PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KOMITMEN
ORGANISASI
TERHADAP KINERJA MELALUI PERILAKU KEWARGANEGARAAN PADA GURU SMA MTA SURAKARTA
A.
Latar
Belakang Masalah
Guru merupakan elemen
kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Komponen lain yang
meliputi kurikulum, sarana-prasarana, biaya, dan sebgainya tidak akan banyak
berarti bila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik
tidak berkualitas. Semua komponen lain terutama kurikulum akan hidup apabila
dilaksanakan oleh guru.
Peran guru sangat
penting dalam mentransformasikan input-input pendidikan, sehingga banyak pakar
menyatakan bahwa di sekolah tidak akan ada perubahan atau peningkatan kualitas
tanpa adanya perubahan dan peningkatan kualitas guru. Peran guru masih kurang
mendapat penghargaan dari masyarakat Indonesia sampai saat ini peran bahkan
sering kali dipandang sebelah mata. Bahkan atasan guru seperti kepala sekolah
ataupun pengawas sekolah sekalipun tidak mudah untuk mendapatkan data dan
mengamati realitas kinerja guru di hadapan siswa. Program kunjungan kelas oleh
kepala sekolah atau pengawas tidak dapat ditolak oleh guru. Akan tetapi tidak
jarang terjadi guru berusaha menampakkan kinerja terbaiknya baik pada aspek
perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran pada saat dikunjungi. Selanjutnya
guru akan kembali bekerja seperti sedia kala, kadang tanpa persiapan yang
matang serta tanpa semangat dan antusiasme yang tinggi bahkan tidak jarang guru
mengajar tidak tepat waktu seperti datang terlambat ataupun mengakhiri proses
pembelajaran lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
Setiap guru harus
dinilai kinerjanya sehingga dapat diketahui sejauh mana proses dan hasil kerja
guru yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Kendati
demikian, evaluasi kinerja guru cenderung banyak dilakukan oleh atasannya
(kepala sekolah atau pengawas sekolah), sementara siswa jarang dilibatkan untuk
menilai kinerja gurunya.
Penilaian kinerja guru
oleh siswa merupakan salah satu teknik penilaian untuk mengidentifikasi kinerja
guru, yang hingga saat ini keberadaannya masih kontroversi. Di satu pihak, ada
sebagian orang yang berpendapat bahwa keterlibatan siswa untuk mengukur kinerja
guru kurang tepat. Berbeda dengan kepala sekolah atau pengawas sekolah yang
memang telah dibekali pengetahuan dan keterampilan bagaimana seharusnya guru
mengajar, sedangkan siswa dianggap kurang atau bahkan sama sekali tidak
memiliki kematangan dan keahlian untuk melakukan penilaian tentang gaya
mengajar guru. Selain itu, mereka menganggap bahwa siswa cenderung lebih
mengukur popularitas dari pada kemampuan guru itu sendiri.
Di lain pihak, tidak
sedikit pula yang memberikan dukungan terhadap penggunaan teknik penilaian kinerja
guru oleh siswa. Menurut Aleamoni (1981:70), teknik penilaian kinerja guru oleh
siswa, yaitu:
a.
Para siswa merupakan sumber informasi
utama tentang lingkungan belajar, termasuk di dalamnya tentang motivasi dan
kemampuan mengajar guru.
b.
Para siswa pada dasarnya dapat menilai
secara logis tentang kualitas, efektivitas, dan kepuasan dari materi dan metode
pembelajaran yang dikembangkan guru.
c.
Penilaian kinerja guru oleh siswa dapat
mendorong terjadinya komunikasi antara siswa yang bersangkutan dengan gurunya,
yang pada gilirannya dapat meningkatkan proses belajar mengajar.
d.
Dalam mata pelajaran tertentu, hasil
penilaian kinerja guru oleh siswa dapat dimanfaatkan untuk membantu siswa-siswa
lain dalam memilih mata pelajaran dan memilih guru yang sesuai dengan dirinya.
e.
Dalam pendidikan yang berorientasi pada
mutu, siswa pada dasarnya merupakan pelanggan (customer) utama yang harus didengar pendapat dan pemikirannya atas
pelayanan pendidikan yang diberikan gurunya.
Ada beberapa studi yang
dilakukan untuk persoalan ketidakmatangan siswa untuk dilibatkan dalam evaluasi
kinerja guru. Peterson dan Kauchak (1982:87) menemukan bukti bahwa evaluasi kinerja
guru oleh siswa ternyata dapat menunjukkan konsitensi dan reliabilitas yang
tinggi dari satu tahun ke tahun berikutnya. Demikian juga, siswa ternyata dapat
membedakan pengaruh pembelajaran yang efektif dan tidak efektif dilihat dari
dimensi sikap, minat dan keakraban guru.
Berdasarkan pemikiran
Aleamoni dan hasil studi yang dilakukan Peterson dan Kauchak (1982:87),
dikembangkan penilaian kinerja guru oleh siswa yang digagas oleh siswa, guru
atau kepala sekolah. Selama evaluasi kinerja ini didesain dan diadministrasikan
sesuai dengan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip evaluasi, maka data yang
dihasilkan akan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan perbaikan mutu dan efektivitas pembelajaran siswa dan kualitas
pendidikan.
Salah satu masalah
sentral dalam pembangunan sekarang adalah peningkatan mutu pendidikan di setiap
jenis dan jenjang pendidikan. Masalah mutu pendidikan tersebut tidak muncul
dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor. Di
antara sekian faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan adalah faktor guru. Guru
dalam melaksanakan tugas terutama mereka yang mengajar di sekolah seringkali
mendapat sorotan yang tidak baik dari masyarakat dan tidak jarang dijadikan
penyebab utama merosotnya mutu pendidikan. Guru sebagai tenaga profesional yang
memiliki abstraksi berpikir tinggi dan kinerja yang tinggi tidak bisa melihat
pertanggungjawaban itu sebagai suatu ancaman profesi yang dapat menuturkan
semangat untuk tidak bekerja baik. Sorotan itu harus dijadikan suatu motivasi
untuk mendapatkan lebih banyak peluang dalam mengembangkan diri demi menegakkan
citra profesi guru. Bagi guru-guru yang memiliki dedikasi dan loyalitas seperti
itu menunjukkan bahwa guru memliliki tugas mengajar artinya meskipun tugas
mereka sering dinilai tidak sesuai dengan harapan masyarakat, tetapi mereka
tetap menjalankan tugasnya dengan penuh semangat.
Buford dan Benedian
dalam Nurtjahyo (2001:24) bahwa kinerja dapat dicapai jika: (a) mampu
mengerjakan tugasnya, (b) ada keinginan melaksakan tugas, dan (c) mengerti apa
yang menjadi tugasnya. Hal ini dilakukan
agar kinerja guru dapat sennatiasa ditingkatkan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
Kinerja dapat diartikan
hasil yang diperlihatkan seseorang yang berkaitan dengan tugasnya atau
kemampuan kerja seseorang sebagai hasil dorongan perilaku kewarganegaraan yang
diperhatikan dalam bentuk tingkah laku. Kinerja guru dapat diartikan kemampuan
kerja atau kinerja yang merupakan kulminasi hasil perilaku kewarganegaraan yang
diperhatikan oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya di sekolah seperti
membuat persiapan dan menyusun program pembelajaran serta bagaimana memberikan
penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar.
Nawawi
(2000:34) mengemukakan bahwa kinerja juga berarti karya, yang dimaksud dengan
karya adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik yang bersifat
fisik/material maupun non fisik/non material. Berdasarkan batasan
ini jelaslah bahwa kinerja
adalah kesuksesan seseorang
dalam melakukan pekerjaannya menurut ukuran
yang
berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Di dalam situasi kerja bisa terjadi perbedaan kinerja seseorang dengan
orang lain. Maier (As’ad,
2001: 48) mengatakan “...perbedaan kinerja
orang tersebut terjadi karena perbedaan karakteristik dari seseorang seperti perbedaan kemampuan”.
Simamora (1997)
mengemukakan “...kinerja pegawai adalah tingkatan dimana para
pegawai mampu mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan. Penilaian
kinerja para pegawai
merupakan bagian penting
dari seluruh proses kekayaan pegawai yang bersangkutan. Pentingnya
penilaian kinerja
yang rasional dan diterapkan secara objektif terlihat pada paling sedikit dua
kepentingan, yaitu kepentingan pegawai
yang
bersangkutan sendiri dan kepentingan organisasi. Sedangkan John (1998:47)
mengemukakan bahwa aspek-aspek penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan yaitu kinerja,
tanggung jawab, kesetiaan dan pengabdian, prakarsa, kejujuran, disiplin kerja,
kerjasama, loyalitas dan kepemimpinan. Sedangkan aspek kinerja dapat dirinci
menjadi kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, kemampuan bekerja sendiri,
pemahaman dan pengenalan pekerjaan serta kemampuan memecahkan persoalan.
Kinerja
guru dapat kita lihat dalam kegiatan proses pembelajaran
yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai
pemegang peranan
utama. Proses
dalam pengertiannya di sini merupakan interaksi semua komponen
atau unsur yang
terdapat dalam pembelajaran yang satu sama lainnya saling berhubungan
(interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan.
Komponen pembelajaran antara lain menyusun program
pengajaran, termasuk merumuskan tujuan, memilih materi pelajaran,
metode
mengajar, alat
peraga, dan evaluasi sebagai
alat ukur tercapai-tidaknya tujuan.
Atas dasar lima tahapan
dalam proses pembelajaran, maka guru dituntut
untuk minimal menguasai 5 kompetensi, yakni: 1) kompetensi dalam menyusun rencana pengajaran
(RP), termasuk merumuskan tujuan;
2) kompetensi dalam menguasai
materi pelajaran; 3) kompetensi dalam memilih
dan menggunakan alat peraga; 4) kompetensi dalam memilih dan menggunakan
metode pembelajaran; 5) kompetensi dalam menyusun dan melaksanakan evaluasi keberhasilan
belajar. Kelima kompetensi minimal inilah yang hendak diukur
dalam mengetahui kinerja
guru. Pengukuran kinerja guru juga tdak lepas dari peranan kepala
sekolah sebagai pimpinan.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi kinerja guru adalah perilaku kewarganegaraan, gaya kepemimpinan
tranformasional dan komitmen organisasi. Dalam konteks perilaku keorganisasian,
yang mana seorang guru diperhadapkan oleh sejumlah tuntutan akan peran
profesinya, dan dilain pihak adanya keterbatasan yang dimilik oleh guru itu
sendiri maupun keterbatasan akan apa yang diharapkan untuk diper oleh dari
profesinya sangat berkaitan dengan salah satu dari tiga peran penting dari
seorang karyawan dalam sebuah organisasi, khususnya perilaku kewarganegaraan
atau perilaku baik warga organisasi yang populer dikenal sebagai perilaku kewarganegaraan (OCB)
atau perilaku kewarganegaraan.
Katz (1964) yang dikutip Konovsky dan Pugh (1994,
dalam Kaihatu dan Rini, 2007) mengidentifikasi “3 (tiga) kategori perilaku
pekerja, yaitu (i) individu terikat dan berada dalam suatu organisasi, dan (ii)
harus menyelesaikan peran khusus dalam suatu pekerjaan, serta (iii) harus
terikat pada aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya”.
“Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai perilaku kewarganegaraan, atau the extra-role behavior” (Pearce dan Gregersen, 1991; Wright et al., 1993, dalam Kaihatu dan Rini,
2007), dan oleh Puffer (1987, dalam Kaihatu dan Rini, 2007) diistilahkan
sebagai “prosocial behavior”, atau juga diartikan sebagai
“kewarganegaraan yang baik” (Robins, 2003:30).
Menurut Utomo (2002), perilaku kerja the extra
role sering diistilahkan sebagai “organizational citizenship behavior atau
sering juga disebut prosocial behavior, namun dari berbagai istilah
tersebut memiliki suatu pengertian yang sama, yaitu suatu perilaku kerja
karyawan yang bekerja tidak hanya pada tugasnya (in-role), tapi juga
bekerja tidak secara kontrak mendapatkan kompensasi berdasarkan sistem
penghargaan atau sistem penggajian formal (beyond the job)”.
Aldag
dan Rescke (1997), mengartikan perilaku kewarganegaraan (perilaku kewarganegaraan) sebagai
berikut:
“Perilaku
ekstra peran diartikan sebagai kontribusi seorang individu dalam bekerja,
dimana melebihi persyaratan yang ditetapkan dan penghargaan atas keberhasilan
kerja yang dijanjikan.
Kontribusi tersebut seperti perilaku menolong sesama
yang lain, kerelaan melakukan pekerjaan tambahan, menjunjung prosedur dan
aturan kerja tanpa menghiraukan permasalahan pribadi merupakan satu bentuk dari
prosocial behaviour, sebagai perilaku sosial yang positif, konstruktif,
dan suka memberi pertolongan”.
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa perilaku kewargangeraan berpengaruh signifikan terhadap
kinerja. Berdasarkan hasil
penelitian Alhamda (2007),
terlihat bahwa hubungan variabel perilaku kepemimpinan dan perilaku
kewarganegaraan pada Poltekkes
Padang belum baik, tetapi hubungan kinerja dosen sudah baik. Zang et
al. (2010) menyatakan perilaku kewarganegaraan memberikan kontribusi untuk evaluasi kinerja dan kompensasi keputusan.
Agar supaya perilaku kewarganegaraan dan kinerja ditunjukkan
dengan baik, maka keefektifan peran seorang pemimpin dalam hal ini kepala
sekolah sangatlah diperlukan. Kepemimpinan transformasional (transformational
leadership) merupakan salah-satu diantara sekian model kepemimpinan, oleh
Burns (1978, dalam Yukl, 1998:296) diartikan sebagai “sebuah proses saling
meningkatkan diantara para pemimpin dan pengikut ke tingkat moralitas dan
motivasi yang lebih tinggi’. Bass (1985;
1998, dalam Tschannen-Moran, 2003) mengistilahkan kepemimpinan transformasional
sebagai “Fours I’s”, yang meliputi “pengaruh individual (individualized
influence), motivasi inspiratif (inspirational motivation), stimulasi
intelektual (intellectual stimulation), dan pertimbangan individual (individualized
consideration)” (individualized consideration)”.
Keefektifan peran
seorang pemimpin dalam hal ini kepala sekolah sangatlah diperlukan dalam
sekolah. Bass (1985) dalam Sunarsih (2001) dan Swandari (2003) mendefinisikan
bahwa kepemimpinan sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan
dengan cara-cara tertentu. Bawahan merasa percaya, kagum, loyal dan hormat
terhadap atasannya sehingga bawahan termotivasi untuk berbuat lebih banyak dari
pada apa yang biasa dilakukan dan diharapkannya. Kepemimpinan pada prinsipnya
memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang biasa dilakukan,
dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan
yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kerja.
Faktor kepemimpinan, dari
atasan dapat memberikan pengayoman dan bimbingan kepada karyawan dalam menghadapi tugas dan lingkungan kerja yang baru. Pemimpin yang baik akan mampu menularkan optimisme dan
pengetahuan yang dimilikinya agar karyawan yang menjadi bawahannya dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Menurut Robbins (2001:56), kepemimpinan merupakan kemampuan
untuk mempengaruhi
suatu kelompok ke arah
tercapainya suatu tujuan. Fungsi
kepemimpinan adalah memandu, menuntun, membimbing, membangun, atau memberi motivasi kerja, dan membuat jaringan
komunikasi dan membawa pengikutnya kepada sasaran yang
ingin dituju dengan ketentuan waktu dan perencanaan. Sehingga setiap pimpinan akan memperlihatkan gaya
kepemimpinannya lewat ucapan, sikap tingkah lakunya yang dirasa oleh dirinya sendiri maupun orang
lain.
Penelitian tentang gaya
kepemimpinan dan kinerja dijelaksna dengan hasil temuan Widiastuti (2002) yang
menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan
terhadap kinerja. Sardju (2010) menemukan bahwa kepemimpinan kepala sekolah
berpengaruh terhadap kinerja guru.
Faktor lain yang berperan dalam
membentuk perilaku kewarganegaraan dan kinerja adalah komitmen organisasi. Dalam konteks yang
sama pula; selain peran kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah
maupun perilaku kewarganegaraan dari para guru, aspek berikutnya yang tak kalah
pentingnya adalah sikap-sikap yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri
(work-related attitudes). Greenberg dan Baron (1997:177) menyebutkan bahwa
“work-related attitudes salah satunya adalah komitmen seorang karyawan
terhadap organisasi yang mempekerjakannya”. Menurut Kreitner dan Kinicki
(2003:274) bahwa “komitmen organisasi (organizational commitment) mencerminkan
bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan
terikat dengan tujuan-tujuannya”.
Banyak
penelitian yang sudah dilakukan untuk menguji hubungan antara komitmen
organisasional dengan perilaku kewarganegaraan dan kinerja seperti yang dilakukan Chen dan
Francesco (2003) meneliti hubungan antara tiga komponen dari komitmen organisasional
dan kinerja pegawai di Cina, peneliti menemukan bahwa komitmen organisasional
afektif berpengaruh positif pada kinerja in-role
dan perilaku kewarganegaraan, sedangkan continuance commitment tidak ada
pengaruhnya dengan kinerja in-role tetapi
berpengaruh negatif pada perilaku kewarganegaraan pegawai di Cina. Gautam et al. (2004) menemukan bahwa komitmen
organisasional berpengaruh positif pada perilaku kewarganegaraan dan
komitmen organisasional berkelanjutan berpengaruh negatif pada compliance.
Tetapi dalam penelitian
Kaihatu dan Rini (2007) dalam analisisnya ditemukan bahwa komitmen organisasional tidak
berpengaruh signifikan terhadap perilaku kewarganegaraan. Penelitian yang dilakukan oleh Gurning
(2010), menemukan pengaruh signifikan antara komitmen organisasional dengan perilaku
kewarganegaraan. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian empiris yang menghubungkan antara komitmen organisasional dan perilaku
kewarganegaraan, maka diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk menguji hubungan
tersebut.
Berdasarkan latar
belakang tersebut dan kajian empiris, maka penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan
transformasional dan komitmen terhadap kinerja
melalui perilaku kewarganegaraan penting dilakukan dalam meningkatkan mutu
pendidikan subjek penelitian dan hasilnya diharapkan dapat meminimalisasi
merosotnya mutu pendidikan dengan adanya peningkatan kinerja guru sehingga
penelitian ini berjudul “Pengaruh
Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja
Melalui Perilaku Kewarganegaraan pada Guru SMA MTA Surakarta”.
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah, kinerja guru dipengaruhi leh bebaga faktor diantaranya
perilaku kepemimpinan, komitmen organisasional dan perilaku kewarganegaraan terhadap
kinerja guru. Kepemimpinan diprediksi memiliki lebih banyak pengaruh terhadap
keberhasilan kerja guru. Namun jika dielusuri esensi dari tugas dan tanggung
jawab guru MA maka ditemukan faktor yang perlu pembenahan, agar supaya tugas dan tanggung jawab guru
tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang di harapkan dan optimal. Bagi
seorang guru MA, tugas dan tanggung jawab tersebut terlihat pada aktivitas
pembelajaran dan administrasi sekolah yang dikerjakan karena adanya dorongan
dari diri sendiri dan kepala sekolah sebagai pimpinan.
Identifikasi masalah
dalam penelitian ini akan melihat pengaruh gaya kepemimpinan
transformasional dan komitmen organisasi terhadap kinerja melalui perilaku
kewarganegaraan dalam konteks organisasi sekolah sebagai
institusi pendidikan dengan subjek penelitian guru SMA MTA
Surakarta.
C.
Pembatasan
Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah diatas, ternyata masalah kinerja guru memiliki penyebab
yang sangat luas. Mengingat keterbatasan peneliti dalam waktu, dana, tenaga
maka penelitian ini dibatasi hanya pada permasalahan “gaya
kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasi terhadap kinerja melalui
perilaku kewarganegaraan”.
D.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pembatasan
masalah diatas maka dapat diperoleh suatu dasar bagi peneliti untuk dapat lebih
memfokuskan kegiatan penelitian kearah rumusan yang lebih jelas. Perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.
Apakah gaya kepemimpinan transformasional
berpengaruh terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA Surakarta?
b.
Apakah komitmen organisasi berpengaruh
terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA Surakarta?
c.
Apakah gaya kepemimpinan
transformasional berpengaruh terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta?
d.
Apakah komitmen organisasi berpengaruh
terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta?
e.
Apakah perilaku kewarganegaraan
berpengaruh terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta?
E.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini antara
lain:
a.
Untuk mengetahui pengaruh gaya
kepemimpinan transformasional terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA
Surakarta?
b.
Untuk mengetahui pengaruh komitmen
organisasi berpengaruh terhadap perilaku kewarganegaraan guru SMA MTA
Surakarta?
c.
Untuk mengetahui pengaruh gaya
kepemimpinan transformasional terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta.
d.
Untuk mengetahui pengaruh komitmen
organisasi terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta.
e.
Untuk mengetahui pengaruh perilaku
kewarganegaraan terhadap kinerja guru SMA MTA Surakarta.
F.
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
diharapkan memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu:
a.
Bagi pihak sekolah
Dapat menjadi sumber informasi bagi pimpinan
mengenai gaya kepemimpinan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi upaya
peningkatan mutu sumber daya manusia dalam usaha mewujudkan perilaku
kewarganegaraan dan kinerja guru.
b.
Bagi Akademisi
Dapat
memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu manajemen pendidikan khususnya
tentang konsep-konsep kepemimpinan dalam rangka meningkatkan perilaku
kewarganegaraan dan kinerja dalam berbagai aspek kehidupan.
c.
Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan pedoman referensi dalam penelitian
berikutnya yang lebih luas, dan mendalam khususnya tentang perilaku
kewarganegaraan dan kinerja guru.
G.
Kajian Teori
1.
Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan
adalah kualitas kemampuan pribadi yang dimiliki seseorang untuk menggerakkan
bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Siagian (2003:2), keberhasilan
suatu organisasi baik secara keseluruhan maupun kelompok dalam suatu organisasi
tertentu sangat tergantung pada kualitas kepemimpinan organisasi tersebut.
Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kelebihan berupa kepemimpinan.
Sedangkan kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mendorong
sejumlah orang agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah pada
tujuan yang sama.
Menurut
Stogdill (dalam Yukl, 1998:2), kepemimpinan didefinisikan dalam kaitan dengan
ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi,
hubungan peran, tempat pada suatu posisi administrasi serta persepsi orang
lain. Winardi (1996:47) mengemukakan
bahwa kepemimpinan merupakan suatu kemampuan
yang melekat pada seseorang yang memimpin, tergantung dari macam-macam
faktor, baik intern maupun ekstern. Adakalanya pemimpin menonjol pada satu
permasalahan namun memudar pada permasalahn yang lain.
Selain
melakukan interaksi, pemimpin harus dapat melakukan hal-hal sebagai berikut Winardi
(1996:47):
a.
memberikan inspirasi kepada bawahan,
b.
melaksanakan
pekerjaan dan mengembangkan pekerjaan,
c.
menunjukkan
pada bawahan cara melaksanakan pekerjaan,
d.
menerima tanggung jawab,
e.
menyelesaikan persoalan kerugian yang
timbul dalam tiap bagian perusahaan.
Menurut
M. Howard W. Hoyt dalam (Wiratmadja, 1995:185) kepemimpinan adalah suatu seni
untuk mempengaruhi tingkah laku manusia dan kemapuan untuk membimbing beberapa
orang kepemimpinan adalah: “Kemampuan atau kecerdasan yang mendorong sejumlah
orang/dua orang atau lebih agar bekerja sama dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama ”. Kepemimpinan dalam
kontesk non struktural dapat diartikan “Sebagai proses mempengaruhi pikiran dan
perasaan, tingkah laku dan mengarahkan semua fasilitas untuk mencapai tujuan
bersama yang telah ditetapkan bersama-sama pula dalam buku ” Kepemimpinan Dalam
Organisasi Leadership In Organisational,
kepemimpinan adalah “ sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti)
terhadap usaha kolektif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang
diinginkan untuk mencapai sasaran Yukl (1996:55).
Berdasarkan beberapa pengertian pemimpin dan
kepemimpinan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa pemimpin adalah
orang yang melaksanakan proses kepemimpinan, dan kepemimpinan adalah suatu
proses yang memberi arti yang didalamnya memiliki unsur seni, adanya kemampuan
dan kecerdasan, mempengaruhi perasaan dan pikiran, dari proses tersebut
mengakibatkan adanya kesediaan untuk melakukan suatu usaha yang diinginkan, dan
mengarahkan tercapainya suatu tujuan bersama.
2.
Teori
Kepemimpinan
Teori Kepemimpinan
yaitu pengetahuan tentang pola tingkah laku (kata-kata dan tindakan) dari
seseorang pemimpin. Banyak tokoh yang mengatakan penelitian tentang teori-teori
kepemimpinan seperti penemuan-penemuan klasik tentang kepemimpian yaitu Studi
Lowa, Pemimpin Ohio, dan Studi Kepemimpinan Michigan (Thoha, 2001:119). Ketiga
penelitian ini menjadi dasar penelitian kepemimpinan berikutnya yang
menimbulkan teori-teori tentang kepemimpinan. Menurut Suradiata (1997: 38), teori yang banyak dikenal adalah Teori Genetis, Teori
Sosial, Teori Ekologi, Teori Sifat atau Perangai yang dijelaskan sebagai berikut.
a.
Teori
Genetis, adalah kepemimpinan yang dibawa sejak lahir /telah melekat pada
dirinya sendri tanpa dibuat untuk pemimpin.
b.
Teori
Sosial merupakan kebalikan dari teori genetis yaitu kehadiran seorang pemimpin
harus diciptakan/disiapakan melalui persiapan pendidikan dan pelatihan. Dalam
teori ini ada dua faktor yang menentukan terbentuknya pemimpin yaitu pertama
karena faktor situasi kehidupan sosial, dan yang kedua adalah niat yang ada
dalam diri seseorang.
c.
Teori
Ekologis, teori ini disebut juga teori sintesis, merupakan penggabungan dari
teori genetis dan teori sosial. Seseorang akan menjadi pemimpin yang sukses
apabila sejak lahir telah memiliki bakat memimpin dan dikembangkan lagi melalui
pendidikan dan latihan-latihan.
d.
Teori
Sifat atau Perangai, seseorang menjadi pemimpin karena memiliki sifat, perilaku
dan kepribadian pemimpin.
Banyak para tokoh yang mengemukakan berbagai teori yang
tentang kepemimpinan seperti teori genetis, bahwa kepemimpinan dibawa sejak
lahir/tanpa dibuat, teori sosial mengatakan bahwa kehadiran seorang pemimpin
harus dibuat/diciptakan melalui pedidikan dan pelatihan. Teori
ekologis/sintesis yaitu penggabungan antara teori genetis dan teori sosial,
seorang akan jadi pemimpin yang sukses apabila sejak lahir memiliki bakat
memimpin dan dikembangkan lagi melalui pendidikan dan pelatihan. Ada juga teori
sifat, teori kelompok, dan teori part goal.
Berorientasi pada pengalaman-pengalaman dan mengarah pada
hasil yang lebih baik, maka kepemimpinan masa depan diharapkan lahir dari
seorang yang punya bakat memimpin yang dibina dan dikembangkan lagi melalui
pendidikan dan pelatihan, yang disebut dengan teori ekologis/teori sintesis,
merupakan penggabungan dari teori genetis dan teori sosial. Kecenderungan dalam
teori ini adalah kalau seorang yang punya bakat memimpin, pasti disertai dengan
sifat dan karakteristik tertentu, seperti sikap ramah, murah senyum, pintar
bergaul baik hati, suka menolong, dan sebagai pelopor dalam menyelesaikan
konflik/permasalahan yang terjadi baik di lingkungan keluarga maupun di
lingkungan masyarakat. Semua sikap-sikap itu ditampilkan secara alami dalam
pergaulan kesehariannya, sehingga orang menyebut bahwa dia punya bakat
memimpin. Apalagi sikap-sikap mulai itu dibina lagi dalam pendidikan dan
pelatihan, akan menimbulkan seorang pemimpin yang luwes, berbakat, berilmu dan
beretika yang menimbulkan kharismatik dan kewibawaan dalam kepemimpinan tidak
seperti fenomena-fenomena yang ada seorang pemimpin diangkat dulu jadi pemimpin
baru menerobos mengembangkan sikap-sikap mulia, seperti peramah yang dulunya
tidak ramah, menyumbang, penolong yang semua sikap itu tidak pernah dilakoni
sebelumnya, sehingga menimbulkan kepemimpinan yang kaku/kurang luwes, karena
segala sesuatu tidak didasari dengan ketulusan hati hasilnya akan gersang tanpa
makna.
3.
Fungsi dan Peran Kepemimpinan
Fungsi kepemimpinan
menunjukkan bagaimana kepemimpinan itu menepati posisi dalam suatu organisasi
sehingga dapat dipastikan bahwa tujuan-tujuan, baik individu maupun organisasi
dapat terpenuhi. Fungsi kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi dalam
kehidupan kelompok /organisasi. Oleh karena itu fungsi kepemimpinan sejalan
dengan situasi sosial yang merupakan gejala sosial yang harus diwujudkan dalam
interaksi antar individu didalam situasi sosial suatu kelompok organisasi. Terkait
dengan ini fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi yakni : Pertama, dimensi
yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan/aktifitas pemimpin, yang terlihat pada
tanggapan orang-orang dipimpinnya, dan kedua, dimensi yang berkenaan dengan
tingkat dukungan (support)
keterlibatan orang-orang yang dijalankan melalui keputusan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin (Hadari, 1992:74).
Menurut Steer, dalam
Ichsan (1991:22) mengidentifikasi beberapa fungsi kepemimpinan dalam
efektifitas organisasi, salah satunya adanya kepemimpinan dapat membantu
mempertahankan stabilitas organisasi dalam lingkungan yang bergolak, dan mampu
beradaptasi dalam lingkungan yang berubah.
Menurut Hadari (1992:75), fungsi pokok pimpinan
dibedakan menjadi 5 (lima) yakni fungsi instruktur, fungsi konsultatif, fungsi
parsitipatif, fungsi delegasi, dan fungsi pengendalian yang dijelaskan sebagai
berikut
a.
Fungsi instruktif, fungsi ini bersifat
komunikasi satu arah dimana pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi
memerintahkan pelaksanaannya pada orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai
komunikator merupakan pihak yang menentukan apa isi perintah, bagaimana dan
kapan mengerjakan, agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif.
b.
Fungsi konsultatif, fungsi ini
berlangsung / bersifat dua arah, meskipun pelaksanaannya
tergantung pada pihak pemimpin namun dalam mengambil keputusan pemimpin
memerlukan bahan pertimbangan dan konsultasi dengan orang-orang tertentu yang
dinilainya mempunyai bahan informasi yang deperlukan.
c.
Fungsi partisipasi, Fungsi ini tidak
saja berlangsung dan bersifat dua arah tetapi juga terwujud dalam pelaksanaan
hubungan manusia yang efektif antara pemimpin dengan sesama organisasi yang
dipimpin. Fungsi ini akan terwujud jika dalam komunikasi terjadi pertukaran
pendapat, gagasan dan pandangan dalam memecahkan masalah.
d.
Fungsi delegasi, fungsi ini dilaksanakan
dengan memberikan pelimpahan wewenang dalam membuat/ menetapkan keputusan, baik
melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan pimpinan. Dalam hal ini pemimpin
harus bisa memilih mana tugas yang dapat atau tidak dapat dilimpahkan, pada
orang yang di percayainya.
e.
Fungsi pengedalian, Fungsi ini cenderung
besifat komunikasi satu arah meskipun bisa dilakukan komunikasi dua arah,
fungsi ini bermaksud agar kepemimpinan ini mampu mengatur aktifitas anggotanya
secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga tercapainya tujuan bersama secara
optimal. Fungsi pengendalian dapat dilakukan melalui kegiatan bimbingan,
pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.
4.
Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan
merupakan dasar dalam membeda-bedakan berbagai tipe kepemimpinan. Gaya
kepemimpinan memiliki 3 (tiga) pola dasar dan secara terinci lagi dapat
dijabarkan menjadi 3 pola (Hadari, 2002
: 83 ), yaitu.
a.
Gaya kepemimpinan yang berpola
mementingkan pelaksanaan tugas secara efektif, efisien agar mampu mewujudkan
tujuan secara maksimal pemimpin memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakan
tugas-tugasnya tanpa campur tangan orang lain.
b.
Gaya kepemimpinan yang mementingkan
pelaksanaan hubungan kerja sama, dimana pemimpin menaruh perhatian yang besar
dan keinginan yang kuat agar setiap orang mampu menjalin kerja sama.
c.
Gaya kepemimpinan yang mementingkan
hasil yang dapat dicapai dalam mewujudkan tujuan kelompok/organisasi. Pemimpin
memiliki keinginan yang kuat agar anggota berprestasi sebesar-besarnya. Ketiga
gaya kepemimpinan tersebut di atas secara operasional tidaklah terpisah, yang
dalam kenyataannya saling mengisi satu sama lain hanya saja memiliki kecenderungan
pada titik beratnya / penekanannya yang berbeda.
Hadari (2002 : 85 )
mengatakan bahwa kombinasi dari ketiga pola dasarini timbullah perilaku
kepemimpinan, yang memiliki karakteristik masing-masing, yakni:
a.
Otokrasi (authocrat), yang memiliki karakteristik : pelaksanaan tugas
merupakan kegiatan penting, inisiati/aktivitas orang-orang yang dipimpin
dimatikan, kurang mempercayai orang lain dan kurang memperhatikan hubungan
manusiawi, kurang disenangi oleh orang yang dipimpin, sukar memberi maaf pada bawahan,
dan pendapat bahwa dipandang tidak perlu, dan orang yang dipimpin tidak
bersatu/pecah belah.
b.
Otokrasi yang disempurnakan (benevolent autocrat), dengan
karakteristik pemimpin berorientasi pada hasil, pemimpin menuntut ketaatan dan
kepatuhan, pemimpin kurang yakin pada diri sendiri sehingga timbul
kecenderungan lebih baik memanfaatkan orang lain dalam mengambil keputusan.
c.
Birokrat (bureaucrat), dengan karakteristik bekerja harus sesuai dengan semua
peraturan, menuntut pada ketaatan perintah pimpinan yang lebih tinggi dengan
mencari peraturan yang membenarkannya, pemimpin berusaha agar situasi kerja
sesuai dengan aturan-aturan teoritis untuk mewujudkan kepemimpinan formal,
kurang aktif dalam melaksanakan tugas, dan kurang menyukai orang luar/masyarakat.
d.
Pelindung dan penyelamat (missionary) dengan karakteristik :
pemimpin berkepribadian ramah dan murah senyum mengutamakan hubungan manusiawi
yang efektif berbentuk persahabatan melebihi segala-galanya, pemimpin berusaha
aktif mencegah konflik-konflik dengan orang lain.
Berdasarkan
gaya kepemimpinan dijelaskan di atas dalam prakteknya tidak bisa berdiri
sendiri melainkan dilaksanakan secara terkombinasi dan bervariasi, namun dalam
hal ini dalam merancang kepemimpinan, masa depan penekanannya pada gaya bimbingan,
gaya kerja sama dan gaya pengabdian.
5.
Gaya Kepemimpinan Transformasional
Teori kepemimpinan ini
mengacu pada kemampuan seorang pemimpin untuk memberikan pertimbangan dan
rangsangan inteektual yang individukan dan yang memiliki karisma. Dengan kata
lain, pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mampu memperhatikan
keprihatinan dan kebutuhan pengembangan diri pengikut, menggairahkan,
membangkitkan, dan mengilhami pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra untuk
memncapai tujuan kelompok. Kepemimpinan transformasional melibatkan
pengembangan hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dengan bawahan. Dengan
kepemimpinan transformasional, pemimpin membantu bawahan untuk melihat
kepentingan yang lebih penting dari pada kepentingan mereka sendiri demi misi
dan visi organisasi atau kelompok. Dengan mengeembangkan kepercayaan diri,
keefektifen dan harga diri bawahan, diharapkan pemimpin mempunyai pengaruh yang
kuat pada tingkat identifikasi, motivasi dan pencapaian tujuan pengikut.
Menurut Suharto
(2006:16), kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai hubungan antara
pemimpin dan bawahan yang sangat dekat sehingga menimbulkan emosi dan kedekatan
yang sangat lain, dan bawahan merasa hormat dan percaya pada pemimpinnya dan
termotivasi untuk bekerja lebih dari yang sebenarnya. Sedangkan menurut Leary
dalam Anikmah (2008:11), kepemimpinan transformasional adalah gaya kpemimpinan
yang digunakan oleh seseorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan
batas dan memiliki kinerja melampaui status quo
atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru.
Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat
lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan
kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap
peningkatan kinerja.
Menurut Suharto (2006:6), terdapat empat macam
komponen dalam perilaku kepemimpinan transformasional yaitu :
a. Idealized influence (charisma)/
karisma
Seorang
pemimpin transformasional memberikan contoh dan bertindak sebagai role model positif dalam perilaku,
sikap, prestasi maupun komitmen bagi bawahannya yang tercermin dalam standar
moral dan etis yang tinggi.
b. Intelctual stimulation/
stimulasi intelektual
Pemimpin
transformasional berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya
inovasi dan kreativitas. Pemimpin mendorong keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan dalam proses perumusan, masalah dan pencarian solusi.
c. Individulized consideration/
perhatian yang individualisasi
Seorang
pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap individu untuk
berprestasi dan berkembang dengan cara bertindak sebagai pelatih (coach) atau penasehat (mentor). Pemimpin
juga menghargai dan menerima perbedaan individu dalam hal kebutuhan dan minat.
d. Inspirational motivation/
motivasi inspirasional
Pemimpin
transformasional memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan dengan
jalan mengkomunikasikan ekspektasi tinggi dan tantangan kerja yang jelas,
menggunakan simbol untuk memfokuskan usaha atau tidakan, dan mengekspresikan
tujuan-tujuan penting dengan cara sederhana, serta dapat membangkitan semangat
tim, antusiasme dan optimisme diantara rekan.
Berdasarkan uraian tersebut
menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional lebih beorientasi kepada
karismatik, perhatian dan inspirasi antara pimpinan dan bawahan yang didasarkan
pada hubungan pimpnan dan bawahan.
6.
Perilaku
Kewarganegaraan
Perilaku
kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) dianggap
sebagai suatu perilaku di tempat kerja yang sesuai dengan penilaian pribadi yang melebihi persyaratan kerja dasar seseorang. Mereka
sering dijelaskan sebagai perilaku yang melebihi
permintaan tugas. Penelitian mengenai perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) secara intensif dilakukan sejak
pengenalannya hampir dua puluh tahun yang lalu (Bateman dan Organ, 1983). Mayoritas
penelitian perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) telah fokus
pada pengaruh Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) pada kinerja
individual dan organisasional.
Organ (1988) berpendapat bahwa perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) sangat penting dalam kelangsungan hidup
organisasi. Organ (1988) lebih lanjut
memperinci bahwa perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) bisa memaksimalkan efisiensi dan produktivitas
karyawan maupun organisasi yang pada
akhirnya memberi kontribusi pada pemfungsian efektif dari suatu organisasi.
Peneliti organisasional yang terkemuka
saat ini seperti Brief (1986). telah mendukung posisi Organ (1988) berkaitan dengan arti penting efektivitas perilaku
tersebut yang dia sebut sebagai perilaku
kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior).
Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) merupakan
kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja. perilaku
kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku
menolong orang lain, menjadi volunteer
untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di
tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan "nilai tambah
karyawan" yang merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu
perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag dan
Resckhe, 1997:1). Organ (1997) mendefinisikan perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)
sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau
eksplisit dengan sistem reward dan
bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi.
Sementara itu Dyne, dkk (1995) yang
mengusulkan konstruksi dari perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior), yaitu perilaku yang
menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan organisasi, secara
sukarela dan melebihi apa yang menjadi tuntutan peran. Penelitian Djati (2008:
25) menyatakan perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) adalah perilaku
karyawan yang tidak nampak baik terhadap
rekan kerja maupun terhadap perusahaan, dimana perilaku tersebut melebihi dari
perilaku standard yang ditetapkan
perusahaan dan memberikan manfaat
bagi perusahaan.
Definisi
yang
sedikit berbeda ditawarkan oleh Organ
(1999), perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) merupakan perilaku
karyawan perusahaan yang ditujukan untuk
meningkatkan efektifitas kinerja perusahaan tanpa mengabaikan tujuan
produktifitas individual karyawan. Fokus dari konsep ini adalah
mengidentifikasi perilaku karyawan yang seringkali
diukur dengan menggunakan alat ukur kinerja karyawan yang tradisional. Terdapat
beberapa elemen dalam konsep ini
yaitu (Stamper dan Dyne, 2001):
a.
Perilaku
kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) merupakan tipe
perilaku dimana karyawan menunjukkan perilaku yang melebihi permintaan perusahaan.
b.
Perilaku
kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) merupakan perilaku yang tidak nampak.
c.
Perilaku karyawan ini
tidak secara langsung mendapat penghargaan atau mudah dikenali oleh struktur perusahaan yang formal.
d.
Perilaku kewarganegaraan
(organizational citizenship behavior)
merupakan perilaku yang penting bagi peningkatan efektifitas
perusahaan.
Menurut
Organ
et.al (1990), dimensi perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)
sebagai berikut :
a. Altruism
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang
mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi
maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi
ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
b. Conscientiousness
Perilaku yang ditunjukkan
dengan berusaha melebihi yang diharapkan
perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan
merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan
tugas
c.
Sportmanship
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa
mengajukan keberatan - keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi
dalam sportmanship akan meningkatkan
iklim yang positif diantara karyawan,
karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang
lebih menyenangkan.
d.
Courtessy
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar
terhindar dari masalah - masalah interpersonal.
Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain.
e.
Civic Virtue
Perilaku yang mengindikasikan
tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi,
mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur -
prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber - sumber yang
dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah
pada tanggung jawab yang diberikan
organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang
ditekuni.
Organ et.al (1990) menambahkan dimensi perilaku
kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) dengan:
a. Peacekeeping,
yaitu tindakan-tindakan yang menghindar dan menyelesaikan terjadinya konflik
interpersonal (sebagai stabilisator dalam organisasi).
b. Cheerleading,
diartikan sebagai bantuan kepada rekan kerjanya untuk mencapai prestasi lebih
tinggi.
Perilaku
kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) yang digunakan dalam penelitian ini menindaklanjuti
teori dari Organ et al. (1990). Secara empiris dan konseptual kerja, menurut Organ et al. (1990) dimensi pembentuk Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) adalah sebagai berikut : altruism,
conscientiousness, sportsmanship, courtessy,
civic virtue, peacekeeping dan
cheerleading. Penelitian empiris selama ini hanya menganalisis
pendapat Organ et.al (1990) dengan dimensi perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior) altruism,
conscientiousness, sportsmanship, courtessy, dan civic virtue.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
mengenai pengaruh perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) terhadap kinerja organisasi (Podsakoff et.al, 2000, dalam Elfina, 2007:5),
dapat disimpulkan hasil sebagai berikut:
a.
Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) meningkatkan produktivitas rekan kerja
1)
Karyawan yang menolong rekan kerja lain
akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya
meningkatkan produktivitas rekan tersebut.
2)
Seiring dengan berjalannya waktu,
perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau
kelompok.
b.
Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior)
meningkatkan produktivitas
manajer.
1)
Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer
mendapatkan saran atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk
meningkatkan efektivitas unit kerja.
2)
Karyawan yang sopan, yang menghindari
terjadinya konflik dengan rekan kerja, akan menolong manajer terhindar dari
krisis manajemen
c. Perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)
menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan
1) Jika
karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu
pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat
memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan
2) Karyawan
yang menampilkan conscentiousness
yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer
dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti
lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih
penting.
3) Karyawan
lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja
akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut
4) Karyawan
yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong manajer tidak
menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil
karyawan
4.
Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) membantu menghemat energi sumber daya yang langka
untuk memelihara fungsi kelompok
1)
Keuntungan dari perilaku menolong adalah
meningkatkan semangat, moril (morale),
dan kerekatan (cohesiveness)
kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan
energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok.
2)
Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan
mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk
menyelesaikan konflik manajemen berkurang.
5.
Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi
kegiatan-kegiatan kelompok kerja
1)
Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan
berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi
diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kelompok.
2)
Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi
informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari
munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan
6.
Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan
mempertahankan karyawan terbaik
1)
Perilaku menolong dapat meningkatkan
moril dan keeratan serta perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok,
sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik
dan mempertahankan karyawan yang baik
2)
Memberi contoh pada karyawan lain dengan
menampilkan perilaku sportmanship
(misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan kecil) akan
menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.
7.
Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
1)
Membantu tugas karyawan yang tidak hadir
di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan
stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.
2)
Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi
secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja.
8.
Perilaku kewarganegaraan (organizational
citizenship behavior) meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi
dengan perubahan lingkungan
1)
Karyawan yang mempunyai hubungan yang
dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang
terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan
tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat.
2)
Karyawan yang secara aktif hadir dan
berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan
informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi.
3) Karyawan
yang menampilkan perilaku conscientiousness
(misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian
baru) akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi di lingkungannya.
Untuk dapat meningkatkan Organizational citizenship behaviors (OCB) karyawan maka sangat penting bagi organisasi
untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya atau meningkatnya Organizational
citizenship behaviors (OCB). Menurut
Siders et al. (2001), meningkatnya perilaku Organizational citizenship behaviors (OCB) dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor yang berasal dari dalam diri karyawan (internal) seperti moral,
motivasi, komitmen, rasa puas, sikap positif, sedangkan faktor yang berasal
dari luar karyawan (eksternal) seperti sistem
manajemen, sistem kepemimpinan, budaya perusahaan.
7.
Kinerja Guru
Guru memiliki peran yang sangat
penting dalam proses pembentukan peserta didik. Dengan adanya guru yang
berkualitas serta profesional akan berpengaruh terhadap keberhasilan dari
peserta didik serta tujuan materi ajar yang diharapkan. Kualitas dan
profesionalitas guru dapat dinilai dari kinerjanya, dalam rangka pencapaian
tujuan materi ajar serta standar pendidikan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Martoyo berpendapat bahwa kinerja
adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai kinerja
karyawan. Menurut Martoyo (2000),“faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
karyawan atau produktivitas kerja karyawan adalah motivasi, kepuasan kerja,
tingkat stres, kondisi fisik pekerjaan, sistem kompensasi, aspek-aspek ekonomi,
aspek-aspek teknis, dan perilaku lainnya”
Lower dan Porter (1968) dalam Indra Wijaya
(1989) menyebutkan bahwa kinerja guru merupakan perpaduan antara motivasi
mengajar dan kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaannya atau prestasi seorang
guru bergantung kepada keinginan untuk berprestasi dan kemampuan yang
bersangkutan melakukannya. Apabila kinerja yang dicapai guru kurang mendapat
perhatian, akan dapat berakibat pada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti
hasil kerja guru yang tidak maksimal.
Ada tiga faktor penting yang
mempengaruhi kinerja menurut Steers (1985), yaitu (1) kemampuan, kepribadian,
dan minat kerja; (2) kejelasan dan Penerimaan atas penjelasan peran seorang
pekerja; dan (3) tingkat motivasi pekerjaan.
Menurut Veitzal Rivai (2004:234)
menyatakan bahwa aspek-aspek penilaian kinerja guru dapat dikelompokkan
menjadi:
a.
Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan
pengetahuan, metode, teknik dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan
tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
b.
Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami
kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke
dalam bidang operasional perusahaan secara menyeluruh, yanng pada intinya
individu tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggungjawabnya sebagai seorang
karyawan.
c.
Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu kemampuan
untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi siswa.
Berdasarkan berbagai definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa kinerja guru merupakan hasil kerja baik berupa
pencapaian tujuan pendidikan yang dapat diselesaikan seorang guru dalam kurun
waktu tertentu. Penilaian kinerja guru dapat dilihat dari segi teknis, yaitu
kemampuan dalam pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan. Kemampuan
konseptual merupakan kemampuan memahami bidang kerja dalam lingkup pembagian
tugasnya yang meliputi tugas, fungsi, serta tanggung jawab seorang guru dalam
melakukan tugasnya.
H.
Hasil
Penelitian Sebelumnya
Penelitian
tentang kepemimpinan telah banyak dilakukan sebelumnya. Nurtjahyo (2000)
melakukan penelitian tentang gaya kepemimpinan transformasional. Dalam
penelitiannya ditemukan bahwa perilaku kepemimpinan kepala sekolah mempunyai
efek langsung terhadap kinerja guru sebesar 71,02%. Penelitian yang dilakukan
oleh Nurtjahyo (2000) mengindikasikan bahwa gaya kepemimpinan transformasional
memberikan dampak yang positif dalam mengembangkan kualitas kinerja guru.
Kepemimpinan transformasional kepala sekolah SLTP
dan korelasinya dengan manajemen instruksional di beberapa sekolah di
Yogyakarta, dengan pendekatan dua model, secara umum hasil studi dapat
disimpulkan sebagai berikut : (1). Data yang dikumpulkan dari dua sumber
berdasarkan penilaian kepala sekolah dan penilaian guru terhadap kepala
sekolah, dalam bentuk dan materi penyataan yang reratif sama, menunjukkan bahwa
kepala sekolah cenderung menilai diri sendiri lebih tinggi jika di bandingkan
persepsi yang di berikan oleh guru, kepala sekolah memperoleh nilai
kepemimpinan transformasional yang cukup tinggi.
Penelitian Kaihatu
dan Rini (2007) bertujuan untuk menguji hubungan
langsung maupun tidak langsung dari sebuah model multidimensional mengenai pengaruh
kepemimpinan transformasional terhadap perilaku kewarganegaraan yang dimediasi oleh kepuasan kualitas kehidupan kerja
dan komitmen organisasional sebagai variabel antesedennya. Populasi dalam
pelaksanaan penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Menengah Umum (SMU) di kota
Surabaya, yang tersebar disepuluh sekolah dengan jumlah 465 orang guru. Teknik
pengambilan sampelnya adalah convinience
sampling, yaitu suatu metode pemilihan sampel yang dipilih dari elemen
populasi yang datanya mudah diperoleh peneliti. Maka jumlah sampelnya adalah 211 guru SMU di kota Surabaya. Alat
analisis yang digunakan adalah path
analisys. Dalam penelitian ini, secara signifikan kepuasan akan kualitas
kehidupan kerja memediasi kepemimpinan transformasional terhadap perilaku
kewarganegaraan, sebaliknya komitmen
organisasional ditemukan tidak signifikan. Penerapan kepemimpinan trasformasional
dari kepala sekolah meningkatkan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja, dan
hal ini cenderung akan meningkatkan perilaku kewarganegaraan para guru.
Shahzad et al. (2010)
melakukan penelitian yang berdasarkan fenomena praktik sumber daya manusia dan
gaya kepemimpinan pada sektor universitas swasta. Tujuan penelitian ini antara
lain untuk menguji praktik sumberdaya manusia dan gaya kemimpinan terhadap
komitmen organisasional dan perilaku kewarganegaraan dosen di universitas swasta. Populasi penelitian
adalah dosen di seluruh universitas swasta di Islamabad Pakistan. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan metode quota sampling sehingga terpilih 200 dosen dari tiga universitas
negeri dan tiga universitas swasta. Metode analisis data menggunakan regresi
linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh positif antara
praktik sumber daya manusia dan gaya kepemimpinan terhadap komitmen organisasional tetapi tidak
berpengaruh terhadap perilaku kewarganegaraan.
Penelitian Wan
(2009) bertujuan untuk menguji pengaruh
antara kepemimpinan transformasional dan perilaku
kewarganegaraan. Dimensi kepemimpinan transformasional adalah pengaruh ideal, motivasi
dan pertimbangan individu. Selain itu untuk mengetahui perbedaan perilaku kewarganegaraan berdasarkan masa jabatan, jenis jabatan dan
tempat bertugas. Responden terdiri dari 90 pegawai di kerajaan Malaysia yang
terletak di Kuala Lumpur. Metode analisis data yang digunakan adalah uji ANOVA,
uji korelasi Pearson dan uji regresi
linear berganda dengan SPSS versi 15. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan signifikan antara kepemimpinan transformasional dan perilaku kewarganegaraan. Selain itu terdapat perbedaan signifikan antara
masa kerja dan jabatan.
Gurning (2010) melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasional dan intensi turnover
dengan perilaku kewarganegaraan pada
pegawai. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang signifikan
antara komitmen organisasional dan
intensi turnover dengan perilaku
kewarganegaraan pada pegawai, ada hubungan positif dan signifikan
antara komitmen organisasional dengan perilaku kewarganegaraan pada
pegawai, ada hubungan negatif dan signifikan antara intensi turnover dengan
perilaku kewarganegaraan pada
pegawai. Subjek penelitian ini adalah pegawai tetap yang telah bekerja minimal
satu tahun di PT Lotte Shopping Indonesia. Sampel dalam penelitian ini
sebanyak 31 pegawai. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposive
random sampling. Hasil penelitiannya
adalah ada hubungan yang signifikan antara
komitmen organisasional dan intensi turnover dengan perilaku kewarganegaraan pada
pegawai. Dalam penelitian ini komitmen
organisasional dan intensi turnover secara bersama-sama memberi pengaruh
efektif terhadap perilaku
kewarganegaraan.
Pattanaik
dan Biswas (2005), mendapati bahwa OCB memiliki dampak yang positif terhadap kinerja individu, dan kinerja
individu selanjutnya memiliki dampak positif terhadap efektifitas organisasi.
Berdasarkan
beberapa penelitian sebelumny, dibuktikan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional, komitmen organisasi, perilaku kewargangeraan berpengaruh
tehadap kinerja.
I.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan
penelitian terdahulu, maka akan dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut.
H1: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap
perilaku kewarganegaraan.
H2: Komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap perilaku
kewarganegaraan.
H3: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan
terhadap kinerja.
H4: Komitmen organisasi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
H5: Gaya kepemimpinan transform perilaku kewarganegaraan asional
berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
J.
Metode Penelitian
Metode adalah salah
satu cara prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah sistematis. Penelitian pada umumnya bertujuan untuk mengetahui
dan menemukan sesuatu yang baru tentang suatu masalah atau fenomena yang
terjadi pada suatu objek. Dalam melakukan penelitian diperlukan langkah-langkah
yang tersusun secara sistematis untuk mendapatkan data sehingga tujuan
penelitian dapat tercapai. Menurut Sugiyono (2004:4) menyatakan bahwa metode
penelitian adalah “Cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat
ditemukan, dibuktikan dan dikembangkan suatu pengetahuan sehingga pada
gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi
masalah”.
1.
Jenis
Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan
sebelumnya, maka jenis penelitian ini adalah
survey eksplanatoris atau explanatory
research, yaitu penelitian penjelasan yang menyoroti tentang hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah
dirumuskan sebelumnya.
2.
Populasi
dan Sampel
a.
Populasi
Populasi dalam setiap
penelitian harus disebutkan secara tersurat, yaitu yang berkenaan dengan
besarnya anggota populasi serta wilayah penelitian yang dicakup. Menurut
Sugiyono (2005:72), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas atau karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan”.
Populasi subjek yang diperhitungkan adalah individu-individu yang melaksanakan
kepemimpinan di SMA MTA Surakarta, yaitu kepala sekolah dan guru sebagai
responden.
b.
Sampel
Sampel adalah “
sebagaian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu “
Sudjana, (2002 : 161). Sampel adalah “ sebagaian atau wakil populasi yang
diteliti “ Arikunto, (2002 : 109). Berdasarkan karakteristik subjek di dalam
populasi bersifat homogen, maka akan dilakukan penelitian sampel, penelitian
sampel baru boleh dilaksanakan ” apabila keadaan subjek di dalam populasi
benar-benar homogen ” Arikunto, (2002:110).
Tehnik ini dipilih,
karena pengambilan sampel memperhitungkan banyaknya guru dari masing-masing
sekolah, mengingat jumlah guru untuk tiap-tiap sekolah tidak sama. Hal ini dimaksudkan agar karakteristik populasi terwakil
secara optimal di dalam sampel. Jika tidak, semakin bersarlah kemungkinan
kekeliruan dalam menggeneralisasikan kesimpulan-kesimpulan peneliti Suryabrata,
(1983 : 89)
Untuk menentukan besarnya sampel yang akan di jadikan
subjek penelitian, digunakan populasi yang besarnya 60 orang. Sampel penelitian menggunakan metode sensus diperoleh jumlah
sampel 60 orang.
3.
Identifikasi
Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini
antara lain:
1) Variabel
independen yaitu gaya kepemimpinan transformasional (X1) dan
komitmen organisasi (X2)
2) Variabel
intervening adalah perlaku
kewarganegaraan (Z)
3) Variabel
dependen adalah kinerja (Y)
4.
Definisi
Operasioal
a.
Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan tranformasional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan yang sangat dekat hingga
menimbulkan emosi dan kedekatan yang sangat kuat, dan bawahan merasa hormat dan
percaya kepada pemimpinnya dan terperilaku ekstra peran untuk bekerja lebih
dari yang sebenarnya. Indikator kepemimpinan transaksional antara lain Suharto (2006:6):
1)
Idealized
influence (charisma)/ karisma
Seorang
pemimpin transformasional memberikan contoh dan bertindak sebagai role model positif dalam perilaku,
sikap, prestasi maupun komitmen bagi bawahan yang tercermin dalam standar moral
dan etis yang tinggi.
2)
Intelctual
stimulation/ stimulasi intelektual
Pemimpin
transformasional berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya
inovasi dan kreativitas. Pemimpin mendorong keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan dalam proses perumusan, masalah dan pencarian solusi.
3)
Individulized
consideration/ perhatian yang individualisasi
Seorang
pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap individu untuk
berprestasi dan berkembang dengan cara bertindak sebagai pelatih (coach) atau
penasehat (mentor). Pemimpin juga menghargai dan menerima perbedaan individu
dalam hal kebutuhan dan minat.
4)
Inspirational
motivation/ motivasi inspirasional
Pemimpin
transformasional memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan dengan
jalan mengkomunikasikan ekspektasi tinggi dan tantangan kerja yang jelas,
menggunakan simbol untuk memfokuskan usaha atau tidakan, dan mengekspresikan
tujuan-tujuan penting dengan cara sederhana, serta dapat membangkitan semangat
tim, antusiasme dan optimisme diantara rekan.
b.
Komitmen organisasional
Komitmen
organisasional adalah kemauan yang mendalam pegawai untuk melaksanakan semua hal yang berhubungan dengan kinerja organisasi. Indikator
yang digunakan untuk mengukur didasarkan dari
teori Ellen and Meyer (1997) antara lain:
a.
Komitmen organisasional
afektif
Perasaan cinta yang
mendalam pegawai terhadap organisasinya. Item
untuk mengukur indikator tersebut adalah
perasaan senang bekerja dalam organisasi dan senang terlibat terlibat dalam
penyelesaian tugas
b.
Komitmen organisasional
normatif
Kesadaran dari dalam diri pegawai
sendiri untuk terus bekerja pada organisasi tanpa diperintah. Item untuk mengukur indikator tersebut adalah kewajiban untuk melaksanakan tugas dengan baik dan
penyelesaian tugas di luar tanggung jawab.
c.
Komitmen organisasional
berkelanjutan
Kesadaran pegawai bahwa akibat yang
harus ditanggungnya sangat besar bila memutuskan
untuk meninggalkan organisasi. Item untuk mengukur indikator tersebut adalah
tidak ada keinginan untuk keluar dari
organisasi karena sult mendapat pekerjaan dan telah lama bekerja dalam organisasi ini.
c.
Perilaku Kewarganegaraan
Menurut Organ
(1990), perilaku kewarganegaraan merupakan
perilaku pegawai yang ditujukan untuk
meningkatkan efektifitas kinerja tanpa mengabaikan tujuan produktifitas individual. Fokus dari konsep ini adalah mengidentifikasi
perilaku pegawai yang seringkali
diukur dengan menggunakan alat ukur kinerja yang tradisional. Indikator perilaku
kewarganegaraan sebagai
berikut:
a. Conscientiousness
Penilaian terhadap perilaku guru yang
melebihi standar sekolah dalam hal kehadiran,
kepatuhan pada aturan, istirahat dan lain-lain.
b. Sportmanship
Penilaian terhadap keinginan guru untuk kemauan memahami
kondisi sekolah dalam keadaan tertentu tanpa mengeluh.
c. Courtessy
Penilaian terhadap perilaku guru dalam hal menghindari
konflik sesama rekan kerja.
d. Altruism
Penilaian terhadap perilaku guru dalam menolong rekan kerjanya menyelesaikan
masalah sekolah.
e. Civic Virtue
Penilaian perilaku guru dalam hal kemauannya untuk
memperhatikan kelangsungan hidup sekolah.
d.
Kinerja
Guru
Kinerja guru adalah berada pada tingkat kinerja yang berbeda-beda. Tingkat
intensitas kinerja guru terhadap tugas baik sebagai tugas profesi maupun tugas
kemanusiaan. Kinerja guru rendah, ditunjukkan dengan kepedulian terhadap siswa,
waktu dan energi yang disediakan sedikit, hanya peduli terhadap satu macam
pekerjaan, sedangkan guru tinggi bersedia menyediakan waktu dan energi ektra
dan kepeduliannya terutama diberikan kepada siswa dan juga dilihat dari
persiapan awalnya, penyajian materinya dan bagaimana memberi penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
peserta didik. Indikator penilaian kinerja guru diukur
dengan:
1)
Penilaian proses belajar mengajar.
Penilaian
terhadap proses belajar mengajar para guru sesuai standar kompetensi yang telah
ada.
2)
Absensi atau kehadiran guru.
Rutinitas
atau tingkat kehadiran guru di seolah.
3)
Pelaksanaan PBM sesuai dengan PAKEM.
Guru
melaksanakan proses belajar mengajar sesuai dengan PAKEM.
4)
Evaluasi akhir PBM.
Penilaian akhir setelah
proses belajar mengajar
Variabel dan indikator
kepemimpinan dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel
1.
Variabel dan Indikator Kepemimpinan dan Kinerja Guru
No
|
Variabel
|
Indikator
|
Item
|
1
|
Gaya kepemimpinan transformasional
|
a.
Karisma
b.
Konsideran individual
c. Stimulasi intelektual
d. Bimbingan
|
a.
rasa cinta dan percaya pada bawahan,
patut dicontoh setiap saat.
b. memperhatikan faktor
individual yang tidak boleh disamaratakan sesuai latar belakang.
c.
menciptakan, menginterpretasikan simbol-simbol kehidupan,memecahkan masalah.
d.
membimbing guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan tugas yang diembannya
|
2
|
Komitmen
Organisasional
(Ellen and Meyer, 1997)
|
Komitmen organisasional
Afektif
|
Saya merasa senang terlibat dalam penyelesaian tugas diluar
tanggung jawab saya
|
Komitmen organisasional
Normatif
|
Saya akan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan
kepada saya
|
||
Komitmen organisasional
Berkelanjutan
|
Tidak ada keinginan bagi saya untuk keluar dari
organisasi, karena telah lama bekerja
dalam organisasi ini
|
||
3
|
Perilaku Kewarganegaraan
|
Consciencetiuousness
|
Saya seringkali mematuhi disiplin kerja yang berlaku di kantor meskipun tidak ada pengawasan
langsung
|
Sportmanship
|
Saya jarang mengeluh dalam bekerja meskipun pekerjaan
tersebut berat untuk dikerjakan (sportmanship)
|
||
Courtessy
|
Bagi saya yang
penting adalah memberikan terbaik
untuk kemajuan organisasi
|
||
Altruism
|
Saya seringkali
membantu rekan kerja yang mendapatkan
pekerjaan banyak
|
||
Civic virtue
|
Saya tidak akan memanfaatkan fasilitas kantor untuk
kepentingan saya pribadi
|
||
4
|
Kinerja Guru
|
a. Persiapan
awal
b. Persiapan
program
c. Pelaksanaan
PBM
d. Evaluasi
|
a.
persiapan materi
b.
mengacu pada program semester.
c. menyampaikan materi dan
diskusi.
d. menilai hasil PBM
|
5.
Jenis
dan Sumber Data
Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.
Data Primer
Data
primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari responden dan sekolah
b.
Data sekunder
Data sekunder ini
diperoleh melalui pihak lain yang
berkepentingan dan berkaitan dalam penelitian ini
yang meliputi data tentang guru dan gambaran umum SMA
MTA Surakarta..
6.
Prosedur
Pengambilan Data
Pengumpulan data
merupakan langkah yang harus dilakukan dalam penelitian untuk mendapatkan
informasi mengenai data yang dapat menjelaskan atau menjawab permasalahan
penelitian. Adapun teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam teknik pengumpulan
data adalah sebagai berikut :
a.
Teknik Kuisioner
Metode ini merupakan suatu cara untuk mendapatkan data
dengan jalan mengajukan pertanyaan tertutup secara tertulis dan dijawab dengan
jawaban yang disediakan peneliti kepada responden. Kuisioner merupakan daftar
yang berisi suatu rangkaian pertanyaan yang mengenai suatu hal atau mengenai
suatu bidang. Menurut Koentjoroningrat (2004:173) menyatakan bahwa, “Kuisioner
dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa
jawaban-jawaban dari responden”.
b.
Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mengetahui gejala
peristiwa yang terjadi dalam lokasi penelitian. Menurut Nawawi (2005:133),
tenik dokumentasi merupakan :
“Teknik ini adalah mengumpulkan data melalui peninggalan
tertulis terutama berupa arsip-arsip termasuk juga buku-buku tentang pendapat
teori, dalil atau hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah
penyelidikan. Oleh karena dalam setiap penelitian tidak pernah dapat dilepaskan
dari literatur-literatur ilmiah, maka kegiatan studi kepustakaan ini menjadi
sangat penting”.
Dokumentasi merupakan salah satu metode untuk pengumpulan
informasi memperoleh data sekunder daerah penelitian. Dengan membaca dokumen
dan mengadakan pencatatan melalui dokumen yang ada didaerah penelitian, maka
penelti dapat mempertajam perasaan untuk meneliti serta memberikan analisis
yang lebih akurat.
7.
Pengukuran
Variabel
Pengukuran variabel
dalam penelitian ini menggunakan skala Likert.
Menurut Sugiyono (2005:86) mengatakan bahwa, “Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial”. Dalam skala Likert, variabel yang diukur dijabarkan menjadi indikator variabel,
kemudian indikator tersebut dijabarkan sebagai titik tolak untuk menyusun
item-item instrument yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban
setiap item yang menggunakan skala likert mempunyai penilaian dari yang
bersifat sangat positif sampai sangat negatif. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan data yang telah dikumpulkan dengan memberi skor 5,4,3,2,1 yang
disesuaikan dengan kriteria sebagai berikut :
a.
Jawaban a diberi skor 5
Kategori
untuk jawaban a adalah : sangat setuju. Responden menjawab a apabila presentase
jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 81% sampai 100%.
b.
Jawaban b diberi skor 4
Kategori
untuk jawaban b adalah : setuju. Responden menjawab b apabila presentase
jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 61% sampai dengan 80%.
c.
Jawaban c diberi skor 3
Kategori
untuk jawaban c adalah : cukup setuju Responden menjawab c apabila presentase
jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 41% sampai dengan 60%.
d.
Jawaban d diberi skor 2
Kategori
untuk jawaban d adalah kurang setuju. Responden menjawab d apabila presentase
jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 21% sampai dengan 40%.
e.
Jawaban e diberi skor 1
Kategori
untuk jawaban e adalah sangat tidak setuju. Responden menjawab e apabila
presentase jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah 1% sampai dengan 20%.
8.
Tahap
Pengolahan Data
Tahap pengolahan data
merupakan kegiatan lebih lanjut setelah data-data dikumpulkan dengan teknik
data sekunder. Menurut Umar (1999:43) data sekunder adalah, “data primer yang
telah diolah lebih lanjut dan disajikan, baik oleh pengumpul data primer atau
pihak lain Jadi data sekunder merupakan data yang secara tidak langsung
berhubungan dengan responden yang diselidiki dan merupakan pendukung bagi
penelitian yang dilakukan”. Pada tahap ini, langkah-langkah yang dilakukan
adalah :
a.
Pemeriksaan data atau editing
Pemeriksaan
data atau editing merupakan
pemeriksaan data kembali sebelum data tersebut diolah. Editing bertujuan untuk menentukan apakah data tersebut sudah benar
dan memenuhi syarat sehingga dapat digunakan pada tahap selanjutnya.
b.
Pemberian kode
Pada
tahap ini dilakukan klasifikasi jawaban para responden kedalam kategori yang
ada, dengan mengkodekan variabel agar lebih mudah diolah.
c.
Tabulasi data
Tabulasi
data dilakukan dengan cara memasukkan data-data yang diperoleh kedalam tabel
menurut jenisnya agar data-data tersebut mudah dibaca dan dihitung, sehingga
diperoleh karakterisitk responden berdasarkan jawaban-jawaban yang telah
diberikan melalui kuisioner.
9.
Tahap
Analisis Data
Analisis data merupakan
suatu langkah yang penting dalam suatu penelitian. Pemilihan metode analisis
didasarkan pada jenis data yang terkumpul. Dalam penelitian ini, metode
analisis yang digunakan adalah analisis data kuantitatif. Analisis data
kuantitatif memiliki ciri khusus yaitu dapat dinilai dengan angka. Metode
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Uji Instrumen
Data
Untuk menguji
instrumen yang digunakan dalam penggalian data pada penelitian ini, maka perlu
dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen.
1)
Uji Validitas
Uji validitas adalah esens kebenaran penelitian. Sebuah instrument dikatakan valid apabila
mampu, mengukur apa yang hendak diukur serta dapat mengungkapkan data dan
variabel yang akan diteliti secara tepat. Kriteria validitas yang dilakukan
dengan analisis faktor (Confimatory Factor Analysis) adalah valid jika nilai Kaiser-Meyer-Oklin
(KMO) > 0,5 dan Barlett’s Test dengan signifikansi < 0,05 (Ghozali, 2002:49).
2)
Uji reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat menunjukkan dipercaya atau
tidak. Uji dilakukan setelah uji validitas dan dilakukan pada pernyataan yang
sudah memiliki validitas. Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan
dengan menghitung Cronbach Alpha dari
masing-masing item pertanyaan dalam suatu variabel (Nasution, 2001 : 23).
Dimana : a = koefisien reliabilitas
r = koefisien rata-rata korelasi antar
variabel
k = jumlah variabel dalam persamaan
Setelah menilai
alpha, selanjutnya membandingkan nilai tersebut dengan angka kritis
reliabilitas. Instrumen
yang dipakai dalam variabel diketahui handal (reliabel) apabila memiliki Cronbach
Alpha >0,60 (Ghozali, 2002:89).
b.
Uji Normalitas
Data
Uji
normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam
penelitian mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji normalitas data yang
digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov
(uji K-S). Data berdistribusi normal apabila hasil pengujian normalitas data
diperoleh probabilitas lebih dari 0,05, sebaliknya apabila probabilitas kurang
dari 0,05 maka data tersebut tidak berdistribusi normal.
Analisis jalur merupakan bagian dari analisis regresi
yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausal antar variabel di mana
variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tergantung, baik secara langsung
maupun tidak langsung, melalui satu atau lebih perantara (Sarwono, 2006:147).
Hubungan langsung terjadi jika satu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya
tanpa ada variabel ketiga yang memediasi (intervening)
hubungan kedua variabel. Hubungan tidak langsung adalah jika ada variabel
ketiga yang memediasi hubungan kedua variabel. Kemudian pada setiap variabel
dependent akan ada anak panah yang menuju ke variabel lain dan berfungsi untuk
menjelaskan jumlah varians yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel itu.
Apabila terdapat jalur yang tidak signifikan maka diberlakukan trimming theory yaitu dengan
menghilangkan atau menghapus jalur yang tidak signifikan. Kemudian dari hasil
struktur yang baru tersebut dihitung kembali masing-masing koefisien jalurnya (path coefficient).
Untuk menganalisis hubungan kausal antar variabel dan menguji hipotesis
dalam penelitian ini secara matematis, maka alat analisis yang digunakan yaitu
analisis jalur (path analysis). Dengan
path analysis akan dilakukan estimasi
pengaruh kausal antar variabel dan kedudukan masing-masing variabel dalam jalur
baik secara langsung maupun tidak langsung. Signifikansi model tampak
berdasarkan koefisien beta (b) yang signifikan terhadap jalur.
Berikut ini adalah diagram jalur maupun koefisien jalur :
βYX1
βZX1 βYZ
βZX2
βYX2
Gambar 1. Model Analisis Jalur (Path
Analysis)
Keterangan :
βZX1 = koefisien jalur
pengaruh X1 terhadap Z
βZX2 = koefisien jalur
pengaruh X2 terhadap Z
βYX1 = koefisien jalur
pengaruh X1 terhadap Y
βYX2 = koefisien jalur
pengaruh X2 terhadap Y
βYZ = koefisien jalur pengaruh Z
terhadap Y
Model analisis jalur yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan
dalam persamaan structural berikut (Kuncoro, 2007:116) :
Z = β0 +
βzx1 X1
+ βzx2 X2
+ ε ………………….(persamaan 1)
Y = b0 + byx1 X1 + byx2 X2
+ βyz Z
+ e …………(persamaan 2)
Dimana :
Y = kinerja guru
Z = perilaku
kewarganegaraan
X1 = gaya kepemimpinan transformasional
X2 = komitmen organisasi
β0 = koefisien variabel bebas
e1, e2 = variabel
pengganggu
c.
Uji Asumsi Klasik
1)
Uji Normalitas Model
Penggunaan regresi harus memenuhi asumsi dasar bahwa data berdistribusi
normal, terpenuhinya syarat normalitas akan menjamin dapat di pertanggung
jawabkan model analisis yang di gunakan, sehingga kesimpulan yang di ambil juga
dapat di pertanggungjawabkan. Tujuan uji normalitas ingin mengetahui apakah
distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal, yakni
distribusi data dengan bentuk lonceng (bell
shaped). Data yang baik adalah data yang mempunyai pola seperti distribusi
normal, yakni distribusi data tersebut tidak menceng ke kiri atau menceng ke
kanan. Kriteria pengujian uji normalitas adalah sebagai berikut ini :
1)
Angka signifikansi (SIG) >
0,05, maka data berdistribusi normal
2)
Angka signifikansi (SIG) <
0,05, maka tidak data berdistribusi normal
2)
Uji Multikolinearitas
Uji
multikolinearitas merupakan pengujian dari asumsi yang berkaitan bahwa antara
variable-variabel bebas dalam suatu model tidak saling berkolerasi satu dengan
yang lainnya. Apabila terjadi suatu multikolinearitas maka nilai parameter
estimasi dari variabel tersebut tidak tertentu karena mempunyai standar eror
yang tinggi sehingga parameternya secara statistik tidak signifikan.
Salah satu cara
untuk melihat terjasinya multikolinearitas yaitu dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor) dengan
ketentuan apabila nilai VIF > 5, maka terjadi multikolinieritas (Gujarati,
2005:299). Apabila dari model regresi yang terjadi multikolinieritas, maka ada
beberapa langkah yang harus dilakukan. Untuk mengatasinya yaitu dengan
menghapus salah satu variable koliner, sepanjang tidak menyebabkan specification error (Yarnest, 2004:68)
3)
Uji Heteroskedastisitas
Uji
Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi
terjadi ketidaksamaan varian dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika varian dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang
lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas. Dan jika varian berbeda disebut
Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi
Heteroskedastisitas.
Deteksi adanya
Heteroskedastisitas menurut Santoso (2002:210) ialah dengan melihat ada
tidaknya pola tertentu pada grafik, dimana sumbu X adalah Yyang telah di
prediksi, dan sumbu X adalah Residual (Y prediksi-Y sesungguhnya) yang di unstandardized. Dasar pengambilan
keputusan adalah:
1)
Jika ada pola tertentu,
seperti titik-titik (poin-poin) yang ada membentuk suatu pola tertentu yang
teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit) maka telah terjadi
Heteroskedastisitas
2)
Jika tidak ada pola
yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y
maka tidak terjadi Heteroskedastisitas.
4)
Uji Autokorelasi
Tujuan
dari uji autokorelasi adalah untuk mengetahui apakah dalam sebuah model ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada
periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi, maka model terdapat problem
autokorelasi. Model harus tidak melanggar asumsi tidak ada autokorelasi. Untuk
mendeteksi adanya autokorelasi dalam model, dapat dilihat dari besaran Durbin
Watson . Pedoman mengenai angka D-W (Durbin Watson) untuk autokorelasi
dijelaskan dalam Gambar 2
berikut:

Gambar 2. Pedoman Pendekteksian
Autokorelasi
Sumber : Gujarati (2003:156)
Model
dalam penelitian ini tidak melanggar asumsi tidak ada autokorelasi, sebab angka
DW terletak pada daerah menerima Ho dan H*o artinya model linear tidak ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada
periode t-1 (sebelumnya).
d.
Uji Hipotesis Uji t
Uji t digunakan untuk
mengetahui apakah dalam model regresi variabel independent (X) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependent (Y) (Priyatno, 2008:83).
|
Rumus :
Dimana :
t =
hasil t hitung
b =
koefisien regresi variabel bebas
Sb =
standart error variabel bebas
Kriteria pengujian :
a. Apabila
t hitung > t tabel : Ho ditolak dan Ha diterima
Hal
ini berarti ada pengaruh antara variabel gaya kepemimpinan transformasional dan
komitmen organisasi secara parsial terhadap kinerja guru.
b. Apabila
t hitung < t tabel : Ho diterima dan Ha ditolak
Hal ini berarti tidak ada pengaruh antara variabel
gaya kepemimpinan transformasional dan komitmen organisasi secara parsial
terhadap kinerja guru.
e.
Menghitung Jalur
Perhitungan jalur
menjelaskan tentang pengaruh gaya kepemimpinan transformasional (X1)
dan komitmen organisasi (X2), baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kinerja guru (Y) melalui variabel intervening
yakni perilaku kewarganegaraan (Z). Sebelum menghitung jalur, maka sebelumnya
masing-masing jalur harus diuji signifikansinya. Apabila terdapat jalur yang
tidak signifikan maka dilakukan trimming
theory yaitu menghilangkan jalur yang tidak signifikan. Kemudian dari jalur
yang baru tersebut dihitung kembali masing-masing koefisien jalurnya.
Perhitungan dilakukan dengan menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung.
Proses perhitungannya adalah sebagai berikut :
a.
Trimming
theory adalah model yang digunakan untuk
memperbaiki suatu model struktur analisis jalur dengan cara mengeluarkan dari
model variabel eksogen yang koefisien jalurnya tidak signifikan. Jadi model ini
terjadi ketika koefisien jalur diuji secara keseluruhan ternyata ada variabel
yang tidak signifikan (Riduwan, 2007:127). Walaupun ada satu, dua, atau lebih
variabel yang tidak signifikan, peneliti perlu memperbaiki model analisis jalur
yang telah dihipotesiskan. Cara menggunakan Trimming
Theory yaitu menghitung ulang
koefisien jalur tanpa menyertakan variabel eksogen yang koefisien jalurnya
tidak signifikan. Langkah-langkah pengujian analisis jalur dengan model
trimming adalah sebagai berikut (Riduwan, 2007:128) :
1)
merumuskan persamaan
struktural
2)
menghitung koefisien
jalur yang didasarkan pada koefisien regresi
a) Membuat
gambar diagram jalur secara lengkap
b) Menghitung koefisen regresi untuk sub struktur
yang telah dirumuskan.
3)
menghitung koefisien
jalur secara simultan (keseluruhan)
4)
menghitung secara
individual
5)
menguji kesesuaian
anatar model analisis jalur 3
6)
merangkum ke dalam
tabel
7)
memaknai dan
menyimpulkan.
b.
Pengaruh
Langsung (Direct Effect atau DE) :
1)
Pengaruh
variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap perilaku
kewarganegaraan (Z)
DEzx1 = X1
→ Z
2)
Pengaruh
variabel komitmen organisasi (X2) terhadap perilaku
kewarganegaraan (Z)
DEzx2 = X2
→ Z
3)
Pengaruh
variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap kinerja
guru (Y)
DEyx1 = X1
→Y
4)
Pengaruh
variabel komitmen organisasi (X2) terhadap kinerja
guru (Y)
DEyx2 = X2
→ Y
5)
Pengaruh
variabel perilaku kewarganegaraan (Z) terhadap kinerja guru (Y)
DEyz = Z →
Y
c. Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effect atau IE)
1) Pengaruh variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1)
terhadap perilaku kewarganegaraan (Z) dan kinerja guru (Y).
IEyzx1 = X1
→
Z → Y
2)
Pengaruh
variabel komitmen organisasi (X2) terhadap perilaku
kewarganegaraan (Z) dan kinerja
guru (Y).
IEyzx2
= X2
→
Z → Y
DAFTAR
PUSTAKA
Aldag,
R. dan Reschke, W. 1997. Employee Value Added: Measuring Discretionary Effort
and Its Value to The Organization. Center
for Organization Effectiveness. Inc.
608/833-3332, p. 1-8.
Aleamoni
. Adam G. 1981. Antecedent of Organizational Citizenship Behavior: A Studi Public
of Public Personnel in Kuwait, Public
Personnel Management, Fall., ABI/Inform Research. p. 303.
Alhamda, Syukra
dan Sanusi, Rossi. 2007. Persepsi Perilaku Kepemimpinan, Perilaku Sebagai
Warga Organisasi Dan Kinerja Dosen Politeknik Kesehatan Padang Sumetara
Barat, Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan
Kesehatan, Universitas Gadjah
Mada, Anikmah . 2008. Pengaruh Kepemimpinan
Transformasional Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Survey Pada Pt.
Jati Agung Arsitama Grogol Sukoharjo). Universitas Muhammadiyah Surakarta
: Thesis
Arikunto, Suharsini. 2000.Manajemen Penelitian. Jakarta:Rineka
Cipta
Bateman dan Organ, D. W. 1983.
The Motivational Basis Of Organizational Citizenship Behavior. In: B. M. Staw
dan L. L. Cummings (Eds), Research In
Organizational Behavior Vol. 12, p. 43–72.
Brief.
S. 1986. Organizational Spontaneity In Context. Hum. Perform., Vol. 10, p. 153-70.
Chen,
Zhen Xiong and Francesco, Anne Marie. 2003. The Relationship Between the Three
Component of Commitment and Employee Performance in China, Journal of Vocational Behavior, Vol. 62, p. 490-510.
Djati, S. P. 2008. Pengaruh Organizational Citizenship Behavior terhadap Persepsi Kualitas
Karyawan dan Dampaknya pada Kepercayaan Konsumen Bidang jasa di Surabaya. Accounting and Management Journal Widya Mandala University , Vol 5 (2), p 236-247.
Dyne, Van, L., Cummings, L. L.
dan Parks, J. M. 1995. Extra-Role Behaviors: In Pursuit Of Construct And
Dewnitionalclarity, A Bridge Over Muddled Waters. Research in Organizational
Behavior. Vol. 17. p.
215–285.
Eflina,
Debora Purba dan Seniati, Ali Nina Liche. 2007. Pengaruh Kepribadian dan
Komitmen Organisasi Terhadap Organization Citizenzhip Behavior. Sosial
Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember
2004: p. 105-111.
Allen dan Meyer 1997. Commitment
In The Workplace, Theory, Research And Application. Sage
Publications. Inc, California.
Gautam. Thanswor, Rolf, Van Dick, Ulrich, Wagner,
Narottam, Upadhyay and Ann J. Davis. 2004. Organizational
Citizenship Behavior and Organizational Commitment in Nepal.
Ghozali,
Imam. 2002. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program
SPSS. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Greenberg
dan Baron .1997. Organizational Spontaneity In Context. Hum. Perform., Vol. 10, p. 153-70.
Gujarati, Damodar. 2005. Ekonometrika Dasar. Jakarta :
Erlangga
Gurning.
2010. Hubungan Antara Komitmen Organisasi
Dan Intensi Turnover Dengan Organizational Citizenship Behavior Pada
Karyawan PT. Lotte Shopping Indonesia.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hadari, Nawawi. 1992. Administrasi Pendidikan. FIP-UNTAN:
Pontianak
Hadari,
Nawawi. 2003. Kepemimpinan dan Mengefektifkan Organisasi, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Ichsan, Mochamad. 1991. Efektifitas Organisasi. Malang: BP FIA-UNIBRAW
Indrawijaya,
Adam. 1999. Perilaku Organisasi.
Cetakan Keempat. Bandung : Penerbit Sinar Baru.
Kaihatu,
Thomas S. dan Rini. 2007, Kepemimpinan Transformational dan Pengaruhnya terhadap Kepuasan atas
Kualitas Kehidupan Kerja, Komitmen Organisasi dan Perilaku Ekstra Peran: Studi
pada Guru-Guru di Kota Surabaya, Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra,
Surabaya.
Katz
.1964. The Relationship Between Personality Traits (Extraversion and
Neuroticism), Emotions and Customer Self-Satisfaction. Innovative Marketing, Volume 1, Issue 2.
Martoyo, Susilo. 2000 . Manajemen Sumber Daya Edisi Keempat. Yogyakarta : BPFE
Nasution, Budi. 2001. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : UPP AMPYKPN.
Nawawi, 2000. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta:
Gadjah Mada Unversity Press
Nawawi, 2005. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta:
Gadjah Mada Unversity Press
Organ, D. W. 1988. Organizational Citizenship Behavior: The
Good Soldier Syndrome. Lexington, MA: Lexington Books.
Organ,
D. W. 1990. The Motivational Basis Of Organizational Citizenship Behavior. In: B. M. Staw dan L. L. Cummings
(Eds), Research In
Organ, D. W. 1988. Organizational Citizenship Behavior: The
Good Soldier Syndrome. Lexington, MA: Lexington Books.
Organ,
D. W. 1999. The Motivational Basis Of Organizational Citizenship Behavior. In: B. M. Staw dan L. L. Cummings
(Eds), Research In
Pattanaik, S. and Biswass, S.
2005. The Medating Role of Organizational Citizenship Behaviour Between
Organizational Identification and Its Consequences, Paper.
Priyatno,
Duwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS.
Yogyakarta : Mediakom
Ridwan,
2007. Cara Menggunakan dan memakai
analisis jalur (path analysis). Penerbit:Alfabeta. Bandung.
Robbins,
S.P. 2001. Perilaku Organisasi Konsep
Kontroversi Aplikasi, Edisi 8, Jilid 1, Terjemahan, Jakarta : Prehalindo.
Robbins, S.P. 2003, Perilaku
Organisasi, Jilid I, Edisi 9 (Indonesia), PT. Indeks Kelompok Gramedia,
Jakarta.
Santoso,
Singgih. 2002. SPSS Versi 12. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.
Sarwono,
Jonathan. 2006. Analisis Data Penelitian
Menggunakan SPSS 13. Yogyakarta : Andi
Sarwono,
Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi
Terapan). Jakarta : Balai Pustaka
Shahzad,
Khurram, Rehman, Kashif dan Abbas, Muhammad. 2010. HR Practices and Leadership
Styles as Predictors of Employee Attitude and Behavior: Evidence from Pakistan. European
Journal of Social Sciences. Vol.14. No.3, p. 413.
Siagian , S.P. 2003. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Cetakan XII. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Siders. 2001, The Virtues of Omission in OCB. http:/www.goldmark.org/livia.
Simamora. 1997. Manajemen Sumber
Daya Manusia. edisi kedua. Yogyakarta: STIE
YKPN
Stamper,
Christina dan Lyne, Van Dyne, 2001, Work Status and Organizational Citizenship
Behavior: a Field Study of Restaurant Employee. Journal of Organizational Behavior,. No. 22, p. 517-536.
Steers,
R.M., Porter & G.A. Bigley, 1996, Motivation
and Leadership at Work, New York: McGraw-Hill.
Sudjana. 2002. Metode
Statistika. Bandung: Tarsito
Sugiyono. 2004. Metode
Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian
Bisnis. Cetakan ke-13. Alfabeta. Bandung.
Suharto, Babun. 2006. Kepemimpinan Transformasional Dalam Pendidikan (Studi Pengaruh
Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional; Terhadap Kepuasan dan Kinerja
Bawahan). Surabaya : AprintA.
Sunardi,
S. Brahmana dan Herman, Sofyandi. 2007 Transformational Leadership dan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) di Utama. Working
Paper Series No. 2 Mei.
Sunarsih. 2001. Pengaruh Pemediasian Trust Dalam Hubungan
Kepemimpinan Transformasional dan Organizational Citizenship Behavior, Jurnal Akuntansi Manajeme, Vol. XVI.
Tahun1, p. 51-65
Swandari.
2003, Analisis Pengaruh gaya Kepemimpinan
dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja. Karyawan, Jurnal Manajemen Bisnis,
Vol. 4 No. 2. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Versi Online : http://www.manbisnis. tripod.com
Testa, Mark R., 2009. National Culture, Leadership and
Citizenship: Implications for Cross-Cultural Management, International Journal of Hospitally Management,Vol.28, P. 78-85.
Thoha, Miftah. 2001.
Kepemimpinan Dalam Manejemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Umar, Husein. 2001. Riset
Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Tama.
Rivai,
Veitzal. 2005, Performance Appraisal,
Edisi Kedua, Penerbit PT. Raja Grapindo
Persada, Jakarta.
Wan,
Salasiah. 2009. The Relationship Between
Transformational Leadership Behaviors and Organizational Citizenship Behavior.
Thesis Submitted to the Centre for Graduate Studies, Universiti Utara Malaysia,
In Fulfillment of the Requirement for the Degree of Masters of Management.
Sandra, Devi. 2001. Kontribusi Komitmen Organisasional dan
Kepemimpinan Transformasional Terhadap Organizational
Citizenship Behavior Pada PT. Carrefour Indonesia. Thesis Universitas
Semarang.
Hidayat, Taufiq dan Nina Istiadah. 2011. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 19 Untuk
Mengolah Data Statistik Penelitian. Jakarta: Mediakita
Winardi,
2000, Kepemimpinan Dalam Manajemen,
Jakarta : Renika Cipta.
Winardi, J. 1996. Asas-Asas Manajemen. Bandung: Mandar
Maju.
Wiratmaja.
1995. Hubungan Antar Kepemimpinan dan
Sistem Imbalan Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan PT. Pupuk Sriwijaya. Jurnal Psche. Vol. 1 Desember
Yarnes.2004.
Panduan Aplikasi Statistik. Malang:
Dioma
Yukl,
Gery. 1996. Kepemimpinan Dalam Organisasi
Leadership in Organisations.
Jakarta. 3e
Yukl,
Gery. 1998. Kepemimpinan Dalam
Organisasi. Jakarta.
Zang,Gillen.
2009, Leadership and Organizational
Citizenship Behavior: OCB-Specific Meanings as Mediators, Springer Science Business Media.
EmoticonEmoticon