Organ (1988) lebih lanjut memperinci bahwa perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) bisa memaksimalkan efisiensi dan produktivitas karyawan maupun organisasi yang pada akhirnya memberi kontribusi pada pemfungsian efektif dari suatu organisasi. Peneliti organisasional yang terkemuka saat ini seperti Brief (1986). telah mendukung posisi Organ (1988) berkaitan dengan arti penting efektivitas perilaku tersebut yang dia sebut sebagai perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior).
Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja. perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan "nilai tambah karyawan" yang merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag dan Resckhe, 1997:1). Organ (1997) mendefinisikan perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi.
Sementara itu Dyne, dkk (1995) yang mengusulkan konstruksi dari perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior), yaitu perilaku yang menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan organisasi, secara sukarela dan melebihi apa yang menjadi tuntutan peran. Penelitian Djati (2008: 25) menyatakan perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) adalah perilaku karyawan yang tidak nampak baik terhadap rekan kerja maupun terhadap perusahaan, dimana perilaku tersebut melebihi dari perilaku standard yang ditetapkan perusahaan dan memberikan  manfaat  bagi  perusahaan.
Definisi yang sedikit berbeda ditawarkan oleh Organ (1999), perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) merupakan perilaku karyawan perusahaan yang ditujukan untuk meningkatkan efektifitas kinerja perusahaan tanpa mengabaikan tujuan produktifitas individual karyawan. Fokus dari konsep ini adalah mengidentifikasi perilaku karyawan yang seringkali diukur dengan menggunakan alat ukur kinerja karyawan yang tradisional. Terdapat  beberapa  elemen dalam konsep ini yaitu (Stamper dan Dyne, 2001):
a.         Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) merupakan tipe perilaku dimana karyawan menunjukkan perilaku yang melebihi permintaan perusahaan.
b.        Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) merupakan perilaku yang tidak nampak.
c.         Perilaku karyawan ini tidak secara langsung mendapat penghargaan atau mudah dikenali  oleh struktur perusahaan yang formal.
d.        Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) merupakan perilaku yang penting bagi peningkatan  efektifitas  perusahaan.
Menurut Organ et.al (1990), dimensi perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) sebagai berikut :
a.       Altruism
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
b.      Conscientiousness
Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau  jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas
c.       Sportmanship
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan - keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.
d.      Courtessy
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah - masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain.
e.       Civic Virtue
Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur - prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber - sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.
Organ et.al (1990) menambahkan dimensi perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)  dengan:
a.       Peacekeeping, yaitu tindakan-tindakan yang menghindar dan menyelesaikan terjadinya konflik interpersonal (sebagai stabilisator dalam organisasi).
b.      Cheerleading, diartikan sebagai bantuan kepada rekan kerjanya untuk mencapai prestasi lebih tinggi.
Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) yang digunakan dalam penelitian ini menindaklanjuti teori dari Organ et al. (1990). Secara empiris dan konseptual kerja, menurut Organ et al. (1990) dimensi pembentuk Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) adalah sebagai berikut : altruism, conscientiousness, sportsmanship, courtessy, civic virtue, peacekeeping dan  cheerleading. Penelitian empiris selama ini hanya menganalisis pendapat Organ et.al (1990) dengan dimensi perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) altruism, conscientiousness, sportsmanship, courtessy,  dan civic virtue.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian mengenai pengaruh perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) terhadap kinerja organisasi (Podsakoff et.al, 2000, dalam Elfina, 2007:5), dapat disimpulkan hasil sebagai berikut:
a. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) meningkatkan produktivitas rekan kerja
1)        Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut.
2)        Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok.
b. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)  meningkatkan  produktivitas manajer.
1)   Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja.
2)   Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja, akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen
c. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan
1)   Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan
2)   Karyawan yang menampilkan conscentiousness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting.
3)   Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut
4)   Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan
4. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok
1)   Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok.
2)   Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang.
5. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja
1)   Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok.
2)   Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan
6. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik
1)   Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan keeratan serta perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik
2)   Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.
7. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
1)   Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.
2)   Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja.
8. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan
1)   Karyawan yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat.
2)   Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi.
3)   Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness (misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Untuk dapat meningkatkan Organizational citizenship behaviors (OCB) karyawan maka sangat penting bagi organisasi untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya atau meningkatnya Organizational citizenship behaviors (OCB). Menurut Siders et al. (2001), meningkatnya perilaku Organizational citizenship behaviors (OCB) dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri karyawan (internal) seperti moral, motivasi, komitmen, rasa puas, sikap positif, sedangkan faktor yang berasal dari luar karyawan (eksternal) seperti sistem  manajemen, sistem kepemimpinan, budaya perusahaan.

7.             Kinerja Guru
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan peserta didik. Dengan adanya guru yang berkualitas serta profesional akan berpengaruh terhadap keberhasilan dari peserta didik serta tujuan materi ajar yang diharapkan. Kualitas dan profesionalitas guru dapat dinilai dari kinerjanya, dalam rangka pencapaian tujuan materi ajar serta standar pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Martoyo berpendapat bahwa kinerja adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai kinerja karyawan. Menurut Martoyo (2000),“faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan atau produktivitas kerja karyawan adalah motivasi, kepuasan kerja, tingkat stres, kondisi fisik pekerjaan, sistem kompensasi, aspek-aspek ekonomi, aspek-aspek teknis, dan perilaku lainnya”
 Lower dan Porter (1968) dalam Indra Wijaya (1989) menyebutkan bahwa kinerja guru merupakan perpaduan antara motivasi mengajar dan kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaannya atau prestasi seorang guru bergantung kepada keinginan untuk berprestasi dan kemampuan yang bersangkutan melakukannya. Apabila kinerja yang dicapai guru kurang mendapat perhatian, akan dapat berakibat pada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti hasil kerja guru yang tidak maksimal.
Ada tiga faktor penting yang mempengaruhi kinerja menurut Steers (1985), yaitu (1) kemampuan, kepribadian, dan minat kerja; (2) kejelasan dan Penerimaan atas penjelasan peran seorang pekerja; dan (3) tingkat motivasi pekerjaan.
Menurut Veitzal Rivai (2004:234) menyatakan bahwa aspek-aspek penilaian kinerja guru dapat dikelompokkan menjadi:
a.              Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
b.             Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke dalam bidang operasional perusahaan secara menyeluruh, yanng pada intinya individu tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggungjawabnya sebagai seorang karyawan.
c.              Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi siswa.

Berdasarkan berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja guru merupakan hasil kerja baik berupa pencapaian tujuan pendidikan yang dapat diselesaikan seorang guru dalam kurun waktu tertentu. Penilaian kinerja guru dapat dilihat dari segi teknis, yaitu kemampuan dalam pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan. Kemampuan konseptual merupakan kemampuan memahami bidang kerja dalam lingkup pembagian tugasnya yang meliputi tugas, fungsi, serta tanggung jawab seorang guru dalam melakukan tugasnya.

H.           Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang kepemimpinan telah banyak dilakukan sebelumnya. Nurtjahyo (2000) melakukan penelitian tentang gaya kepemimpinan transformasional. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa perilaku kepemimpinan kepala sekolah mempunyai efek langsung terhadap kinerja guru sebesar 71,02%. Penelitian yang dilakukan oleh Nurtjahyo (2000) mengindikasikan bahwa gaya kepemimpinan transformasional memberikan dampak yang positif dalam mengembangkan kualitas kinerja guru. Kepemimpinan transformasional kepala sekolah SLTP dan korelasinya dengan manajemen instruksional di beberapa sekolah di Yogyakarta, dengan pendekatan dua model, secara umum hasil studi dapat disimpulkan sebagai berikut : (1). Data yang dikumpulkan dari dua sumber berdasarkan penilaian kepala sekolah dan penilaian guru terhadap kepala sekolah, dalam bentuk dan materi penyataan yang reratif sama, menunjukkan bahwa kepala sekolah cenderung menilai diri sendiri lebih tinggi jika di bandingkan persepsi yang di berikan oleh guru, kepala sekolah memperoleh nilai kepemimpinan transformasional yang cukup tinggi.
Penelitian Kaihatu dan Rini (2007) bertujuan untuk menguji hubungan langsung maupun tidak langsung dari sebuah model  multidimensional mengenai pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap perilaku kewarganegaraan yang dimediasi oleh kepuasan kualitas kehidupan kerja dan komitmen organisasional sebagai variabel antesedennya. Populasi dalam pelaksanaan penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Menengah Umum (SMU) di kota Surabaya, yang tersebar disepuluh sekolah dengan jumlah 465 orang guru. Teknik pengambilan sampelnya adalah convinience sampling, yaitu suatu metode pemilihan sampel yang dipilih dari elemen populasi yang datanya mudah diperoleh peneliti. Maka jumlah sampelnya adalah 211 guru SMU di kota Surabaya. Alat analisis yang digunakan adalah path analisys. Dalam penelitian ini, secara signifikan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja memediasi kepemimpinan transformasional terhadap perilaku kewarganegaraan, sebaliknya komitmen organisasional ditemukan tidak signifikan. Penerapan kepemimpinan trasformasional dari kepala sekolah meningkatkan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja, dan hal ini cenderung akan meningkatkan perilaku kewarganegaraan para guru.
Shahzad et al. (2010) melakukan penelitian yang berdasarkan fenomena praktik sumber daya manusia dan gaya kepemimpinan pada sektor universitas swasta. Tujuan penelitian ini antara lain untuk menguji praktik sumberdaya manusia dan gaya kemimpinan terhadap komitmen organisasional dan perilaku kewarganegaraan dosen di universitas swasta. Populasi penelitian adalah dosen di seluruh universitas swasta di Islamabad Pakistan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode quota sampling sehingga terpilih 200 dosen dari tiga universitas negeri dan tiga universitas swasta. Metode analisis data menggunakan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh positif antara praktik sumber daya manusia dan gaya kepemimpinan terhadap  komitmen organisasional tetapi tidak berpengaruh terhadap perilaku kewarganegaraan.
Penelitian Wan (2009) bertujuan  untuk menguji pengaruh antara kepemimpinan transformasional dan perilaku kewarganegaraan. Dimensi kepemimpinan transformasional adalah pengaruh ideal, motivasi dan pertimbangan individu. Selain itu untuk mengetahui perbedaan perilaku kewarganegaraan berdasarkan masa jabatan, jenis jabatan dan tempat bertugas. Responden terdiri dari 90 pegawai di kerajaan Malaysia yang terletak di Kuala Lumpur. Metode analisis data yang digunakan adalah uji ANOVA, uji korelasi Pearson dan uji regresi linear berganda dengan SPSS versi 15. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara kepemimpinan transformasional dan perilaku kewarganegaraan. Selain itu terdapat perbedaan signifikan antara masa kerja dan jabatan.
Gurning (2010) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasional dan intensi turnover dengan perilaku kewarganegaraan pada pegawai. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang signifikan antara  komitmen organisasional dan intensi turnover dengan perilaku kewarganegaraan pada pegawai, ada hubungan positif dan signifikan antara  komitmen organisasional dengan perilaku kewarganegaraan pada pegawai, ada hubungan negatif dan signifikan antara intensi turnover dengan perilaku kewarganegaraan pada pegawai. Subjek penelitian ini adalah pegawai tetap yang telah bekerja minimal satu tahun di PT Lotte Shopping Indonesia. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 31 pegawai. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposive random sampling.  Hasil penelitiannya adalah ada hubungan yang signifikan antara  komitmen organisasional dan intensi turnover dengan perilaku kewarganegaraan pada pegawai. Dalam penelitian ini  komitmen organisasional dan intensi turnover secara bersama-sama memberi pengaruh efektif terhadap perilaku kewarganegaraan.
Pattanaik dan Biswas (2005),  mendapati bahwa OCB memiliki dampak yang positif terhadap kinerja individu, dan kinerja individu selanjutnya memiliki dampak positif terhadap efektifitas organisasi.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumny, dibuktikan bahwa gaya kepemimpinan transformasional, komitmen organisasi, perilaku kewargangeraan berpengaruh tehadap kinerja.

I.              Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu, maka akan dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut.
H1: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap perilaku kewarganegaraan.
H2: Komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap perilaku kewarganegaraan.
H3: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
H4:  Komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
H5: Gaya kepemimpinan transform perilaku kewarganegaraan asional berpengaruh signifikan terhadap kinerja.

J.             Metode Penelitian
Metode adalah salah satu cara prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Penelitian pada umumnya bertujuan untuk mengetahui dan menemukan sesuatu yang baru tentang suatu masalah atau fenomena yang terjadi pada suatu objek. Dalam melakukan penelitian diperlukan langkah-langkah yang tersusun secara sistematis untuk mendapatkan data sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Menurut Sugiyono (2004:4) menyatakan bahwa metode penelitian adalah “Cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan dan dikembangkan suatu pengetahuan sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah”.

1.             Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya, maka jenis penelitian ini adalah survey eksplanatoris atau explanatory research, yaitu penelitian penjelasan yang menyoroti tentang hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.

2.             Populasi dan Sampel
a.              Populasi
Populasi dalam setiap penelitian harus disebutkan secara tersurat, yaitu yang berkenaan dengan besarnya anggota populasi serta wilayah penelitian yang dicakup. Menurut Sugiyono (2005:72), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan”. Populasi subjek yang diperhitungkan adalah individu-individu yang melaksanakan kepemimpinan di SMA MTA Surakarta, yaitu kepala sekolah dan guru sebagai responden.

b.             Sampel
Sampel adalah “ sebagaian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu “ Sudjana, (2002 : 161). Sampel adalah “ sebagaian atau wakil populasi yang diteliti “ Arikunto, (2002 : 109). Berdasarkan karakteristik subjek di dalam populasi bersifat homogen, maka akan dilakukan penelitian sampel, penelitian sampel baru boleh dilaksanakan ” apabila keadaan subjek di dalam populasi benar-benar homogen ” Arikunto, (2002:110).
Tehnik ini dipilih, karena pengambilan sampel memperhitungkan banyaknya guru dari masing-masing sekolah, mengingat jumlah guru untuk tiap-tiap sekolah tidak sama. Hal ini dimaksudkan agar karakteristik populasi terwakil secara optimal di dalam sampel. Jika tidak, semakin bersarlah kemungkinan kekeliruan dalam menggeneralisasikan kesimpulan-kesimpulan peneliti Suryabrata, (1983 : 89)
Untuk menentukan besarnya sampel yang akan di jadikan subjek penelitian, digunakan populasi yang besarnya 60 orang. Sampel penelitian menggunakan metode sensus diperoleh jumlah sampel 60 orang.
3.             Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini antara lain:
                      1)     Variabel independen yaitu gaya kepemimpinan transformasional (X1) dan komitmen organisasi (X2)
                      2)     Variabel intervening adalah perlaku kewarganegaraan (Z)
                      3)     Variabel dependen adalah kinerja (Y)

4.             Definisi Operasioal
a.              Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan tranformasional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan yang sangat dekat hingga menimbulkan emosi dan kedekatan yang sangat kuat, dan bawahan merasa hormat dan percaya kepada pemimpinnya dan terperilaku ekstra peran untuk bekerja lebih dari yang sebenarnya. Indikator kepemimpinan transaksional antara lain Suharto (2006:6):
1)        Idealized influence (charisma)/ karisma
Seorang pemimpin transformasional memberikan contoh dan bertindak sebagai role model positif dalam perilaku, sikap, prestasi maupun komitmen bagi bawahan yang tercermin dalam standar moral dan etis yang tinggi.
2)        Intelctual stimulation/ stimulasi intelektual
Pemimpin transformasional berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Pemimpin mendorong keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam proses perumusan, masalah dan pencarian solusi.
3)        Individulized consideration/ perhatian yang individualisasi
Seorang pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang dengan cara bertindak sebagai pelatih (coach) atau penasehat (mentor). Pemimpin juga menghargai dan menerima perbedaan individu dalam hal kebutuhan dan minat.
4)        Inspirational motivation/ motivasi inspirasional
Pemimpin transformasional memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan dengan jalan mengkomunikasikan ekspektasi tinggi dan tantangan kerja yang jelas, menggunakan simbol untuk memfokuskan usaha atau tidakan, dan mengekspresikan tujuan-tujuan penting dengan cara sederhana, serta dapat membangkitan semangat tim, antusiasme dan optimisme diantara rekan.

b.             Komitmen organisasional
Komitmen organisasional adalah kemauan yang mendalam pegawai untuk melaksanakan semua hal yang berhubungan dengan kinerja organisasi. Indikator yang digunakan untuk mengukur didasarkan dari teori Ellen and Meyer (1997) antara lain:
a.       Komitmen organisasional afektif 
Perasaan cinta yang mendalam pegawai terhadap organisasinya. Item untuk mengukur indikator tersebut adalah perasaan senang bekerja dalam organisasi dan senang terlibat terlibat dalam penyelesaian tugas
b.      Komitmen organisasional normatif
Kesadaran dari dalam diri pegawai sendiri untuk terus bekerja pada organisasi tanpa diperintah. Item untuk mengukur indikator tersebut adalah kewajiban untuk melaksanakan tugas dengan baik dan penyelesaian tugas di luar tanggung jawab.
c.       Komitmen organisasional berkelanjutan
Kesadaran pegawai bahwa akibat yang harus ditanggungnya sangat besar bila memutuskan untuk meninggalkan organisasi. Item untuk mengukur indikator tersebut adalah tidak ada keinginan untuk keluar dari organisasi karena sult mendapat pekerjaan dan telah lama bekerja dalam organisasi ini.

c.              Perilaku Kewarganegaraan
Menurut Organ (1990), perilaku kewarganegaraan merupakan perilaku pegawai yang ditujukan untuk meningkatkan efektifitas kinerja tanpa mengabaikan tujuan produktifitas individual. Fokus dari konsep ini adalah mengidentifikasi perilaku pegawai yang seringkali diukur dengan menggunakan alat ukur kinerja yang tradisional. Indikator  perilaku kewarganegaraan sebagai berikut:

a.    Conscientiousness
Penilaian terhadap perilaku guru yang melebihi standar sekolah dalam hal kehadiran, kepatuhan pada aturan, istirahat dan lain-lain.
b.     Sportmanship
Penilaian terhadap keinginan guru untuk kemauan memahami kondisi sekolah dalam keadaan tertentu tanpa mengeluh.
c.   Courtessy
Penilaian terhadap perilaku guru dalam hal menghindari konflik sesama rekan kerja.
d.    Altruism
Penilaian terhadap perilaku guru dalam menolong rekan kerjanya menyelesaikan masalah sekolah.
e.    Civic Virtue
Penilaian perilaku guru dalam hal kemauannya untuk memperhatikan kelangsungan hidup sekolah.

d.             Kinerja Guru
Kinerja guru adalah berada pada tingkat kinerja yang berbeda-beda. Tingkat intensitas kinerja guru terhadap tugas baik sebagai tugas profesi maupun tugas kemanusiaan. Kinerja guru rendah, ditunjukkan dengan kepedulian terhadap siswa, waktu dan energi yang disediakan sedikit, hanya peduli terhadap satu macam pekerjaan, sedangkan guru tinggi bersedia menyediakan waktu dan energi ektra dan kepeduliannya terutama diberikan kepada siswa dan juga dilihat dari persiapan awalnya, penyajian materinya dan bagaimana memberi penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik. Indikator penilaian kinerja guru diukur dengan:
1)                   Penilaian proses belajar mengajar.
Penilaian terhadap proses belajar mengajar para guru sesuai standar kompetensi yang telah ada.
2)                   Absensi atau kehadiran guru.
Rutinitas atau tingkat kehadiran guru di seolah.
3)                   Pelaksanaan PBM sesuai dengan PAKEM.
Guru melaksanakan proses belajar mengajar sesuai dengan PAKEM.
4)                   Evaluasi akhir PBM.
Penilaian akhir setelah proses belajar mengajar
Variabel dan indikator kepemimpinan dijelaskan pada Tabel 1.


Tabel 1. Variabel dan Indikator Kepemimpinan dan Kinerja Guru
No
Variabel
Indikator
Item
1
Gaya kepemimpinan transformasional
a.       Karisma
b.      Konsideran individual
c.       Stimulasi intelektual
d.      Bimbingan

a. rasa  cinta dan percaya pada bawahan, patut dicontoh setiap saat.
b. memperhatikan faktor individual yang tidak boleh disamaratakan sesuai latar belakang.
c. menciptakan, menginterpretasikan simbol-simbol kehidupan,memecahkan masalah.
d. membimbing guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan tugas yang diembannya
2
Komitmen
Organisasional
(Ellen and Meyer, 1997)
Komitmen   organisasional
Afektif
Saya merasa senang terlibat dalam penyelesaian tugas diluar tanggung jawab saya
Komitmen   organisasional
Normatif
Saya akan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan kepada saya      
Komitmen  organisasional
Berkelanjutan
Tidak ada keinginan bagi saya untuk keluar dari organisasi,  karena telah lama bekerja dalam organisasi ini                      
3
Perilaku Kewarganegaraan
Consciencetiuousness
Saya seringkali mematuhi disiplin kerja yang berlaku  di kantor meskipun tidak ada pengawasan langsung

Sportmanship
Saya jarang mengeluh dalam bekerja meskipun pekerjaan tersebut berat untuk dikerjakan (sportmanship)

Courtessy
 Bagi saya yang penting adalah  memberikan terbaik untuk kemajuan organisasi

Altruism
Saya  seringkali membantu rekan kerja yang  mendapatkan pekerjaan banyak

Civic virtue
Saya tidak akan memanfaatkan fasilitas kantor untuk kepentingan saya pribadi  
4
Kinerja Guru
a.       Persiapan awal
b.      Persiapan program
c.       Pelaksanaan PBM
d.      Evaluasi
a. persiapan materi
b. mengacu pada program semester.
c. menyampaikan materi dan diskusi.
d. menilai hasil PBM

5.             Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.             Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari responden dan sekolah
b.             Data sekunder
Data sekunder ini diperoleh melalui  pihak lain yang berkepentingan dan berkaitan dalam penelitian ini yang meliputi data tentang guru dan gambaran umum SMA MTA Surakarta..

6.             Prosedur Pengambilan Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang harus dilakukan dalam penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai data yang dapat menjelaskan atau menjawab permasalahan penelitian. Adapun teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :
a.              Teknik Kuisioner
Metode ini merupakan suatu cara untuk mendapatkan data dengan jalan mengajukan pertanyaan tertutup secara tertulis dan dijawab dengan jawaban yang disediakan peneliti kepada responden. Kuisioner merupakan daftar yang berisi suatu rangkaian pertanyaan yang mengenai suatu hal atau mengenai suatu bidang. Menurut Koentjoroningrat (2004:173) menyatakan bahwa, “Kuisioner dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari responden”.
b.             Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mengetahui gejala peristiwa yang terjadi dalam lokasi penelitian. Menurut Nawawi (2005:133), tenik dokumentasi merupakan :
“Teknik ini adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip termasuk juga buku-buku tentang pendapat teori, dalil atau hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Oleh karena dalam setiap penelitian tidak pernah dapat dilepaskan dari literatur-literatur ilmiah, maka kegiatan studi kepustakaan ini menjadi sangat penting”.
Dokumentasi merupakan salah satu metode untuk pengumpulan informasi memperoleh data sekunder daerah penelitian. Dengan membaca dokumen dan mengadakan pencatatan melalui dokumen yang ada didaerah penelitian, maka penelti dapat mempertajam perasaan untuk meneliti serta memberikan analisis yang lebih akurat.

7.             Pengukuran Variabel
Pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2005:86) mengatakan bahwa, “Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial”.  Dalam skala Likert, variabel yang diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian indikator tersebut dijabarkan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrument yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap item yang menggunakan skala likert mempunyai penilaian dari yang bersifat sangat positif sampai sangat negatif. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan data yang telah dikumpulkan dengan memberi skor 5,4,3,2,1 yang disesuaikan dengan kriteria sebagai berikut :
a.              Jawaban a diberi skor 5
Kategori untuk jawaban a adalah : sangat setuju. Responden menjawab a apabila presentase jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 81% sampai 100%.
b.             Jawaban b diberi skor 4
Kategori untuk jawaban b adalah : setuju. Responden menjawab b apabila presentase jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 61% sampai dengan 80%.
c.              Jawaban c diberi skor 3
Kategori untuk jawaban c adalah : cukup setuju Responden menjawab c apabila presentase jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 41% sampai dengan 60%.
d.             Jawaban d diberi skor 2
Kategori untuk jawaban d adalah kurang setuju. Responden menjawab d apabila presentase jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 21% sampai dengan 40%.
e.              Jawaban e diberi skor 1
Kategori untuk jawaban e adalah sangat tidak setuju. Responden menjawab e apabila presentase jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 1% sampai dengan 20%.

8.             Tahap Pengolahan Data
Tahap pengolahan data merupakan kegiatan lebih lanjut setelah data-data dikumpulkan dengan teknik data sekunder. Menurut Umar (1999:43) data sekunder adalah, “data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan, baik oleh pengumpul data primer atau pihak lain Jadi data sekunder merupakan data yang secara tidak langsung berhubungan dengan responden yang diselidiki dan merupakan pendukung bagi penelitian yang dilakukan”. Pada tahap ini, langkah-langkah yang dilakukan adalah :
a.              Pemeriksaan data atau editing
Pemeriksaan data atau editing merupakan pemeriksaan data kembali sebelum data tersebut diolah. Editing bertujuan untuk menentukan apakah data tersebut sudah benar dan memenuhi syarat sehingga dapat digunakan pada tahap selanjutnya.
b.             Pemberian kode
Pada tahap ini dilakukan klasifikasi jawaban para responden kedalam kategori yang ada, dengan mengkodekan variabel agar lebih mudah diolah.
c.              Tabulasi data
Tabulasi data dilakukan dengan cara memasukkan data-data yang diperoleh kedalam tabel menurut jenisnya agar data-data tersebut mudah dibaca dan dihitung, sehingga diperoleh karakterisitk responden berdasarkan jawaban-jawaban yang telah diberikan melalui kuisioner.

9.             Tahap Analisis Data
Analisis data merupakan suatu langkah yang penting dalam suatu penelitian. Pemilihan metode analisis didasarkan pada jenis data yang terkumpul. Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah analisis data kuantitatif. Analisis data kuantitatif memiliki ciri khusus yaitu dapat dinilai dengan angka. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a.              Uji Instrumen Data
Untuk menguji instrumen yang digunakan dalam penggalian data pada penelitian ini, maka perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen.

1)             Uji Validitas
Uji validitas adalah esens kebenaran penelitian. Sebuah instrument dikatakan valid apabila mampu, mengukur apa yang hendak diukur serta dapat mengungkapkan data dan variabel yang akan diteliti secara tepat. Kriteria validitas yang dilakukan dengan analisis faktor (Confimatory Factor Analysis) adalah valid jika nilai Kaiser-Meyer-Oklin (KMO) > 0,5 dan Barlett’s Test dengan signifikansi < 0,05 (Ghozali, 2002:49).

2)             Uji reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat menunjukkan dipercaya atau tidak. Uji dilakukan setelah uji validitas dan dilakukan pada pernyataan yang sudah memiliki validitas. Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung Cronbach Alpha dari masing-masing item pertanyaan dalam suatu variabel (Nasution, 2001 : 23).
Dimana  :   a      = koefisien reliabilitas
r      = koefisien rata-rata korelasi antar variabel
k     = jumlah variabel dalam persamaan
Setelah menilai alpha, selanjutnya membandingkan nilai tersebut dengan angka kritis reliabilitas. Instrumen yang dipakai dalam variabel diketahui handal (reliabel) apabila memiliki Cronbach Alpha >0,60 (Ghozali, 2002:89).

b.                  Uji Normalitas Data
Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam penelitian mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji normalitas data yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (uji K-S). Data berdistribusi normal apabila hasil pengujian normalitas data diperoleh probabilitas lebih dari 0,05, sebaliknya apabila probabilitas kurang dari 0,05 maka data tersebut tidak berdistribusi normal.
   Analisis jalur merupakan bagian dari analisis regresi yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausal antar variabel di mana variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tergantung, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui satu atau lebih perantara (Sarwono, 2006:147). Hubungan langsung terjadi jika satu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya tanpa ada variabel ketiga yang memediasi (intervening) hubungan kedua variabel. Hubungan tidak langsung adalah jika ada variabel ketiga yang memediasi hubungan kedua variabel. Kemudian pada setiap variabel dependent akan ada anak panah yang menuju ke variabel lain dan berfungsi untuk menjelaskan jumlah varians yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel itu. Apabila terdapat jalur yang tidak signifikan maka diberlakukan trimming theory yaitu dengan menghilangkan atau menghapus jalur yang tidak signifikan. Kemudian dari hasil struktur yang baru tersebut dihitung kembali masing-masing koefisien jalurnya (path coefficient).
Untuk menganalisis hubungan kausal antar variabel dan menguji hipotesis dalam penelitian ini secara matematis, maka alat analisis yang digunakan yaitu analisis jalur (path analysis). Dengan path analysis akan dilakukan estimasi pengaruh kausal antar variabel dan kedudukan masing-masing variabel dalam jalur baik secara langsung maupun tidak langsung. Signifikansi model tampak berdasarkan koefisien beta (b) yang signifikan terhadap jalur.
Berikut ini adalah diagram jalur maupun koefisien jalur :
    βYX1
                                
 βZX1                              βYZ          
βZX2                              
βYX2                        
Gambar 1. Model Analisis Jalur (Path Analysis)
Keterangan :
βZX1   = koefisien jalur pengaruh X1 terhadap Z
βZX2   = koefisien jalur pengaruh X2 terhadap Z
βYX1   = koefisien jalur pengaruh X1 terhadap Y
βYX2   = koefisien jalur pengaruh X2 terhadap Y
βYZ     = koefisien jalur pengaruh Z terhadap Y
Model analisis jalur yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan dalam persamaan structural berikut (Kuncoro, 2007:116) :
Z          = β0 + βzx1 X1 + βzx2 X2 + ε ………………….(persamaan 1)
Y         = b0 + byx1 X1 + byx2 X2 + βyz Z + e …………(persamaan 2)
Dimana :
Y         = kinerja guru
Z          = perilaku kewarganegaraan
X1        = gaya kepemimpinan transformasional
X2        = komitmen organisasi
β0            = koefisien variabel bebas
e1, e2    = variabel pengganggu

c.              Uji Asumsi Klasik
1)             Uji Normalitas Model
Penggunaan regresi harus memenuhi asumsi dasar bahwa data berdistribusi normal, terpenuhinya syarat normalitas akan menjamin dapat di pertanggung jawabkan model analisis yang di gunakan, sehingga kesimpulan yang di ambil juga dapat di pertanggungjawabkan. Tujuan uji normalitas ingin mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal, yakni distribusi data dengan bentuk lonceng (bell shaped). Data yang baik adalah data yang mempunyai pola seperti distribusi normal, yakni distribusi data tersebut tidak menceng ke kiri atau menceng ke kanan. Kriteria pengujian uji normalitas adalah sebagai berikut ini :
1)             Angka signifikansi (SIG) > 0,05, maka data berdistribusi normal
2)             Angka signifikansi (SIG) < 0,05, maka tidak data berdistribusi normal

2)             Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas merupakan pengujian dari asumsi yang berkaitan bahwa antara variable-variabel bebas dalam suatu model tidak saling berkolerasi satu dengan yang lainnya. Apabila terjadi suatu multikolinearitas maka nilai parameter estimasi dari variabel tersebut tidak tertentu karena mempunyai standar eror yang tinggi sehingga parameternya secara statistik tidak signifikan.
Salah satu cara untuk melihat terjasinya multikolinearitas yaitu dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor) dengan ketentuan apabila nilai VIF > 5, maka terjadi multikolinieritas (Gujarati, 2005:299). Apabila dari model regresi yang terjadi multikolinieritas, maka ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Untuk mengatasinya yaitu dengan menghapus salah satu variable koliner, sepanjang tidak menyebabkan specification error (Yarnest, 2004:68)


3)             Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas. Dan jika varian berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi Heteroskedastisitas.
Deteksi adanya Heteroskedastisitas menurut Santoso (2002:210) ialah dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik, dimana sumbu X adalah Yyang telah di prediksi, dan sumbu X adalah Residual (Y prediksi-Y sesungguhnya) yang di unstandardized. Dasar pengambilan keputusan adalah:
1)             Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik (poin-poin) yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit) maka telah terjadi Heteroskedastisitas
2)             Jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi Heteroskedastisitas.

4)             Uji Autokorelasi
Tujuan dari uji autokorelasi adalah untuk mengetahui apakah dalam sebuah model ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi, maka model terdapat problem autokorelasi. Model harus tidak melanggar asumsi tidak ada autokorelasi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model, dapat dilihat dari besaran Durbin Watson . Pedoman mengenai angka D-W (Durbin Watson) untuk autokorelasi dijelaskan dalam Gambar 2 berikut:
Gambar 2. Pedoman Pendekteksian Autokorelasi
Sumber : Gujarati (2003:156)

Model dalam penelitian ini tidak melanggar asumsi tidak ada autokorelasi, sebab angka DW terletak pada daerah menerima Ho dan H*o artinya model linear tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya).

d.             Uji Hipotesis Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel independent (X) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependent (Y) (Priyatno, 2008:83).

t
=
b
Sb

 
Rumus :

Dimana :
t           = hasil t hitung
b          = koefisien regresi variabel bebas
Sb        = standart error variabel bebas
Kriteria pengujian :
a.       Apabila t hitung > t tabel : Ho ditolak dan Ha diterima
Hal ini berarti ada pengaruh antara variabel gaya kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasi secara parsial terhadap kinerja guru.
b.      Apabila t hitung < t tabel : Ho diterima dan Ha ditolak
Hal ini berarti tidak ada pengaruh antara variabel gaya kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasi secara parsial terhadap kinerja guru.

e.              Menghitung Jalur
Perhitungan jalur menjelaskan tentang pengaruh gaya kepemimpinan transformasional (X1) dan komitmen organisasi (X2), baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja guru (Y) melalui variabel intervening yakni perilaku kewarganegaraan (Z). Sebelum menghitung jalur, maka sebelumnya masing-masing jalur harus diuji signifikansinya. Apabila terdapat jalur yang tidak signifikan maka dilakukan trimming theory yaitu menghilangkan jalur yang tidak signifikan. Kemudian dari jalur yang baru tersebut dihitung kembali masing-masing koefisien jalurnya. Perhitungan dilakukan dengan menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung. Proses perhitungannya adalah sebagai berikut :
a.              Trimming theory adalah model yang digunakan untuk memperbaiki suatu model struktur analisis jalur dengan cara mengeluarkan dari model variabel eksogen yang koefisien jalurnya tidak signifikan. Jadi model ini terjadi ketika koefisien jalur diuji secara keseluruhan ternyata ada variabel yang tidak signifikan (Riduwan, 2007:127). Walaupun ada satu, dua, atau lebih variabel yang tidak signifikan, peneliti perlu memperbaiki model analisis jalur yang telah dihipotesiskan. Cara menggunakan Trimming Theory  yaitu menghitung ulang koefisien jalur tanpa menyertakan variabel eksogen yang koefisien jalurnya tidak signifikan. Langkah-langkah pengujian analisis jalur dengan model trimming adalah sebagai berikut (Riduwan, 2007:128) :
1)        merumuskan persamaan struktural
2)        menghitung koefisien jalur yang didasarkan pada koefisien regresi
a)      Membuat gambar diagram jalur secara lengkap
b)       Menghitung koefisen regresi untuk sub struktur yang telah dirumuskan.
3)        menghitung koefisien jalur secara simultan (keseluruhan)
4)        menghitung secara individual
5)        menguji kesesuaian anatar model analisis jalur 3
6)        merangkum ke dalam tabel
7)        memaknai dan menyimpulkan.


b.      Pengaruh Langsung (Direct Effect atau DE) :
1)   Pengaruh variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap perilaku kewarganegaraan (Z)
DEzx1 = X1 Z
2)   Pengaruh variabel komitmen organisasi (X2) terhadap perilaku kewarganegaraan (Z)
DEzx2 = X2 Z
3)   Pengaruh variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap kinerja guru (Y)
DEyx1 = X1 Y
4)   Pengaruh variabel komitmen organisasi (X2) terhadap kinerja guru (Y)
DEyx2 = X2 Y
5)   Pengaruh variabel perilaku kewarganegaraan (Z) terhadap kinerja guru (Y)
DEyz = Z Y
c.    Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effect atau IE)
1)  Pengaruh variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap perilaku kewarganegaraan (Z) dan kinerja guru (Y).
IEyzx1 = X1 ZY
2)   Pengaruh variabel komitmen organisasi (X2) terhadap perilaku kewarganegaraan (Z) dan kinerja guru (Y).
IEyzx2 = X2 → Z → Y


DAFTAR PUSTAKA
Aldag, R. dan Reschke, W. 1997. Employee Value Added: Measuring Discretionary Effort and Its Value to The Organization. Center for Organization Effectiveness.  Inc. 608/833-3332, p. 1-8.
Aleamoni . Adam G. 1981. Antecedent of Organizational Citizenship Behavior: A Studi Public of Public Personnel in Kuwait, Public Personnel Management, Fall., ABI/Inform Research. p. 303.
Alhamda,  Syukra  dan  Sanusi, Rossi. 2007. Persepsi Perilaku Kepemimpinan, Perilaku Sebagai Warga Organisasi Dan Kinerja Dosen Politeknik Kesehatan Padang  Sumetara Barat, Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Anikmah . 2008. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Survey Pada Pt. Jati Agung Arsitama Grogol Sukoharjo). Universitas Muhammadiyah Surakarta : Thesis
Arikunto, Suharsini. 2000.Manajemen Penelitian. Jakarta:Rineka Cipta
Bateman dan Organ, D. W. 1983. The Motivational Basis Of Organizational Citizenship Behavior. In: B. M. Staw dan L. L. Cummings (Eds), Research In Organizational Behavior Vol. 12, p. 43–72.
Brief. S. 1986. Organizational Spontaneity In Context. Hum. Perform., Vol. 10, p. 153-70.
Chen, Zhen Xiong and Francesco, Anne Marie. 2003. The Relationship Between the Three Component of Commitment and Employee Performance in China, Journal of Vocational Behavior, Vol. 62, p. 490-510.
Djati, S. P. 2008. Pengaruh Organizational Citizenship Behavior terhadap Persepsi Kualitas Karyawan dan Dampaknya pada Kepercayaan Konsumen Bidang jasa di Surabaya.  Accounting and Management Journal Widya Mandala University , Vol 5 (2), p 236-247.
Dyne, Van, L., Cummings, L. L. dan Parks, J. M. 1995. Extra-Role Behaviors: In Pursuit Of Construct And Dewnitionalclarity, A Bridge Over Muddled Waters. Research in Organizational Behavior. Vol. 17. p. 215–285.
Eflina, Debora Purba dan Seniati, Ali Nina Liche. 2007. Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi Terhadap Organization Citizenzhip Behavior. Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004: p. 105-111.
Allen dan Meyer 1997. Commitment In The Workplace, Theory, Research And Application. Sage Publications. Inc, California.
Gautam. Thanswor, Rolf, Van Dick, Ulrich, Wagner, Narottam, Upadhyay and Ann J. Davis. 2004. Organizational Citizenship Behavior and Organizational Commitment in Nepal.
Ghozali, Imam. 2002. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Greenberg dan Baron .1997. Organizational Spontaneity In Context. Hum. Perform., Vol. 10, p. 153-70.
Gujarati, Damodar. 2005. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga
Gurning. 2010. Hubungan Antara Komitmen Organisasi Dan Intensi Turnover Dengan Organizational Citizenship Behavior Pada Karyawan PT. Lotte Shopping Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hadari, Nawawi. 1992. Administrasi Pendidikan. FIP-UNTAN: Pontianak
Hadari, Nawawi.  2003. Kepemimpinan dan Mengefektifkan Organisasi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Ichsan, Mochamad. 1991. Efektifitas Organisasi. Malang: BP FIA-UNIBRAW
Indrawijaya, Adam. 1999. Perilaku Organisasi. Cetakan Keempat. Bandung : Penerbit Sinar Baru.
Kaihatu, Thomas S. dan Rini. 2007, Kepemimpinan Transformational  dan Pengaruhnya terhadap Kepuasan atas Kualitas Kehidupan Kerja, Komitmen Organisasi dan Perilaku Ekstra Peran: Studi pada Guru-Guru di Kota Surabaya, Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Katz .1964. The Relationship Between Personality Traits (Extraversion and Neuroticism), Emotions and Customer Self-Satisfaction. Innovative Marketing, Volume 1, Issue 2.
Martoyo, Susilo. 2000 . Manajemen Sumber Daya Edisi Keempat. Yogyakarta : BPFE
Nasution, Budi. 2001. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : UPP AMPYKPN.
Nawawi, 2000. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press
Nawawi, 2005. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press
Organ, D. W. 1988. Organizational Citizenship Behavior: The Good Soldier Syndrome. Lexington, MA: Lexington Books.
Organ, D. W. 1990. The Motivational Basis Of Organizational Citizenship  Behavior. In: B. M. Staw dan L. L. Cummings (Eds), Research In
Organ, D. W. 1988. Organizational Citizenship Behavior: The Good Soldier Syndrome. Lexington, MA: Lexington Books.
Organ, D. W. 1999. The Motivational Basis Of Organizational Citizenship  Behavior. In: B. M. Staw dan L. L. Cummings (Eds), Research In
Pattanaik, S. and Biswass, S. 2005. The Medating Role of Organizational Citizenship Behaviour Between Organizational Identification and Its Consequences, Paper.
Priyatno, Duwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta : Mediakom
Ridwan, 2007. Cara Menggunakan dan memakai analisis jalur (path analysis). Penerbit:Alfabeta. Bandung.
Robbins, S.P. 2001. Perilaku Organisasi Konsep Kontroversi Aplikasi, Edisi 8, Jilid 1, Terjemahan, Jakarta : Prehalindo.
Robbins, S.P. 2003, Perilaku Organisasi, Jilid I, Edisi 9 (Indonesia), PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Santoso, Singgih. 2002. SPSS Versi 12. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sarwono, Jonathan. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS 13. Yogyakarta : Andi
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan). Jakarta : Balai Pustaka
Shahzad, Khurram, Rehman, Kashif dan Abbas, Muhammad. 2010. HR Practices and Leadership Styles as Predictors of Employee Attitude and Behavior: Evidence from Pakistan. European Journal of Social Sciences. Vol.14. No.3, p. 413.
Siagian , S.P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan XII. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Siders. 2001, The Virtues of Omission in OCB. http:/www.goldmark.org/livia.
Simamora. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. edisi kedua. Yogyakarta: STIE YKPN
Stamper, Christina dan Lyne, Van Dyne, 2001, Work Status and Organizational Citizenship Behavior: a Field Study of Restaurant Employee. Journal of Organizational Behavior,.  No. 22, p. 517-536.
Steers, R.M., Porter & G.A. Bigley, 1996, Motivation and Leadership at Work, New York: McGraw-Hill.
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan ke-13. Alfabeta. Bandung.
Suharto, Babun. 2006. Kepemimpinan Transformasional Dalam Pendidikan (Studi Pengaruh Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional; Terhadap Kepuasan dan Kinerja Bawahan). Surabaya : AprintA.
Sunardi, S. Brahmana dan Herman, Sofyandi. 2007 Transformational Leadership dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) di Utama.  Working Paper Series No. 2 Mei.
Sunarsih. 2001. Pengaruh Pemediasian Trust Dalam  Hubungan Kepemimpinan Transformasional dan Organizational Citizenship Behavior, Jurnal Akuntansi Manajeme, Vol. XVI. Tahun1, p. 51-65
Swandari. 2003, Analisis Pengaruh gaya Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja. Karyawan, Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 4 No. 2. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Versi Online : http://www.manbisnis. tripod.com
Testa, Mark R.,  2009. National Culture, Leadership and Citizenship: Implications for Cross-Cultural Management, International Journal of  Hospitally Management,Vol.28, P. 78-85.
Thoha, Miftah. 2001. Kepemimpinan Dalam Manejemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Umar, Husein. 2001. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Tama.
Rivai, Veitzal. 2005, Performance Appraisal, Edisi Kedua,  Penerbit PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Wan, Salasiah. 2009. The Relationship Between Transformational Leadership Behaviors and Organizational Citizenship Behavior. Thesis Submitted to the Centre for Graduate Studies, Universiti Utara Malaysia, In Fulfillment of the Requirement for the Degree of Masters of Management.
Sandra, Devi. 2001. Kontribusi Komitmen Organisasional dan Kepemimpinan Transformasional Terhadap Organizational Citizenship Behavior Pada PT. Carrefour Indonesia. Thesis Universitas Semarang.
Hidayat, Taufiq dan Nina Istiadah. 2011. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 19 Untuk Mengolah Data Statistik Penelitian. Jakarta: Mediakita
Winardi, 2000, Kepemimpinan Dalam Manajemen, Jakarta : Renika Cipta.
Winardi, J. 1996. Asas-Asas Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Wiratmaja. 1995. Hubungan Antar Kepemimpinan dan Sistem Imbalan Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan PT. Pupuk Sriwijaya. Jurnal Psche.  Vol. 1 Desember
Yarnes.2004. Panduan Aplikasi Statistik. Malang: Dioma
Yukl, Gery. 1996. Kepemimpinan Dalam Organisasi Leadership  in Organisations. Jakarta. 3e
Yukl, Gery. 1998. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Jakarta.
Zang,Gillen. 2009, Leadership and Organizational Citizenship Behavior: OCB-Specific Meanings as Mediators, Springer Science Business Media.



EmoticonEmoticon