Analisa Kasus
Bank Lippo
dalam kasus PT. Bank Lippo yang terjadi pada bulan November tahun 2002, terdapat laporan keuangan ganda yang dilaporkan
kepada pihak eksternal dan satu laporan keuangan internal untuk manajemen yang
memiliki beberapa perbedaan yang menimbulkan
permasalahan.
Pihak manajemen
Bank Lippo membuat dua laporan keuangan yang berbeda demi kepentingan
perusahaannya sendiri, dan pihak kantor akuntan publik Ernst & Young,
Sarwoko and Sanjaya selaku auditor laporan keuangan Bank Lippo mengaku hanya
mengaudit satu laporan keuangan saja. Dengan demikian, ada dugaan KAP ini
memiliki keterkaitan dengan kasus ini karena sebagai auditor, seharusnya KAP
tahu seluk beluk perusahaan tersebut.
Beberapa perbedaan yang terdapat pada
ketiga laporan keuangan serta fakta berdasarkan Siaran Pers Hasil Pemeriksaan Laporan
Keuangan dan Perdagangan tanggal 17 Maret 2003 di atas antara lain dalam hal :
a.
Pernyataan
manajemen bahwa laporan keuangan per tanggal 30 September 2002 pada ketiga
laporan keuangan di atas telah diaudit. Padahal faktanya hanya satu
laporan keuangan telah diaudit per tanggal 20 November yang disampaikan ke
manajemen pada tanggal 6 Januari 2003.
b.
Perbedaan
nilai aktiva yakni 24,185 Triliun untuk laporan keuangan publikasi dan 22,8
Triliun untuk laporan keuangan yang disampaikan kepada BEJ. Hal ini disebabkan
oleh menurunnya AYDA (agunan/aset yang diambil alih) hasil penilaian oleh jasa
Apprasial independen.
c.
Perbedaan
laba/rugi bersih. Laporan keuangan versi iklan menunjukkan laba sebesar 98
miliar sementaran laporan keuangan yang dilaporkan ke BEJ dan versi manajemen
menujukkan rugi hingga 1,273 Triliun. Hal ini disebabkan adanya penurunan nilai
AYDA yang memerlukan tambahan cadangan (cadangan kerugian) yang menyebabkan
laba sebesar 98 Milyar tidak cukup untuk menutupi kerugian atau penurunan nilai
AYDA.
d.
Rasio
kecukupan modal dari 24,77% (versi laporan keuangan publikasi) menjadi hanya
4,23% (versi laporan ke BEJ). Hal ini tentu saja merupakan dampak dari
penurunan nilai aset yang dipindahkan ke AYDA yang tidak boleh digunakan untuk
operasi.
·
Analisa Praktek
Manajemen Laba dalam Kasus Bank Lippo
Untuk menganalisis adanya indikasi
manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen, mungkin titik tolak dimulai dari
nilai laba sebesar 98 Milyar pada bulan september kemudian terjadi Subsequen Event sebelum tanggal 31
Desember yang mengakibatkan laba sebesar 98 Milyar tiba-tiba berubah drastis
menjadi kerugian hingga mencapai 1,2 Triliun. Artinya terjadi penurunan laba
hingga 1200% di periode tersebut.
Pertanyaannya adalah apakah tindakan
yang dilakukan oleh manajemen ini dapat dikatakan sebagai manajemen laba ????.
Berdasarkan analisa kasus di atas,
penyebab terjadinya kerugian adalah adanya penilaian kembali agunan yang di
ambil alih yang tadinya memiliki nilai 2,39 T menjadi 1,42 T. dan penurunan
nilai ini tentu akan menjadi kerugian yang akan mengurangi laba. Sehingga
berdasarkan pertimbangan dan kalkukasi manajemen bahwa perusahaan perlu
mencadangkan kerugian sebelum AYDA benar-benar laku terjual. Sehingga mucullah
kerugian hingga mencapai 1,2 T.
Salah satu opini yang dapat dijadikan
dasar untuk memastikan bahwa manajemen Bank Lippo melakukan praktek manajemen
laba adalah pendapat dari Ahmad Hadibroto sebagai perwakilan auditor eksternal
dalam suatu diskusi yang membahas kasus ini. komentarnya sebagai berikut :
“AYDA bukanlah aset yang dapat digunakan untuk
kegiatan usaha. Sesuai dengan PSAK No. 31, AYDA harus dijual sesegera mungkin
dan dinilai dari nilai jual saat ini (netto). Fakta pada kasus Lippo adalah
bahwa nilai AYDA masuk ke dalam laporan keuangan bukan atas permintaan
manajemen, namun akibat dari paksaan auditor eksternal. Hal ini menurutnya
wajar mengingat paksaan tersebut sesuai dengan praktek audit yang ada”.
Adapun motif
dilakukannya manajemen laba oleh manajemen Bank Lippo sangat beragam oleh
publik. Baik opini yang dibangun oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang
berkepentingan hingga para pengamat yang cendrung ekstrim dan radikal. Misalnya
untuk menekan harga saham Bank Lippo sehingga pemilik lama dapat membeli
kembali dengan harga murah dsb.
·
Kesalahan manajemen
laba yang dapat di lihat dari kasus Bank
Lippo yakni :
1. Penyuapan (Bribery) Adalah
menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta sesuatu yang bernilai untuk
mempengaruhi tindakan pejabat. Dalam kasus ini, Bank Lippo mengakali uang
Negara dalam proses pengalihan asset yang dianggap macet pada BPPN. Di BPPN
proses rekapitalisasi dan proses administrasi yang sedemikian banyak, sering
kali dan bias menjadi sumber korupsi.
2. Konflik Kepentingan (Conflict of
Interest) Bertindak atas nama individu atau organisasi tetapi memiliki
kepentingan pribadi dalam aktivitas yang dilaksanakan dan
mempengaruhi/merugikan pihak yang diwakilinya. Dalam kasus ini, Bank Lippo
memberikan kredit kepada kelompok sendiri sehingga melanggar BMPK namun Bank
Lippo berdalih tidak ada asset yang tercatat di buku yang merupakan afiliasi
dengan pinjaman group, padahal sudah jelas bahwa AYDA tersebut merupakan surat
berharga meliputi saham dengan nama group sendiri.
·
Yang
seharusnya dilakukan oleh bank lippo
Beberapa
hal yang seharusnya dilakukan oleh manajemen Bank Lippo sehingga tidak terjadi
praktek manajemen laba yang akan menjatuhkan citra perusahaan dan tentu saja
secara makro tidak merugikan perekonomian indonesia khususnya di bidang
perbankan, antara lain :
a.
Implementasi
Good Corporate Governance yang baik
Terjadinya kesalahan terkait kata “diaudit” pada laporan
keuangan yang dipublikasikan, oleh dewan
direksi diakui sebagai suatu kelalaian, mereka menyampaikan alasan bahwa
komisaris yang seharusnya memeriksa laporan keuangan tersebut terlalu sibuk
sehingga tidak memperhatikan kata-kata diaudit. Hal ini juga dipertegas oleh
hasil pemeriksaan yang disampaikan melalui siaran pers pemeriksaan laporan
keuangan. Hal ini menunjukkan lemahnya tata kelola perusahaan sehingga harus
dievaluasi.
Kemudian terkait komposisi dalam jajaran
dewan direksi dan komisaris. Seharusnya ada perwakilan dari pemilik minoritas.
Hal ini tentu saja untuk mewujudkan salah satu prinsip good corporate
governance yakni prinsip keadailan.
Bahkan penetapan komisaris sangat
kontradikitf dengan aturan yang melarang komisaris berasal pemegang saham
mayorits atau pengendali. Beberapa prinsip good corporate governance yang perlu
diperhatikan dan diimplementasikan dengan baik oleh perusahaan antara lain :
Ø
Transparancy
Ø
Akuntabilitas
Ø
Keadilan
Ø
Responibilitas.
Prinsip-prinsip
di atas adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk memonitor masalah
kontrak dan membatasi perilaku oppurtunitic managmen untuk melakukan praktek
manajemen laba.
b.
Kejelasan
kontrak tujuan penilaian
Banyak opini yang menyayangkan
permasalahannya terletak pada hasil penilaian kembali AYDA oleh penilai
independen, terutama mereka yang memiliki latar belakang sebagai penilai.
Menurut mereka, seharusnya ada kejelasan kontrak mengenai tujuan dari
perusahaan menggunakan jasa penilaian darinya. Sehingga tidak terjadi hal
seperti ini yang berakibat buruk bagi perusahaan dan citra profesi jasa
penilai. Seharusnya manajemen memberikan kejelasan tujuan dari penilaian kepada
penilai independen, sehingga konteks dan hasilnya nanti jelas.
Terkait dengan itu, Ahmadi Hadibroto
menyarankan sebaiknya di masa yang akan datang manajemen diwajibkan untuk
menyatakan secara spesifik dan konkrit tujuan dari penilaian, jangan hanya
bersifat himbauan. Hal ini dapandang penting mengingat begitu signifikannya
pengaruh tujuan penilaian terhadap hasil penilaiannya nanti.
c.
Pengawasan
yang lebih ketat oleh dewan komisaris
Adanya laporan yang audited dan unaudit menunjukkan
pengawasan yang lemah dari dewan komisaris yang tugas pokok dan fungsinya
adalah dalam hal laporan keuangan. Adanya perbedaan pernyataan yang terjadi
antara laporan keuangan publikasian dengan yang dikirim ke BEJ merupakan
kelalaian dewan komisaris. Hal itu tidak akan terjadi andai saja dewan
komisaris yang proses pemilihannya juga sudah kontradiktif dengan aturan tidak
melakukan kelalaian.
·
Dalam literature lain menganalisis pemecahan kasus bank
lippo sebagai berikut: Semua Dokumen Bank
Lippo Harus di Buka
Semua dokumen yang berkaitan dengan kebijakan
manajemen Lippo harus dibuka agar tidak terjadi saling lempar tanggung jawab
dalam penyelesaian kasus Bank Lippo. Hal ini bertujuan agar kasus ini tidak
berlarut-larut karena menyangkut kredibilitas perbankan secara keseluruhan dan
dapat diketahui siapa yang paling bertanggung jawab.
Sedangkan mengenai adanya usulan penerbitan saham
terbatas (right issue) menurut Jasso, merupakan satu usulan yang sangat
materialis dan semua manajemen mengetahui. Dalam praktek perbankan sendiri,
tanggung jawab manajemen bersifat kolektif
BPPN dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sendiri sudah melihat kasus Lippo ini sebagai bola panas, sehingga mereka tidak berani bertanggung jawab. Dengan dibukanya dokumen-dokumen menyangkut kebijakan yang telah ditempuh, maka akan jelas siapa yang paling bertanggung jawab.
BPPN dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sendiri sudah melihat kasus Lippo ini sebagai bola panas, sehingga mereka tidak berani bertanggung jawab. Dengan dibukanya dokumen-dokumen menyangkut kebijakan yang telah ditempuh, maka akan jelas siapa yang paling bertanggung jawab.
·
Solusi yang di Lakukan Dari
Manajemen Bank Lippo
Berdasarkan keterangan tertulis BPPN, pada 30
Oktober 2002 manajemen Bank Lippo melakukan presentasi tentang rencana
strategis bank. Dalam presentasi itu, manajemen menyampaikan rencana reversed
stock split dan upaya memperkuat struktur modal untuk mengantisipasi penerapan
baselaccord II.
Solusi yang
ditawarkan adalah menambah modal dengan mekanisme rights issue.
Menanggapi rencana reversed stock split yang bertujuan meningkatkan likuiditas dan harga saham, BPPN dapat menyetujuinya. Sedangkan terhadap rencana rights issue, BPPN tidak setuju. Manajemen juga diminta berkonsultasi dengan Bank Indonesia untuk memperoleh kepastian tentang penerapan basel accord II, sehingga bisa ditentukan apakah diperlukan penambahan modal atau tidak.
Menanggapi rencana reversed stock split yang bertujuan meningkatkan likuiditas dan harga saham, BPPN dapat menyetujuinya. Sedangkan terhadap rencana rights issue, BPPN tidak setuju. Manajemen juga diminta berkonsultasi dengan Bank Indonesia untuk memperoleh kepastian tentang penerapan basel accord II, sehingga bisa ditentukan apakah diperlukan penambahan modal atau tidak.
Kemudian pada
7 November 2002, manajemen mengajukan agenda Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa (RUPSLB) yang akan diselenggarakan pada 22 November 2002 untuk memperoleh
persetujuan. Agenda yang diajukan: pertama, perubahan pengurus Bank Lippo;
kedua, perubahan anggaran dasar, antara lain perubahan nominal saham termasuk reversed
stock split; dan ketiga, persetujuan penjualan Aktiva yang Diambil Alih
(AYDA). Terhadap dua agenda pertama, BPPN menyatakan persetujuannya, sedangkan
untuk agenda ketiga, BPPN memberi catatan bahwa program penjualan aset harus
dilakukan secara terbuka, mengacu ke praktik pasar yang sehat, serta sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku. Dengan persetujuan itu, BPPN menyatakan
tidak pernah menyetujui rencana rights issue.
·
Solusi Yang Dilihat Dari Sisi Auditor
Dalam
audit haruslah ada etika. Etika dalam auditing adalah suatu proses yang
sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai
asersi-asersi kegiatan ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian
antara asersi-asersi tersebut, serta penyampaian hasilnya kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
1.
Independensi
Independensi
adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak
tergantung pada orang lain (Mulyadi dan Puradireja, 2002: 26). Dalam SPAP (IAI,
2001: 220.1) auditor diharuskan bersikap independen, artinya tidak mudah
dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum
(dibedakan di dalam hal ia berpraktik sebagai auditor intern). Terdapat tiga
aspek independensi seorang auditor, yaitu sebagai berikut.
·
Independence in fact (independensi dalam fakta) Artinya
auditor harus mempunyai kejujuran yang tinggi, keterkaitan yang erat dengan
objektivitas.
·
Independence in appearance (independensi dalam penampilan)
Artinya pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan
pelaksanaan audit.
·
Independence in competence (independensi dari sudut
keahliannya) Independensi dari sudut pandang keahlian terkait erat dengan
kecakapan profesional auditor.
2.
Tanggung Jawab Auditor
The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices Board, ditahun
1980, memberikan ringkasan (summary) tanggung jawab auditor:
·
Perencanaan, Pengendalian dan
Pencatatan.
Auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
·
Sistem Akuntansi. Auditor harus mengetahui dengan
pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya
sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
·
Bukti Audit. Auditor akan memperoleh bukti
audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional.
·
Pengendalian Intern. Bila auditor berharap untuk
menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan
mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
·
Meninjau Ulang Laporan Keuangan
yang Relevan.
Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya,
dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain
yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan
keuangan.
EmoticonEmoticon